Setelah puas bernostalgia bersama, mereka memutuskan untuk pulang karena langit sudah memperingatkan akan turun hujan lewat gemuruhnya. Merekapun berpisah dengan saling berjabat tangan disertai pelukan kecil yang sudah barang tentu akan sangat membekas suatu hari nanti.
“Maraneh kade di jalan!” teriak Pras sembari melambaikan tangan pada teman-temannya yang sudah menunggangi kereta besinya masing-masing. (Kalian hati-hati di jalan!) Sementara Pras masih termenung diatas Honda CB100-nya yang terparkit dekat aula fakultas. Memandang langit senja Kota Kembang berselimut abu, tak jauh beda dengan pikiran dan perasaannya yang diselimuti kelabu.
Setelah perjuangan yang cukup melelahkan di kampus, akhirnya Pras menyelesaikan mata kuliahnya dengan hasil yang lumayan ada peningkatan meskipun tidak bagus-bagus amat, tapi sudah cukup untuk membuat Pras bernafas lega sejenak karena sudah bisa melanjutkan perkuliahannya ke tahap kelulusan. Hingga sampailah ia pada skripsi. Kesialan menghampiri dirinya, tatkala mendapat informasi bahwa ada perubahan dalam penentuan dosen pembimbing akademiknya yang sebelumnya adalah Pa Drajad yang ramah dan memang dekat dengan Pras secara personal karena rumahnya yang berdekatan, kini Pras dibimbing oleh, Pa Uyan. “Ah sial!” keluh Pras dalam hati sesaat setelah menerima informasi itu. Dan benar saja, saat Pras memulai bimbingannya dengan Pa Uyan, acap kali Pras di ‘hardik’ secara frontal oleh beliau.
Ujian Proposal dimulai, Pras yang sudah mempersiapkan judul dan materi skripsi menyodorkannya pada Pa Uyan. “Tina judulna wae geus teu berbobot, kumaha eusina?” ucap Pa Uyan. (Dari judulnya saja sudah tidak berbobot, bagaimana isinya?) Pras sakit hati mendengar ucapan dospemnya tersebut mengomentari judul skripsi yang dipikirkannya selama satu bulan tanpa henti, dengan sudah mengorbankan waktunya membaca banyak buku. “Maaf Pak, saya sudah banyak mencari referensi untuk materi ini dari banyak buku dan sumber lain. Jadi, judul ini yang saya gagas. Tapi, kembali lagi ke bapaknya perihal layak atau tidaknya judul skripsi saya.” “Nya mun disebut layak mah nya layak, tapi engke rek kumaha eusi materina? Da hese materi ieu teh jang mane mah, nu kuliah wae teu baleg.” (ya kalo disebut layak sih, ya layak. Tapi bagaimana dengan isi materinya nanti? Ini materi yang susah untuk kamu, yang kuliah aja ga pernah bener.) “Insya Allah saya sanggup pak, beberapa waktu ke belakang saya sudah perbaiki nilai-nilai saya sampai bisa di fase ini. Maka dari itu, saya mohon bimbingan dari bapak.” Jawab Pras sambil menundukkan kepala. Mendengar ucapan Pras dan melihat perjuangannya mengejar nilai selama ini, membuat Pa Uyan sedikit luluh. “Baiklah, jika kamu sanggup. Tenang saja, kamu akan saya bimbing.” Ujar Pa Uyan menggunakan bahasa Indonesia yang jarang ia gunakan, kecuali jika ia sedang serius atau formal. Mendengarnya, Pras yang mengangkat kepala lantas tersenyum pada Pa Uyan, dan menyalaminya. “Hatur Nuhun pisan pa.” (Terima kasih banyak pa.)
Keadaan di ruang Pa Uyan pun sedikit hangat, dan mereka melanjutkan perbincangan ditemani dua cangkir kopi susu dan sebungkus rok*k, menambah keakraban diantara mereka berdua. Memang benar, rok*k dan kopi dapat menjadi alat pemersatu.
Dan setelah proses yang sangat berat dan panjang, Pras selesai dengan skripsi, setelah itu tinggal menunggu waktu sidang, untuk mempertanggung jawabkan skripsinya yang dibimbing oleh Pa Uyan.
Dan sidangpun berjalan lancar. Berhasil menyelesaikan skripsi dan sidang membuat Pras bahagia sekaligus bangga, tinggal menunggu wisuda. Di saat yang sama, Pras menapat kabar juga bahwa Lita, wanita yang mengisi relung hatinya berhasil menyelesaikan kuliahnya, dan sepertinya akan wisuda di waktu yang berbarengan dengan Pras dan mungkin momen wisuda ingin dijadikan waktu yang tepat bagi Pras untuk menyatakan perasaannya pada Lita. Karena selama ini, Pras dan Lita sudah sangat dekat, namun ikatan tak pernah sama sekali mengikat mereka. Pras masih bingung mencari waktu dan momen yang tepat. Sedangkan Lita hanya bisa menunggu. Klasik!
Hari yang ditunggu-tunggupun tiba. Ratusan peserta sudah memenuhi aula tempat wisuda akan dihelat, dan Pras ada didalamnya. Setelah mendapat tempat duduknya, Pras nampak celingak-celinguk, mencari Lita. Matanya beredar menyapu sekeliling ruangan, namun Pras tak menemukannya karena terlalu banyak orang dengan penampilan yang sama pula.
Rektor menaiki mimbar dan mulai menyampaikan pidatonya pada khalayak. Setelah pidato rektor usai, dan dimulailah prosesi pelepasan para mahasiswa. Satu-persatu nama mahasiswa dipanggil untuk naik dan menerima medali. Saat itu, nama paling indah yang pernah Pras tahu setelah nama ibunya, dipanggil. “Maulita Pramesti! Dengan IPK 3,95, cumlaude!” nama itu disebutkan oleh panitia wisuda, disambut tepuk tangan yang sedikit meriah.
