Di tepi sebuah jalan raya yang ramai oleh bisingnya kendaraan, berjalanlah seorang gadis di sana. Dengan bermandikan cahaya matahari senja, ia melangkahkan kedua kakinya yang berbalut kaus kaki merah muda dan sepatu kets putih dengan gontai. Angin sore yang berembus menyapa wajahnya yang tanpa rona. Embusannya cukup kencang dan terus menerus menerpanya hingga wajahnya pun terlihat sangat kering. Kedua mata sayunya memandang lurus ke depan mengikuti arahnya berjalan. Namun kedua bola matanya terlihat hampa, seakan tidak merefleksikan bayangan apa pun setidaknya enam meter di depan pandangannya. Jarak pandangnya menembus jarak enam meter itu. Saat itu yang ada di pandangannya adalah ruang kantornya yang berjarak sekitar lima kilometer dari langkah kakinya sekarang. Semakin jauh ia melangkah, semakin jauh pula jarak yang membentang diantaranya.
Masih dalam pandangannya, gadis itu melihat bagaimana kondisi ruang kantornya yang berisi tujuh orang itu cukup hening. Rekan-rekan kerjanya sedang sibuk dengan layar komputernya masing-masing. Namun, bisikan-bisikan di ujung ruang itu masih bisa terdengar olehnya. Di ujung ruangan sana, tiga perempuan yang merupakan rekan kerjanya terdengar begitu asyik bersahut-sahutan dengan volume suara yang hampir seperti angin berlalu. Walau pun begitu, intonasi dan artikulasi yang mereka buat cukup jelas untuk diterima oleh indera pendengaran orang lain yang menangkap suaranya. Kata-kata seperti “murung”, “ansos”, dan “bipolar” semakin sering terdengar dari ketiga perempuan itu. “I should’ve known. It’s me.” Ujar gadis itu dalam hati.
Komputer di depannya menampilkan gelembung-gelembung berwarna-warni cantik yang berputar ke segala sisi, menandakan bahwa komputer itu sudah sekian lama tidak mendapatkan perintah mau pun pergerakan kursor. Saat satu gelembung berbenturan dengan gelembung lain, maka ia akan terpental ke arah yang berlawanan dari arah datangnya. Di pojok kanan atas komputer tertempel label bertuliskan “Gisha” yang merupakan nama gadis itu.
Gadis itu cukup populer di kantornya karena dengan pribadi yang cerdas, enerjik, disiplin, komunikatif, dan berjiwa kepemimpinan tinggi membuatnya menorehkan banyak prestasi dan penghargaan sebagai project leader disana. Ia juga sangat disenangi rekan-rekan kerjanya dengan sikapnya yang supel dan terbuka untuk memotivasi dan membantu mereka agar bisa berprestasi seperti dirinya. Ia menjadi magnet di mana banyak orang mendekatinya untuk berteman dan bertukar pikiran dalam menyelesaikan berbagai macam masalah yang terjadi di kantor. Dirinya diibaratkan seperti sebuah lampu yang menyala di kala musim hujan datang di mana rekan-rekan kerjanya seperti laron-laron yang menggerombol mendekati lampu itu sebagai sumber cahaya yang membuat mereka nyaman.
Penampakan seseorang dengan kombinasi wajah kering lalu berjalan gontai dengan tatapan kosong memang bukanlah pemandangan yang sedap dipandang. Entah sudah berapa pasang mata yang menatapnya khawatir seolah ia akan limbung dalam beberapa detik ke depan. Namun ia tak peduli dan terus melangkahkan kakinya.
Tepat saat langkah kakinya sampai di sebuah pohon dengan dedaunan kering yang berguguran, nada-nada sendu mengalun dari seorang pengamen jalanan yang memainkan biolanya. Nada-nada sendu yang lembut itu mencoba menjangkau indera pendengaran gadis itu agar ia terpikat oleh suaranya dan berhenti sejenak untuk menikmatinya, seperti berhasilnya nada-nada sendu itu memikat beberapa orang yang mengelilingi pengamen jalanan itu. Sayangnya, yang sampai oleh indera pendengaran gadis itu hanyalah semilir angin sore yang memang sedari tadi sudah menemani perjalanannya. Perlahan, semakin jauh kakinya melangkah nada-nada sendu itu pun menjadi bisikan lembut dan akhirnya senyap tak berbekas.
