“Tidak semua orang itu baik. Bahkan, sahabat-sahabat paling setia yang pernah kau miliki. Karena pada dasarnya, pada ujungnya, hidupmu akan sendiri. Tidak akan dicintai, dihargai, dihormati, dan diberi belas kasihan untuk selamanya. Selamanya.”- – Delilah (Buku Catatan Harian Delilah – 2022)
Semua orang tahu, sungguh. Tahu bahwa tidak ada rasa cinta paling dalam selain mencintai diri sendiri. Tidak bisa terus-menerus mendapatkan asupan cinta, cinta dan cinta. Bahkan dari orang yang paling mencintaimu dengan sepenuh hati. Tidak, bukan hanya cinta dalam pasangan saja. Melainkan, cinta dalam semua manusia. Semua kategori. Tua, muda, keluarga, sahabat, atau juga orang-orang di sekitarmu.
Sayangnya, kau tahu, Delilah belum bisa belajar maksud dari “cinta” untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya dia masih naif. Toh, lagipula umurnya baru 16 tahun. Jiwa-jiwa pengikut, tanpa arahan, terjun dalam pusaran kesesatan, itulah yang banyak merasuki anak muda zaman modern ini.
Salah satunya, aku akan bercerita tentang sepetik kisah mengenai “Delilah & Pengkhianat” yang sebelumnya pernah kualami secara langsung. Dan setelah kejadian semacam itu, aku menjadi sadar bahwa “mencintai diri sendiri” adalah “cinta” yang sebenarnya.
Rabu, 11 Mei 2022 Delilah,
Pagi hari yang teramat cerah dan menusuk kedua mataku. Cahaya mentari yang licik sedang berbaik hati. Dia menyinari perkarangan rumahku. Bunga-bunga dari berbagai koloni tersenyum ramah. Mereka senang, si matahari tak sukar membagi cahayanya kepada kaum darat. Dan kicauan burung, ah, aku sepertinya tak perlu mengambil kaset di luar kamar.
Kubuka lebar-lebar kaca besar yang menghiasi dinding kamarku. Tuan Florian telah berbaik hati terlalu berlebihan. Padahal ibu hanya memberinya sepotong kue kismis. Tapi balas budinya, oh, membetulkan jendela rusakku, memberi kami bibit bunga sebanyak tiga kantong, dan memberikan salah satu serbat bergambar bunga mawar kesayangan neneknya dulu.
Kata ibu, maklum, dia masih sendiri dan belum berkeluarga. Meski sudah bekerja, pasti rasanya berat sekali untuk kesepian dalam waktu yang lama.
Kutarik ujung gorden renda bergambar bunga aster. Dan kugeser beberapa tanaman liar membandel yang menghiasi luar jendela kamarku. Aku tinggal di pedesaan. Jauh dari kerumunan. Dan menemukan banyak sekali kebahagian dan persahabatan dengan alam.
Baru mengintip sekitar 5 menit, menurut jam Wekerwoo si burung hantu cerdik, aku sudah meninggalkan jendelaku terbuka tanpa pengaman. Aku perlu keluar dan sarapan pagi. Pasti ibu, ayah, dan Demian, kakak lelakiku, telah menungguku sejak pagi-pagi buta.
“Kau kemana saja? Berpiknik dengan khayalanmu?” Kata Demian yang selalu menggunakan kata-kata puitis. Kalau boleh jujur, kata-katanya amburadul. “Kalau kau tidak mau makan sup wortel buatan ibu kita tersayang, aku akan memakannya!” Masih dalam sikap tak sabaran. “Demian, bagaimana bisa kau memakan jatah sup milik Delilah, jika supmu sendiri belum habis?” Ayah balik bertanya. Kali ini, seratus juta persen aku yakin Demian akan hilang kendali. Singkatnya, skakmat. “Sudah-sudah, Delilah, ayo kemari! Kami telah menunggumu dari tadi.” Ibu menjelaskan. Dia lebih bijak dari semuanya. Ocehan Demian dan teguran ayah yang tidak masuk di akal. “Berdo’a dimulai!” Kataku memimpin.
