Silaunya menggelitik, membangunkan dari fantasi.
Langit Kota Kembang tengah menampilkan gradasi kuning menuju ungu kebiruan dikala seorang pemuda duduk bersila di beranda rumahnya pada Minggu sore bulan November, rupanya ia sedang melaksanakan akad pernikahan dengan sebatang rok*k beraroma mint dan secangkir kopi hitam sebagai penghulunya.
Rumah tua bercat putih-coklat di daerah Merdeka yang cukup lega pelatarannya dengan sebuah ban truk bekas yang dijadikan ayunan bergoyang-goyang tersapu angin menjadi surga tersendiri bagi si pemuda. Dengan duduk bersila, menghirup udara segar beraroma kafein ditemani sebatang kenikmatan, benar-benar membuatnya menyadari akan eksistensi dari surga dunia. Sesederhana itu.
Si cungkring yang notabene merupakan seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Bandung ini lebih tampak seperti seorang ‘gembel’ kota jika boleh disimpulkan dari bagaimana perawakannya. Tubuh kurus kerontang bak kurang gizi, rambut gondrong seleher bergelombang yang jarang dibersihkan dibiarkan terjuntai dan wajah yang tirus dengan kumis dan janggut yang berantakan.
Berbalut kaos oblong hitam dengan celana pendek ketat rombeng, semakin membuat orang terheran-heran jika baru pertama kali melihatnya, orang-orang akan dibuat bingung karena sang pemuda lebih mirip orang-orangan sawah dengan serabut kelapa dibagian kepalanya daripada seorang manusia, bahkan banyak yang menyebutnya tengkorak berjalan.
Pemuda yang saat ini tengah memperjuangkan hasil belajar dengan sebuah karya tulis yang jika dikalangan mahasiswa adalah indikator sesesorang berhasil atau tidak proses akademiknya. “mampus kau dikoyak-koyak skripsi!’, begitulah plesetan sajak Chairil Anwar.
Pemuda ini selalu merasa di neraka jika sudah berhadapan dengan dosen pembimbing tugas akhirnya yang pasti dan selalu saja memberikan revisian yang terkadang tidak masuk diakal, hal-hal sepele saja dipermasalahkan yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan skripsinya, belum lagi dalam proses bimbingannya, tidak ada satu menitpun untuk si dosen untuk tidak ‘menghardik’ si pemuda dengan kata-kata yang terkesan menjatuhkan dan jika si pemuda adalah seorang yang ‘baperan’, baru kata pertama yang dilontarkan si dosen sudah membuat dada terasa terhunus pedang. Jleb! Keadaan itu selalu membuat si pemuda bingung, sedih sekaligus kesal bersamaan. Itulah salah satu faktor mengapa skripsinya belum selesai juga sampai sekarang.
Batang rok*k terakhirpun telah habis di hisapnya, beserta kopi dengan hanya kenangannya yang tersisa. Teater senja di angkasa beres terselengara dengan tirai biru gelap menutup perlahan. Ah, tak sadar ternyata mendung, namun hati si pemuda sudah hujan duluan.
Gerimis yang mencoba untuk mengikis semua premis premis manis dalam relung hatinya membuat psikis sang pemuda menangis, sadis. Pemuda dengan penampilan underground ini, tersungkur diatas pulau kapuk berdebu, mengubur dalam-dalam semua keluh kesah dibawah punggungnya, bersama sejuta harapan yang belum terlaksana akan kehidupannya yang lebih baik lagi.
Air hujan makin lirih bernyanyi, gemuruh terbahak-bahak tertawa dan redupnya lampu bergotong royong menenggelamkan si pemuda ke dalam fana. Kelopak mata makin lama makin tak kuasa menahan hukum Newton, nafasnya makin berat berhembus. Makin dalam.. makin dalam… makin dala… makin da… ia terlelap.
