Gadis itu terdiam sejak 5 menit lalu. Dokter di depannya hanya membuang nafas pelan, kemudian beranjak berdiri. “Saya harap, kamu bisa menerimanya dengan baik ya. Terima kasih. Saya tinggal dulu, Selamat Sore,” Dokter itu menutup kalimatnya lalu pergi. Ia masih diam seperti patung. Entahlah. Jiwa di dalam dirinya seakan meraung, berteriak marah, bergejolak.
Gadis berusia 19 tahun itu menyukai dan mahir menari, khususnya balet. Tubuhnya tinggi, memiliki rambut cokelat terang sepinggang, juga kulitnya yang sedikit pucat, namun putih bersih persis seperti namanya.
Putih berjalan keluar dari ruangan itu. Matanya berkunang kunang. Jalanan terlihat seperti berputar-putar. Badannya mendadak panas. Kondisi ia sedang sangat tidak baik baik saja. Dokter menyatakan penyakit di dalam tubuhnya berkembang semakin ganas. Tapi, ia yakin, Tuhan masih ada rencana baik. Karena ia sudah berjanji, ah sudahlah. Putih memegang kepalanya. Ia tidak kuat lagi untuk berpikir macam macam, sekarang ia akan pulang dan beristirahat.
“Gimana hasilnya put?” Felisha, alias sahabat putih bertanya ketika Putih menaiki mobil hitamnya. “Tambah buruk, fel,” “kalau begitu kita langsung pulang saja kau sangat butuh istirahat total,” “Iya Fel, tolong ke ruma-” Belum selesai kalimat Putih, ia sudah kehilangan kesadaran. Felisha terkejut, buru-buru ia mengambil obatnya. Kemudian menyetir menuju rumah Putih.
Bagi Putih, menari bukan sekedar bergerak dan berputar di depan banyak orang. Menari memiliki makna yang dalam di setiap gerakan indahnya. Sejak kecil, ia sudah menyukai menari diajari oleh ibunda tercinta. Putih sudah menggangap menari lebih dari separuh jiwa dan hidupnya.
“Terima kasih Felisha,” Putih tersenyum. Tubuhnya tersender lemas di kasur kesayangannya, setelah pulang dari rumah sakit. Felisha mengangguk, menyodorkan semangkuk bubur buatannya. “Maaf kalau kurang enak. Buburku belum sempurna juga,” Jelas Felisha. “Padahal sudah kuaduk dengan benar,” Putih tertawa. “Semua butuh proses Fel,” “Ya begitulah, tapi aku sudah belajar selama 3 bulan put? Kenapa ya tetap tidak berubah,” Felisha menunduk, sambil mengaduk-ngaduk bubur miliknya. Pura pura bersedih, tapi memang sedih beneran sih. “Ah tidak juga. Dulu waktu pertama kali kumakan buburmu rasanya asin sekali, sampai sampai satu panci ikut terbuang,” Mereka berdua tertawa. Ruangan kecil itu kini di penuhi candaan mereka, menghapus kesedihan sejenak. Mereka adalah dua sahabat yang akrab. Saling mendukung, membantu dan saling membutuhkan.
Hari semakin malam, Felisha harus pulang. Ia melambaikan tangan kepada Putih. Putih membalasnya riang, dia meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya sampai depan gerbang seperti biasanya. Felisha hanya mengangguk, ia tahu kondisi sahabatnya.
Kini, ruangan kamar Putih kembali hening, padahal baru beberapa menit yang lalu ramai oleh canda tawa. Putih hanya tinggal bersama bibinya yang baru pulang pukul 8 malam. Jadilah ia sendiri di rumah. Tapi, tidak perlu khawatir. Putih memiliki tetangga yang baik dan ramah siap membantu jika Putih terjadi apa-apa.
Sebetulnya, Putih bersyukur dengan keadaannya seperti ini. Walau ia menderita dan terkadang merasa kesepian. Apalagi setelah kepergian Ibu tercinta. Satu kalimat yang selalu Putih ingat adalah, Ibunya akan selalu melihat ia, kapanpun dan dimana pun walau sudah tidak bersama Putih lagi. Ibunya selalu mendukung impian Putih sejak kecil. Yaitu tampil menari dengan indah pada lomba balet dunia. Putih selama ini berusaha sekuat tenaga berlatih dengan baik. Walau Putih harus ditemani penyakit di dalam tubuhnya.
Berkali-kali Putih terpaksa libur latihan. Hingga akhirnya dokter mengatakan penyakitnya sudah semakin buruk. Tak terasa, pipinya terasa hangat. Putih menyeka air matanya, sambil mengeluh pelan. “Aku kenapa lemah banget sih. Gini doang nangis. Padahal Mama tidak suka aku bersedih,” Namun, Putih malah tambah menangis. Lama-lama lelah juga, menangis ini tidak membantu apa apa. Putih terlelap, tenggelam dalam kesedihannya.
