“Kaoru, hari ini kamu ada jadwal ekskul kan?” “Masa nggak ingat?” “Hehehe!”
Konnichiwa, minnasan. Namaku, Kaoru Amamura desu. Aku kelas 11, di sekolah Meitoku Gijuku Senior High-School. Di sekolah tersebut–atau disekolah sebelumnya, aku memiliki satu-satunya sahabat yang masih tetap bersamaku walau sudah 10 tahun. Ia adalah Ayumi Akari. Aku berbeda sekali dengannya, mulai dari wajah, sifat dan aura. Ayumi sangatlah cantik, maka wajar kalau ia selalu populer di sekolah manapun. Sifatnya pun baik hati, ramah, murah senyum, dan anggun. Auranya? Tak usah ditanya lagi. Sangat berbeda denganku yang memiliki wajah pas-pasan, sifat yang judes walau sebenarnya tidak, dan aura yang ‘hitam’. Tapi tak seharusnya aku memaki diriku sendiri, harusnya aku bersyukur tak ada kekurangan di tubuhku dan dihormati oleh gadis cantik bernama Ayumi.
Di sekolah, aku ikut ekskul menyanyi. Sedangkan Ayumi, ia ikut ekskul memasak tapi ia lebih suka memanggang kukis. Ayumi juga seorang maniak kukis, kukis favoritnya adalah kukis dengan madu yang dibuat sendiri dengan penuh cinta. Ia sering membawakanku kukis, walau aku lebih suka biskuit.
“Kaoru-chan!” Panggil Ayumi setelah ekskul. “Jangan panggil aku seperti itu lagi, tolong.” “Weeekk! Oh iya, aku buatin kamu kukis cokelat. Tentunya ada bumbu cinta!” “Terima kasih,” jujur saja, aku sama sekali tidak geli dengan kata-katanya karena aku tahu ia mengatakannya dengan tulus.
“Hey, Kaoru. Selama liburan, kau ngapain saja?” Tanya nya. “Berdiam di rumah, yah.. Kau tahu, kan?” Ia mengangguk. Dari raut wajahnya, sepertinya ia ada masalah. “Ada apa? Kau ada masalah?” Hening, tak ada jawaban. Tak lama kemudian, ia menghela napas. “Ya, kakakku, terkena gangguan jiwa..” katanya parau. Aku tersedak, kakaknya terkena gangguan jiwa? Bagaimana bisa orang setampan Asahi Akari terkena penyakit seperti itu? “Bagaimana bisa? Ceritakan padaku!”
Ayumi menarik napas, “Semenjak kepergian Ayah, ia mulai menyakitiku. Tak peduli siapa aku, ia terus menyakitiku. Awalnya, aku cukup mengerti. Kepergian Ayah membuatnya syok, seorang yang terlalu dekat dengannya. Terlebih lagi, karena menyelamatkanku,” aku jadi teringat insiden 1 bulan yang lalu. Dimana ada berita kalau Ayumi masuk rumah sakit karena terhempas didorong oleh Ayahnya yang menyelamatkannya dari truk yang ugal-ugalan. Aku sama sekali tak bisa memberikan saran apapun disaat seperti ini. “Yang sabar aja ya, kalau ada apa-apa kasih tahu aku. Jangan sungkan,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Iya, makasih!”
Walau begitu, ia kembali murung. Ayumi mulai terbatuk-batuk, aku mulai panik. Setelah batuknya mereda, ia menoleh kepadaku. Matanya memerah, air mata menggunung, kurasa itu bukan air mata sedih. Mungkin penyebabnya karena terbatuk-batuk tadi. Tak lama kemudian, ia pergi ke wastafel. Aku menyusulnya. Betapa terkejutnya aku, ia kembali batuk tapi kali ini batuknya bukan batuk biasa.
“Ayumi! Kamu kenapa?! Kok batuk darah!” “Aku nggak pa-pa, santai. Mungkin ada sesuatu yang sedikit salah..,” “Sedikit salah apanya, sih! Kalau sakit jangan ditutupi, Ayumi!” Tanpa kusadari aku membentaknya karena terlalu panik, aku lupa kalau ia tak bisa dibentak. Ia jatuh pingsan. “Ayumi…!!” Mengingat tak ada gunanya berteriak, aku membaringkannya di bangku lalu pergi ke ruang guru.
Setelah kejadian itu, aku tak bisa tidur nyenyak. Tidur saja tidak bisa, bagaimana mau tidur nyenyak? Kuharap, ia pingsan bukan karena kubentak. Tapi aku tetap khawatir sekali. Pagi ini, kuputuskan untuk membeli kukis lalu membawanya sebagai buah tangan saat menjenguknya.