“Pras, Pras, hudang! Mun geus beres mah kumpulkeun! ngadon hees!” teriak seorang lelaki gemuk berambut putih jarang-jarang. (Pras, Pras, Bangun! Kalo sudah selesai segera kumpulkan! ini malah tidur!) Lelaki gemuk dengan kemeja putih berdasi hijau garis garis yang terkesan lebih mirip dengan tokoh di The Simpson menoyor-noyor dengan radikal kepala seorang mahasiswa yang tengah tertidur saat ujian hingga membuat mahasiswa tersebut terjungkal kaget. “Astaga! Maaf pak saya ketiduran.” Jawabnya lirih dengan air liur masih menempel di sudut bibirnya. Sontak, membuat teman-teman di kelas tertawa cekikikan, mereka tak berani tertawa terlalu keras karena takut pada Pa Uyan yang terkenal killer di jurusan. “Ai maneh, rupa-rupa wae” (Kamu itu, ada-ada saja.) “Iya iya pak, maaf. Saya kurang tidur, semalaman membaca materi buat tes hari ini.” “Tapi ini sudah selesai kok pak.” sambung Pras sembari memberikan lembar jawabannya pada Pa Uyan. Tangan pa Uyan mengambil lembar jawaban Pras dan menumpuknya dengan yang lain. “Sok, nu geus beres kalaluar!” teriak Pa Uyan kepada semua mahasiswa di kelas (Silahkan, yang sudah selesai segera keluar!)
Pras yang sebenarnya masih sangat mengantuk, dan jika bisa melanjutkan mimpinya yang indah barusan terpaksa harus berjalan terhuyung keluar kelas, karena takut disemprot lagi oleh si dosen. Semasa tertidur barusan, Pras bermimpi tentang kuliahnya yang akhirnya selesai dan disamping itu, wisudanya juga berbarengan dengan Lita, seorang perempuan yang sudah dua bulan ini ia dekati. Dengan keterbatasan yang dimiliki Lita, justru membuat Pras luluh.
Sebenarnya Pras memang punya niatan untuk bisa lulus berbarengan dengan Lita, karena Pras sudah menyusun rencana besar di hari istimewa itu. Karena selama ini perasaannya tak pernah di-utara-kan pada Lita, hanya dii-barat-kan saja. Maka, Pras berfikir bahwa momen wisuda yang berbarengan adalah waktu yang tepat.
Namun, menjelang detik-detik Pras naik ke podium untuk pemberian Ijazah, Pras seketika melihat Pa Uyan yang menjadi salah satu orang di podium mengeluarkan Kilatan cahaya dari kepala profesornya. Petir menyambar menggelegar hingga membuat Pras terjungkal, terjaga dari tidurnya dan terdampar diatas bangku kuliahnya dengan liur yang membuatnya malu. “Tapi mau diapakan lagi, toh cuma mimpi.” Ujarnya sambil turun menuruni tangga dengan wajah kusam.
Semenjak mimpinya dikelas waktu itu, Pras menjadi sangat rajin kuliah. Dari yang sebelumnya tugas kuliah selalu merengek-rengek pada Pras untuk segera diselesaikan namun Pras berleha-leha, kini Pras merasa harus lebih menghargai waktu dan fokus agar jadi sarjana dan bonusnya Sarjana bareng Lita, wanita yang mengikat dirinya, tapi entah dirinya diikat oleh Lita atau tidaknya.
“Beresin mata kuliah, kumpulin nilai. Ngaret di skripsi aja, love u dospemku” tulis Pras di cuitan Twitter-nya setelah turun dari tangga gedung kelas menuju kantin belakang kampus, tempat biasa ia kongkow dengan rekan sejawatnya.
Sesampainya di kantin, teman-teman menyambut kedatangan Pras dengan mengulurkan tangan tanda selamat datang kembali, karena sebelumnya Pras sudah jarang nongkrong di kampus dan lebih memilih berkutat dengan buku buku dan tugas yang memusingkan.
“Widih, si ijuk baru dateng! Kamana wae atuh?” sambut seorang kawan Pras yang berkepala botak dengan tubuh tambun. Ona namanya (kemana aja?) “Haha didieu we ah teu kamamana.” Jawab Pras sambil memiringkan kepalannya ke kiri. (disini aja ah tidak kemana mana) Pras duduk berjajar dengan kawan-kawannya yang jika ditilik lagi, sama-sama gembel. Pras mengeluarkan sebungkus rok*k mint-nya dan korek gas dari jaket kulit hitam yang ia kenakan. Disundutnya rok*k itu, hingga kantin sedikit beraroma dingin.