—
“Kamu yakin tidak apa apa Put?” Putih tersenyum, lalu menutup pintu mobil. Ia baru saja selesai latihan menari minggu ini. “Aman. Sekarang kita mau kemana? Joging ke taman? Tempat gym? Atau nonton bioskop? Ayolah mumpung masih pagi,” “Heh! Kau kemarin baru saja hampir sekarat. Sekarang kau malah begini?” Felisha mendengus. Putih terdiam, mengangkat bahu. “Aku benar tidak apa apa fel. Aku merasa lebih sehat setelah minum obat tadi pagi. Kau mau sahabatmu sedih? Atau kau mau sahabatmu hanya berdiam diri di kasur, meminum obat pahit, menangis sepanjang malam?” Kini Felisha yang terdiam. “Baiklah, kita beli es krim saja oke?” Putih di sebelahnya riang, mengangguk.
Begitulah kegiatan Putih selama 1 bulan terakhir. Berlatih menari setiap minggu. Hari-hari Putih berjalan semakin baik, namun terkadang ia kambuh. Hampir sekarat seperti saat itu. Namun kemudian mendadak sehat lagi. Entahlah. Apakah ini keajaiban dari Tuhan untuknya? Putih harap begitu. Karena pentas balet dunia sudah di depan mata. Tepat 1 hari sebelum hari itu tiba, Putih lengkap memeriksa kondisi tubuhnya ke dokter. Kalaupun hidupnya sudah tidak lama lagi, maka izinkanlah Putih bisa tampil hari itu dan mewujudkan impiannya sejak kecil. Dokter bilang, kondisi ia belum sepenuhnya baik dan stabil. Tapi Putih sudah merasa jauh lebih baik dan siap tampil.
Hari itupun tiba. Mata Putih berbinar melihat dirinya di depan cermin. Kostum balet berwarna putih dan pernak pernik emas mengembang indah di tubuhnya. Ia juga mengenakan kaus kaki sebetis dan sepatu balet kesayangannya. Rambut coklatnya di ikat dan dicepol ke atas. Cantik. Felisha yang membantu.
“Kamu sudah oke kan, Put?” Felisha bertanya meyakinkan dibalik panggung. Putih mengangguk. Walau kepalanya tiba-tiba pusing. Tapi tak apa. Itu tidak akan mengganggu. Putih berjalan menuju panggung. Ruangan itu gelap dan besar. Hanya mengandalkan beberapa lampu sorot yang akan menerangi penari. Di depan sana, ada banyak orang yang menyaksikan. Putih harus tampil sebaik mungkin. Walaupun dalam hatinya, ia sangat gugup.
Baiklah. Putih mengambil nafas. Alunan lagu mulai terdengar. Ia mulai berjalan pelan kesana kemari. Sesekali memainkan tangannya yang lentik. Kakinya melompat kecil kemudian menghentak hentakan ke lantai sesuai irama. Lalu berputar sambil melingkarkan tangannya di udara. Beberapa penonton bertepuk tangan kecil.
Apa aku berhasil? Batin putih. Ia lalu mengangkat satu tangannya dan kakinya, kemudian berjalan kesana kemari. Apa Ibu melihatku disini? Putih mengulang beberapa Gerakan. Lalu melompat tinggi. Tangannya terangkat. Tubuhnya kembali berputar putar. Penonton terkesima. Beberapa bertepuk tangan.
Apa gerakan tadi sudah betul? Pikiran Putih penuh dengan ratusan pertanyaan. Lagu sudah hampir selesai. Ini adalah gerakan terakhir. Ia akan berputar berkali-kali sambil memainkan tangan dan kakinya, lalu melompat dan meletakkan kedua tangannya di atas kepala, seolah ia adalah seorang ratu.
Ketika sedang berputar, Putih mulai sempoyongan, tubuhnya berputar terlalu kencang. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya tiba-tiba nyeri luar biasa. “Tuhan, Aku mohon jangan sekarang,”
Tubuhnya mulai sesak dan rasanya tercekik oleh sesuatu. Penglihatanya semakin redup. Tangan dan kakinya mendadak keram. Namun ia sudah terlanjur melompat tinggi sambil menunjukan pose terakhirnya.
BRUKKK Ia terjatuh tepat di akhir lagu. Kepalanya terbentur keras di lantai, hidungnya mulai mengalir darah. Lalu disusul tepuk tangan penonton yang sangat meriah dan disambut konfeti-konfeti warna warni. Putih menatap langit-langit panggung, beberapa konfeti mengenai wajahnya yang sudah pucat dan kaku
“PUTIHH!!!” Felisha berlari ke atas panggung, tidak memedulikan sekelilingnya. Ia menghampiri tubuh Putih yang mulai dingin, Menangis. “Jangan Put, Aku mohon,”
“Terima kasih Tuhan. Terima kasih Felisha, dan semuanya-,” ujar Putih pelan, sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Cerpen Karangan: Khalawa Imana