Usai salat magrib, mereka pun sampai di kafe itu. Suasananya masih ramai oleh penghuni kantor yang sedang melepas penat atau mengerjakan tugas kantornya yang deadlinenya sudah dekat. Kafe ini memang cukup luas untuk ukuran kafe yang berada di sebuah kantor. Oleh karena itu, betapa pun ramainya pengunjung kafe tidak membuatnya menjadi sesak.
Tak lama kemudian, dua cangkir vanilla latte sudah tersaji di atas sebuah meja kecil berwarna hijau toska di depan mereka. Mereka memilih meja paling ujung yang merupakan tempat kesukaan mereka. Di sanalah tempat terhening dari riuhnya pengunjung kafe dan tempat ternyaman dengan angle terbaik untuk menikmati pemandangan jalan raya di luar sana. Gadis itu pun mulai menyeruput vanilla lattenya. First sip is indeed the best taste. Seruput pertama memunculkan sedikit rona di wajah gadis itu, bahkan mendorongnya untuk berujar, “Enak.” Anna yang juga sedang menyeruput vanilla lattenya terkejut dengan ucapan gadis itu karena sedari tadi gadis itu hanya terdiam.
Melihat keterkejutan Anna, gadis itu pun mendadak canggung untuk bersikap padahal Anna adalah teman dekatnya. Sedetik kemudian, ia menghela napas panjang.
“Gue capek.”
Entah dorongan dari mana, ia mulai bersuara untuk menceritakan hal yang mengganjalnya belakangan ini. Anna berusaha untuk mendengarkan gadis itu sambil tetap menyeruput vanilla lattenya. Pandangan tajamnya yang menatap gadis itu seolah meminta gadis itu untuk terus melanjutkan apa yang ingin ia utarakan. Gadis itu kembali menyeruput vanilla lattenya. Dengan kepala yang sedikit menunduk, ia mencoba memusatkan pandangannya ke vanilla latte itu, lalu melanjutkan,
“Apa selama ini semua orang di kantor ngedeketin gue cuma karena manfaatin gue? Kenapa mereka setega itu?” Anna menaruh cangkirnya di meja untuk mendengarkan gadis itu secara seksama. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, masih menggenggam cangkirnya dengan kedua tangannya. Matanya kini mengarah ke kanan. Ia tampak berpikir keras, meraba-raba ingatan di kepalanya.
“Sebenernya gue fine-fine aja. Tapi setelah ada yang bilang begitu di belakang gue, gue jadi down.” Jawabnya. Anna memiringkan sedikit kepalanya dan menaikkan salah satu alisnya.
Gadis itu pun melanjutkan, “Dua minggu lalu gue liat dan denger sendiri, ada dua orang yang masuk ke ruangan gue terus bilang kalau gue dimanfaatin orang-orang kantor biar karir mereka melesat. Gue shocked, sedih, kepikiran terus tiap hari.” Ia terdiam sebentar lalu menyeruput vanilla lattenya lagi.
Gadis itu menaruh cangkirnya di atas meja. Ia lalu menyandarkan punggungnya ke sofa dan mengarahkan pandangannya ke jalan raya yang masih ramai oleh kendaraan. “Selama ini gue dengan senang hati bantuin mereka, Na. Gue gak pernah merasa terbebani, karena emang gue seneng bantu orang. Gue sama sekali gak nyangka kalau kenyataannya mereka begitu. Setelah gue tahu itu, gue jadi berhenti bicara sama siapa pun di kantor. Gue mempersempit circle gue dan ngindarin mereka. Gue bener-bener kecewa.” Ujarnya, yang kemudian tiba-tiba menyondongkan badannya ke depan dan menatap Anna dengan mata yang mulai berkaca, “Dan ternyata bener. Setelah gue ngejauh, mereka malah bikin gosip-gosip tentang gue, fitnah gue, ngehina gue di belakang. Apa itu gak kejam?” Lalu ia mengambil cangkirnya dan menyeruput vanilla latte itu kembali dengan tetesan air di ujung kedua matanya.
Anna pun ikut mengambil cangkirnya dan menyeruput vanilla latte itu. Matanya setengah terpejam seakan meresapi apa yang ia minum, lalu berkata, “Vanilla lattenya enak ya.” Gadis itu hanya mengangguk setuju. Ia heran mendengar perkataan Anna. Setelah ia mengutarakan isi hatinya yang sedang kacau, Anna tidak merespon apa-apa terkait ceritanya dan malah mengomentari vanilla latte yang mereka berdua pun sudah tau bahwa itu memang enak.