Indra pengelihatan Pras bergerilya kembali untuk mencari keindahan ditengah hiruk-pikuk keramaian orang banyak. Hingga matanya tertuju pada seorang perempuan berwajah oriental dengan kerudung hitam bertoga berjalan dengan anggun menaiki panggung, dan turun kembali setelah menerima medali dan menyalami para dosen besar yang ada dipanggung. Sekembalinya Lita dari panggung, Pras meneriaki namanya sampai membuat orang-orang disekitarnya kaget dan menoleh padanya, “LITA !!!”, teriakkan disertai dua jempol yang diacungkan Pras itu sedikit lama membuat Lita menengok dan akhirnya tersenyum, Pras tersipu bangga.
Tak lama setelahnya.. “Prasetya Adinugroho..” namanya dipanggil. Pras terdiam sejenak, lalu mulai berdiri dari kursinya dan berjalan dengan jantung berdebar dua ketukkan per satu detik menuju panggung. Pras baru menyadari bahwa Pa Uyan berada dalam barisan para dosen besar. Pras mulai menyalami mereka dengan perasaan bangga, dan saat menghadapi Pa Uyan, sontak Pras memeluknya erat setelah dikalungi medali. “Terima Kasih pak, tanpa bapak, saya gabisa sampai sini.” “Iya, sama-sama.” Pras, turun dari panggung.
Acara wisudapun formal usai, dilanjutkan dengan wisuda informal. Para peserta berfoto ria dengan teman-teman, kerabat maupun keluarga yang datang. Setelah berfoto dengan teman teman dan sanak saudaranya, Pras yang sedari tadi berkumpul dengan sahabat-sahabat gilanya tengah asik ngobrol. Tiba-tiba Pras dikagetkan dengan kedatangan Mawar, teman Lita dengan toga yang sudah dilepas dengan alasan gerah, katanya. “Pras, ada titipan nih.” Ujar mawar sambil memberikannya pada Pras. “Bingkisan bunga dari siapa nih?” Mawar hanya mengangkat bahu, lalu melangkah pergi. Diperiksalah bingkisan bunga itu, dan tampak sesuatu berwarna putih didalam sela-sela bunga. Sepucuk surat. Pras membuka dan membaca surat itu:
“We did it, Bae. After a tough journey, I’m perfectly full of happiness. Ga kerasa, udah empat tahun ini kita laluin bersama. Sebelum ada kamu, aku itu cc cuma perempuan tuli yang ga diinginkan orang-orang. Orang lain nganggep aneh, setiap kali aku berusaha menyapa mereka, mereka gak menghiraukan aku sambil memasang gesture tutup telinga. Didalam kebisuanku, hatiku hancur. Tapi, setelah aku kenal kamu, pas kamu mergokin aku nangis di kelas kosong waktu itu, cuma kamu satu-satunya orang yang mau mendengar ditengah ketulianku. Cuma kamu, satu-satunya yang mau menyadari kehadiran raga dan perasaanku, cuma kamu yang menerima aku apa-adanya. Dan kini, aku seneng bisa nyelesain kuliah bareng kamu. Terima kasih udah jadi telinga buat aku untuk mahamin dunia selama ini, dan maaf aku belum bisa dan ga akan pernah bisa jadi “pendengar” buat kamu. Meskipun begitu, hati aku bisa mendengar kok. Dan hatiku sudah jadi milikmu. I Love You.”
With Love, Lita.
Usai membacanya, Pras langsung berlari menembus kerumunan orang, mencari si penulis surat tersebut. Tak ada satupun gedung kampus yang tak ia sambangi untuk mencarinya.
Lita tengah terduduk diam di belakang kamar mandi gedung kelas ditemani sepi dengan medali yang ia genggam erat. Toga sudah ditanggalkannya, air mata tak hentinya mengalir menandai kesedihannya. Pras yang sedari tadi mengitari kampus mencari Lita, lantas tertegun melihat Lita tengah kalut.
“Kamu, kenapa?” disertai gerakan tangan, Pras bertanya. Lita, yang langsung menghapus air matanya, bereaksi akan kedatangan Pras, “Tidak, apa, apa, aku, cuma, terharu.” “Serius? Nangisnya, beda, loh.” Pras menjawab, lalu mengeluarkan surat yang tadi Lita tulis untuknya. Melihat surat darinya, Lita tiba-tiba berlari ke arah Pras…
—
“Pras, bangun sudah pagi! Kamu kuliah enggak?” teriak seorang wanita berusia empat puluh tahunan membangunkan Pras. “Tidur ga inget waktu ya, bangun!!!”
Jendela yang terbuka, mengundang jemari sang surya menyelinap masuk ke ruangan yang lebih cocok disebut kapal pecah daripada kamar tidur ini. Serabut-serabut fajar menjalar mencumbui Pras yang masih dikerubungi bunga-bunga tidur. Sang fajar makin memerah dan serabutnya sudah berevolusi menjadi cambuk, yang langsung menghentak Pras untuk terbangun dari mimpinya. Pras kepanasan dan terbangun. “Jadi tadi cuma mimpi???” keluhnya.
“Ah, tahi lah!” sambungnya sambil mengambil ponselnya diatas meja, yang menunjukkan hari Senin, dimana mata kuliah pertama adalah mata kuliah yang diajar oleh, Pa Uyan. Pukul 08.30, dan sekarang sudah pukul 08.25!
SELESAI.
Cerpen Karangan: Andian Yuliawan Putra seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kota Bandung. Gemar berbagi cerita baik lisan maupun tulisan.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com