Tok tok tok… “Masuk..!” Teriaknya dari dalam. Aku bisa tahu kalau suaranya terdengar lemas. “Eh? Kaoru!! Aaaaa aku kangen sekali padamu!” “Ayumi. Gomennasai, aku sudah membentakmu kemarin..” “Bukan salahmu, bukan salah siapa-siapa. Tenang saja,”
“Ngomong-ngomong, siapa yang menjagamu?” Tanyaku sambil celingak-celinguk. “Nenekku,” Hening. Aku menatapi wajah cantik sahabatku itu yang tatapannya berfokus pada kantung plastik yang kubawa. “Ah, ini. Kukis madu kesukaanmu,” Alis matanya naik keatas, bibirnya melengkung senyum, Ayumi kegirangan mendengarnya. “Waahh..!! Kamu membuatnya sendiri?!” Tanyanya excited. “Eum..” aku bingung, harus jujur atau tidak. Tapi akhirnya kuputuskan, “Aku membelinya. Aku tak bisa membuat kukis, kau tahu itu.” Senyumnya yang lebar sekali tadi memudar tapi ia masi tersenyum. “Terima kasih ya, Kaori sahabatku! Mungkin aku perlu mengajarimu cara membuat kukis lalu kita menjualnya bersama.. Wah, itu adalah salah satu impianku!” Aku tersenyum, senang sekali mendengarnya. Ia masih bisa tersenyum girang disaat tangan kanannya diimpus serta keadaannya tak bisa dibilang baik.
“Ayumi, kamu sakit apa?” Tanyaku, akhirnya. “Erm.. TBC,” aku menghela napas. “Kamu baru tahu soal itu?” “Iya, aku takut, Kaoru..” “Sudah, nggak usah negative thinking,” Aku pun mulai sedikit khawatir. Aku takut Ayumi tak bisa menggapai impiannya, yang banyak sekali itu.
“Ah!” Disaat yang sama, aku mengingat soal pemandangan yang dikirim ibuku dari luar negeri. “Ayumi, kamu mau lihat pemandangan indah di inggris nggak?” “Mau! Mau banget!” “Tunggu ya,” Aku menghubungi ibu untuk bertanya ia bisa ku video call atau tidak. Untungnya, ia bisa. Kebetulan juga ia berada di taman terindah yang ada di London, Inggris. Yaitu, Green Park.
“Terima kasih, Kaoru, karena sudah memberikanku kesempatan untuk melihat pemandangan secara langsung walau lewat virtual,” “Tak perlu berterima kasih.” Mungkin–serta kuharap, tadi itu adalah kenangan terbaiknya selama di rumah sakit kali ini.
Beberapa hari kemudian, ia pulang. Tapi bisa kuketahui kalau keadaannya masih belum baik total. “Kaoru! Hari ini, aku akan mengajarimu cara membuat kukis! Tak ada kata tapi! Kalau kau menolak, kau akan menyesal karena telah mengecewakan hati sahabatmu!” Katanya tiba-tiba sehabis menepuk pundakmu. Aku menatapnya bingung. “Hm.. Oke?” “Kalau begitu, kita akan membeli bahan-bahan lalu kita bersama-sama pergi ke rumah nenekku. Terus-terus, kita akan makan kukis bersama didepan laut!” Aku memiringkan kepala, “Iya, iya!”
Pada akhirnya, kami menghabiskan waktu bersama sampai malam. Berbelanja, membuat kukis, memakannya diatas rumput dan didepan laut sampai pada malam harinya kami akan pulang tapi puting beliung melanda perjalanan kami. Entah ada apa dengan otak Ayumi, ia malah mengejar puting beliung itu. Aku berusaha menariknya tapi ia terlalu antusias.
“Ayumi, jangan gila disaat seperti ini!” “Aku nggak gila, Kaoru! Aku cuma mau menikmati saat-saat terakhirku!” Aku bengong, bingung, dan mulai overthinking. Jika tadinya ia mendongak, sekarang ia menunduk karena batuk darah dan sesak napas. Aku berusaha membawanya ke rumah sakit terdekat, untungnya kami dilindungi dari puting beliung itu.
Saat di rumah sakit, aku menelepon nenek Ayumi. Perhatianku teralih dari Ayumi ke neneknya. “Kaoru-chan! Bagaimana dengan Ayumi..?” “Belum ada pemberitahuan pasti dari dokter,” kataku gusar.
Tak lama kemudian, ada banyak suster membawa rak berjalan berisi obat-obatan keruangan Ayumi. “Akari-san! Ayo semangat!” “Nona Akari, ayo berjuang!” Para suster menyemangatinya. Kurasa hal itu tidak membuahkan hasil.
Ayumi meninggal. Neneknya menangis terang-terangan. Sedangkan aku? Tubuhku melemas, air mataku terus bercucuran, jantungku berdetak dengan sangat amat kencang. Aku nggak percaya. Aku masuk keruangan dan mengecek. Tapi faktanya memang seperti itu. Takdir tak bisa diubah. Baru saja kami membuang waktu bersama untuk hal menyenangkan, tapi kenapa tuhan langsung mencabut nyawanya? Orang seperti Ayumi, mungkin hal itu adalah hal menyenangkan. Tapi bagiku, menyakitkan. Ayumi tak memikirkan perasaanku? Aku tahu, ia tak mungkin seperti itu. Tapi, kurasa hari terakhir Ayumi adalah hari terakhirku juga. Karena terlalu memikirkan Ayumi, aku lupa kalau aku punya penyakit jantung.
Cerpen Karangan: Adzra Afifah Inspired: Hikaru Nara song
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com