Kini, suara semilir angin sore yang memenuhi telinganya berganti dengan suara bisikan ketiga perempuan yang terus menerus bersahutan. Suara itu sebenarnya datang dari ingatan kepalanya, namun entah mengapa bisa terdengar begitu nyata hingga memenuhi seluruh telinganya.
Sudah lebih dari dua minggu lamanya gadis itu menjadi bahan gunjingan di kantor tempatnya bekerja. Penyebabnya adalah perubahan sikap yang dinilai bertolak belakang 180 derajat dari biasanya oleh orang-orang di kantornya. Gadis yang biasa menunjukkan pribadi yang enerjik, ceria, dipenuhi aura positif, dan selalu dikelilingi rekan-rekannya itu kini berubah menjadi gadis murung tanpa rona yang menutup dirinya rapat-rapat. Tak ada satu pun rekannya yang mengetahui penyebab ia berubah sedemikian drastisnya karena ia benar-benar tidak ingin berbicara apa pun diluar hal-hal yang menyangkut pekerjaan. Mereka hanya bisa memerhatikan dan mempertanyakan perubahan gadis itu yang kian hari kian memburuk.
Lama-kelamaan, pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya hanya tersembunyi di benak mereka pun terlontarkan secara lisan dan menjadi bahasan di antara mereka. Semakin banyak orang yang membahas perubahan yang terjadi pada gadis itu, semakin banyak pula asumsi yang bertebaran mengelilinginya. Sering kali asumsi-asumsi itu akhirnya hinggap di telinga gadis itu, mulai dari asumsi yang logis seperti, “Mungkin dia sedang ada masalah yang gak bisa diceritain ke orang lain.”, “Mungkin kondisi kesehatannya sedang kurang baik belakangan ini.”, “Mungkin project yang sedang dikerjakan cukup berat dan berpengaruh ke perubahan sikapnya.”, “Mungkin karena dia project leader yang cerdas, pimpinannya menambahkannya job desc yang membuat dia kelelahan.” sampai asumsi yang berujung ke fitnah seperti, “Mungkin dia sudah gak mau lagi berteman dengan orang-orang yang levelnya dibawah dia seperti kita ini.”, “Mungkin dia sengaja menutup diri karena kelelahan menanggapi orang-orang yang meminta bantuannya.”, “Mungkin dia ingin menyombongkan dirinya sebagai karyawan berprestasi.”, “Mungkin dia sedang ogah-ogahan kerja karena gajinya sebagai karyawan berprestasi tidak dinaikkan.”
Semua asumsi itu terus berkembang mengitari diri gadis itu. Sayangnya, eksistensi dari asumsi yang berujung fitnah lah yang paling cepat melesat di kalangan rekan kerjanya. Dari sana lah label-label negatif mulai tertempel pada dirinya mulai dari “pemurung”, “workaholic”, “sombong”, hingga “pencitraan”, “ansos”, “penjilat”, “depresi”, dan “bipolar”. Memang, sebaik apa pun seseorang di hadapan sesama manusia, jika ia menunjukkan secuil keburukan yang tidak bisa ditolerir maka ia pun akan dicap buruk.
Seperti hari ini saat ketiga perempuan yang merupakan rekan kerja gadis itu berbisik-bisik menggunjing dirinya. Meski pun ruangan kantor saat itu cukup hening, namun bisikan-bisikan itu bisa terdengar oleh gadis itu yang menempati meja terdepan. Jika dirinya yang berada di meja terdepan saja bisa mendengar seluruh ucapan ketiga perempuan itu, tentu orang-orang yang menempati meja dibelakangnya pun demikian. Diantara seluruh ucapan yang terdengar oleh telinganya, terdapat perkataan yang terasa sangat menusuk hatinya: “Fixed, dia makin hari makin depresi karena bipolarnya itu. Bisa jadi sebentar lagi dia gila sungguhan. Makanya, kita jangan workaholic banget kalau gak mau berakhir kayak dia.” “Mulut-mulut kejam.” Ujarnya dalam hati.
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Blog / Facebook: Risya Nurcholis (Facebook) Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.