Anna tersenyum kecil dan bertanya, “Kenapa lo suka banget sama vanilla latte?” Gadis itu semakin terheran dengan Anna. Mengapa Anna malah terus membicarakan vanilla latte mereka sedang kan ceritanya diabaikan begitu saja? Dengan lesu, ia menjawab, “Ya karena enak dan bikin gue nyaman.” “Bukan, lebih dari itu. Lo suka vanilla latte karena dia mencerminkan diri lo.” Ujar Anna. Gadis itu menyipitkan kedua matanya lalu bertanya, “Maksudnya?”
Anna hanya tertawa kecil, namun pandangannya tidak terlepas dari gadis di depannya itu. Ia menyeruput vanilla lattenya sedikit lalu menaruhnya kembali ke atas meja mereka dan berkata, “Vanilla latte itu terbuat dari espresso yang kuat dan pahit lalu dibuat menjadi light dengan campuran krim susu dan ditambah ekstrak vanilla yang khas. Jadilah vanilla latte yang enak, menyenangkan, dan menenangkan buat diminum orang. Begitu juga dengan Gisha. Dia pribadi yang kuat, tegas, perfeksionis, teguh pendirian, disiplin, mandiri, enerjik. Dan kekuatan dari dirinya itu di-light dengan nunjukin kalau keramahan, kesupelan, kebaikan buat bantu orang lain. Dia juga bisa terus jadi diri sendiri walau pun setiap hari selalu dikelilingi dan dideketin orang-orang yang beda-beda wataknya. Itu lah yang bikin dia terus disenengin sama mereka. So, she’s the vanilla latte.”
Gadis itu terpaku mendengar seluruh perkataan Anna. Matanya kembali berkaca-kaca seakan tersihir oleh perkataan itu. “Sayangnya, dia lagi kehilangan vanillanya setelah dia ngebiarin orang lain ngambil vanilla itu. Apa artinya vanilla latte tanpa vanillanya? Itu bukan vanilla latte lagi, kan?” lanjut Anna. Sementara itu, gadis itu masih terpaku dengan secangkir vanilla latte di genggamannya. Air mata yang terus menetes dari ujung matanya dan mengaliri pipinya justru memberikan rona disana. Wajahnya yang sebelumnya sangat kering dan pucat justru kini mulai segar dan merona.
Setelah cukup lama terdiam, ia pun bersuara, “Tapi mereka tega udah manfaatin gue.” “Lo ngerasa begitu?” Tanya Anna. Gadis itu tampak berpikir keras kembali. Ia lalu mengusap air mata di kedua matanya dengan tangan kirinya dan berkata, “No.” Ia terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Gue senang kalau bisa bantu orang lain. Tapi omongan mereka bikin gue…” Ia kembali terdiam, kali ini cukup lama.
Anna mengambil cangkir yang sedari tadi gadis itu genggam, kemudian menaruhnya di atas meja dan berkata, “Kalau begitu, jangan biarin omongan mereka ngubah diri lo jadi orang yang beda. Vanilla yang ada di dalam vanilla latte itu khas, kan? Kita selalu bisa nemuin dia di antara campuran espresso dan krim susu itu. Karena dia selalu bisa jadi dirinya sendiri tanpa ngerusak campuran yang udah ada itu, makanya kita selalu enak aja nikmatinnya. Jadi, jangan biarin mereka ngambil vanilla lo. It does matter.” Anna meraih kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan erat.
Satu detik, dua detik, tiga detik, mereka tersenyum bersamaan lalu mengalihkan pandangannya ke pemandangan jalan raya di luar sana. Jalan raya itu tampak lengang karena padatnya kendaraan sudah terurai. Orang-orang mungkin sudah banyak yang tiba di rumahnya masing-masing untuk beristirahat dan bercengkrama dengan keluarganya. Suara klakson yang sebelumnya bersahutan tanpa henti pun sudah mereda. Kendaraan di sana kini melaju dengan tenang di bawah lampu-lampu jalanan. Dua cangkir vanilla latte yang sudah habis teronggok di atas sebuah meja berwarna hijau toska. Bersamaan dengan habisnya vanilla latte itu, seorang gadis sudah kembali mendapatkan dua hal yang sebelumnya hilang dari dirinya, yaitu ketenangan dan kenyamanan.
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Blog / Facebook: Risya Nurcholis (Facebook) Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.