“Gua lagi rada bingung nih braders.” Ujar Pras membuka obrolan. Pras menggunakan Bahasa Indonesia ketimbang bahasa sunda yang biasa ia gunakan karena kawan-kawannya tidak semua orang Sunda. “Bingung napa lau?” tanya lelaki jangkung besar dengan rambut diikat kuncir, Ben namanya. (lau : elu, elo, kamu, anda,) “Banyak mata kuliah yang ngulang nih, padahal udah waktunya skripsian. Mana kena sembur mulu sama Pa Uyan.” Keluh Pras. “Yaelah, santai aja kali Pras. Gausah dibawa pusing, apalagi dibawa pusing, nanti malah makin menjadi-menjadi.” Ceramah Hasbi, yang perawakannya kecil memakai topi ala Turki dan kelihatannya paling alim diantara mereka. “Gue paham banget ko gimana perasaan lau sekarang, tapi mendingan lau maksimalin waktu sekarang buat tekun kuliah dan perbaiki apa yang dah retak, supaya jangan ampe pecah. Gitu.” Ben berpendapat. “Kalem we Pras tong dibeubeurat, mun aya nanaon mah bebeja we. Insya Allah arurang bisa mantuan!” Timpal Ona memotivasi. (tenang saja Pras jangan dibuat berat, kalo ada apa-apa bilang saja, Insya Allah kita bisa membantu!) “Haha oke-oke, thanks banget semua buat dukungannya. Gua bingung harus minta tolong ke siapa lagi.” Sahut Pras mulai melengkungkan bibirnya ke atas yang tengah mengapit batang rok*knya. “Siapppp!” jawab ketiga temannya serentak. Pras lepas tertawa, bercengkrama dengan ketiga sahabat gilanya ini.
Saat obrolan mulai garing, dan kantin sudah mulai tak seriuh tadi, seketika keempat sekawan ini terperanjat dalam lubang nostalgia kala mengingat masa-masa saat mereka masih maba, empat tahun yang lalu. Datang dari asal muasal yang berbeda.
Prasetya Adinugroho dan Ona Suryana adalah dua pribumi Kota Bandung, Ona tinggal di Kopo. Ben Jamaludin, yang jika disingkat menjadi ‘Benjamin’ adalah seorang pemuda berlagak seperti preman karena punya tubuh sebesar pintu kelas, datang dari Ibukota negara bagian Barat, daerah Cengkareng lebih tepatnya. Ben yang sebenarnya baru satu tahun ini tinggal di Bandung karena ia merupakan mahasiswa pindahan, dan sekarang menyewa kostan di daerah Cikutra. Dan yang terakhir, Muhammad Hasbi, adalah orang ‘jauh’ disini. Hasbi datang dari bagian paling barat tanah air, daerah yang dijuluki ‘Serambi Mekkah’. Ia memutuskan untuk merantau menimba ilmu dan Bandung menjadi pilihannya, saat ini Hasbi tinggal dengan kerabat-kerabat sekampung halamannya di sebuah kontrakan yang juga merupakan sekretariat organisasi daerah Mahasiswa Aceh di kampus mereka. Kontrakannya berada di Pahlawan.
Mereka menghabiskan teriknya siang dihari itu dengan aroma nostalgia, menceritakan kegilaan mereka dua-tiga tahun lalu saat ada beberapa event jurusan, dan merekalah yang meramaikan acara tersebut. Banyak-banyak kegilaan-kegilaan yang mereka ciptakan demi terbentuk suasana tanpa sekat, hingga tak terasa kini masa perkuliahan tinggal beberapa langkah menuju kepengurusan toga dan ijazah. Sungguh waktu tak terasa berlalu, bagai angin yang berhembus, hanya bisa dirasakan namun tak bisa ditahan lajunya.
Cerpen Karangan: Andian Yuliawan Putra seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kota Bandung. Gemar berbagi cerita baik lisan maupun tulisan.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com