Setelah menggeser kursi di samping ibu, berdo’a bersama, dan makan dalam perdamaian, aku akhiri dengan ucapan terimakasih. Khususnya kepada ibu dan ayah. Yang telah banyak berjasa agar kami bisa makan enak setiap hari..
Aku bosan. Tidak hanya karena Demian yang “seolah-olah” menganggapku hanya saudari “bukan” saudari sekaligus teman. Setelah makan usai, dia meninggalkanku begitu saja. Ayah langsung sibuk bekerja di ruang bawah. Ibu sibuk membersihkan semua bekas piring kotor milik kami tadi. Dan demian, dia sibuk bermain di kamarnya.
Karena aku tidak mau menjadi anak yang malas, aku inisiatif membantu ibu merapikan dapur. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, kami semua dapat melihat betapa dapur milik keluarga kami sangatlah bersih dan tertata rapih.
“Bu, kira-kira, kalau lagi bosan aku harus melakukan apa ya?” “Delilah, tolong atur bahasa Indonesiamu lagi! Maaf, tapi ibu tidak mengerti maksud dari pertanyaanmu itu.” “Maksudku, ini kan hari libur, kira-kira aku harus melakukan apa ya untuk menghilangkan rasa bosan selain di kamar dan membantu ibu. Mungkin pergi ke suatu tempat?” Kataku menerangkan dengan panjang lebar.
Ibu langsung paham setelahnya. Dia menunjuk ke arah pintu luar seraya berkata, “Pergilah ke taman di ujung Barat dan bersenang-senanglah di sana. Ibu dengar, ada bunga baru yang mekar. Mungkin kau bisa mengambilkannya untuk ibu beberapa. Akhir-akhir ini, bunga Forget-me-not kita tidak berbunga lagi.” Perintah ibu dengan bijak dan lebih cerewet. Aku menyetujuinya. Dan aku berniat untuk berangkat sekarang juga. Untuk menghilangkan penat dan kebosanan yang terus merajalela.
“Delilah, ada tamu!” Suara ibu menggema hingga menembus kamarku. Aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke taman. Ketika tamu menghalangiku untuk itu. Tapi tamu kan berkah, jadi harus kusambut. “Siapa ya tamunya?” Batinku penasaran. Pasalnya biasanya tamu yang sering berkunjung ke rumah ayah hanya teman-teman ayah dari kota.
Ku keluar dari kamar. Berlari menelusuri beberapa kamar sampai ke pintu depan rumah kami. Kulihat, seorang pria yang tidak asing bagiku. Kayak kenal, tapi siapa ya? Dia lebih jangkung, matanya lebih biru segar, dan rambut kecoklatannya telah berubah menjadi hitam pekat. Ah, aku baru ingat! Alzonua! Dia Alzonua sahabat kanak-kanakku dulu.
“Delilah kan?” Katanya dengan nada bijak. “Alzonua kan?” Kataku tidak kalah bijak. Dan kami tertawa bersama. Obrolan seru telah dimulai.
Alzonua menjelaskan bahwa dia Telah pindah ke negeri yang jauh sejak 10 tahun yang lalu. Saat kami masih menjadi anak-anak usia 6 dan 8 tahun. Alasan pindahnya aku kurang tahu. Ibu hanya memberikan info bahwa dia pindah untuk belajar sekolah musik untuk beberapa tahun kedepan. Dan kami telah berjanji, perjanjian anak-anak, untuk tetap bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Bahkan aku sempat menyukai sampai mencintainya. Karena dia bukan pemuda biasa. Dia lebih dari itu.
“Tidak, aku tidak belajar ke sekolah musik. Aku tidak belajar itu sama sekali.” Duar! Maksudnya apa? “Hah, baik, lalu kau kesana untuk apa?” Kataku bertanya. Kami duduk di sofa ruang tamu ketika ibu dengan sukarela menyediakan hidangan untuk tamu tiba-tiba ini. “Pekerja toko minuman.” Sungguh suatu pukulan. Bagaimana bisa anak paling teladan yang aku kenal bekerja di toko minuman penuh dengan para pemabuk sejati? Aku tak tahan. Ingin rasanya saat itu aku marah sekencang-kencangnya. Padahal dulu dia pernah berkata, “Aku benci melihat toko minum. Bahkan aku tidak akan pernah mau bekerja di sana. Kata ayah, toko minuman tempatnya orang-orang jahat.” Eh, dia sendiri malah bekerja di tempat semacam itu pada usia yang terbilang muda, 18 tahun.
Aku berusaha untuk menenangkan pikiranku. Biarkan pikiran negatif keluar dengan berkali-kali tarikan nafas. Lalu dengan “sigap” aku membuka pembicaraan lain. Agar tidak ada emosi yang meledak jika pembicaraan perihal “toko minuman” dilanjutkan. “Aku ingin menjadi pelukis. Mungkin itu saja. Do’akan aku supaya berhasil ya,…”
“Haha, mana bisa kau menjadi pelukis. Orang sepertimu itu seharusnya bekerja di kebun dan membantu ibumu. Di toko minuman banyak orang stress. Salah satunya pelukis yang miskin.” Aku sakit hati. Tidak pernah sekalipun Alzonua menertawakan mimpi-mimpiku. Aku tahu bahwa pelukis bukanlah profesi tetap. Tapi bukankah itu lebih baik daripada bekerja di toko minuman dengan orang-orang “jahat” katanya?
Kami bertengkar hebat untuk sementara. Saling adu mulut masalah profesi kami masing-masing. Padahal kami madih muda. Masih perlu banyak belajar, dibimbing, dan diarahkan ke jalan yang lebih benar. Ibu melihat pertengkaran kami. Beliau bergegas untuk memadamkannya. Dan ayah serta Demian ikut-ikutan keluar dan menenangkan kami berdua. Setelah suasana kembali mendingin, Alzonua langsung pamit tanpa basa-basi. Karena aku terlalu kesal dengan apa yang dia katakan sebelumnya, cacian, makian, kata-kataan, aku tak sengaja menyebutnya di depan semua keluargaku. “Dasar, Alzonua si pengkhianat!” Kedua orangtuaku tidak kaget, mereka makin mendekat ke arahku. Dan seraya berkata kembali dengan kata-kata bijak antara orangtua dan anak. “Dia bekerja di toko minuman. Itulah yang merubah sifat baiknya, Nak. Dari sini kan kamu tahu, bahwa sekarang Alzonua berubah. Dan kamu juga tidak bisa mencegahnya, karena dia telah berubah sepenuhnya.” Kata ayah menerangkan.
Ibu memelukku, dia menciumku, dan berbisik kepadaku dengan suara lembutnya, “Tidak semua orang perlu dicintai, sekalipun dia sahabatmu sendiri. Terkadang, kau harus mencintai dirimu sendiri. Yakinlah dirimu bisa dan menjadi perempuan yang memiliki pendirian. Alzonua berubah karena lingkungan dan sifatnya lebih kekanak-kanakkan darimu. Jika dia telah dewasa, dia akan berubah menjadi pria baik-baik. Aku yakin, kau dapat berbaikkan dengannya ketika semua mereda. Biarkan kalian mencintai diri kalian masing-masing. Sahabat bukan berarti sahabat jika saling memaki, menghantam, dan lain sebagainya.” Ibu memelukku lebih erat lagi. Aku merasakan kenyamanan dari kasih sayang dan kekuatan kata-kata.
Setelah kejadian tadi sudah berlalu cukup lama, aku kembali pada rencana awalku. Pergi ke taman Barat. Dan di saat aku sudah sampai di teman Barat aku berkata, “Mungkin aku perlu mencintai diriku sendiri. Sebelum mencintai orang lain penuh dengan kesakitan. Sekalipun dia sahabatku sendiri.” Dengan senyuman yang indah mengarah ke atas langit kebiruan bagai ombak di sekitar dinding taman Barat.
TAMAT
Cerpen Karangan: Gladyta A. G. Instagram @glad_az Hai, pembaca tersayang! Terimakasih telah membaca kisah “cerpen” pertamaku ini. Aku harap kalian suka dan dapat mampir lagi ke cerpenku yang berikutnya. Oh iya, boleh juga kalau mau berteman denganku di Instagram @glad_az. Terimakasih dan sampai jumpa kembali! Salam hangat, Penulis
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com