Aku mengenal Dulkamdi kala sekolah di SMP dan SMA Kendal. Di kedua sekolah itu aku satu kelas dengannya, jadi aku tahu betul bagaimana Dulkamdi menghadapi gadis. Aduh…, minta ampun, betul-betul penakut. Kadang lucu, kadang menjengkelkan, kadang menyedihkan, kadang kasihan. Mungkin ada sejarah kelam di keluarganya.
Dulkamdi, anak tunggal dari orangtua yang cukup berada. Anaknya lumayan gagah, tinggi, hidung agak mancung, rambut agak keriting, wajahnya mirip-mirip orang arab. Cukup ngganteng dibandingkan denganku. Hanya saja, otaknya tidak seencer otakku. Pelajaran yang pakai hitung-hitungan: aljabar, ilmu ukur sudut, dan pelajaran lain selalu minta bantuanku. Jika ada PR, Dulkamdi hanya menyalin dariku. Aku ya… senang-senang saja, wong ilmu yang aku peroleh tidak berkurang, apalagi Dulkamdi sering ngajak aku ke kantin: pisang goreng, ndog geludug dengan minuman es teh dingin secara gratis aku nikmati.
Cerita bermula di kelas tiga SMP N 1 Kendal, aku dengannya duduk satu bangku di barisan kedua dari depan bagian sebelah kiri. Pada baris yang sama di bagian kanan duduk gadis yang bernama Ayuningtyas, panggilannya AYU, gadis tercantik di kelas atau bahkan di SMP. Wajahnya mirip Widyawati kala remaja. Selain cantik juga pandai, bahkan terpandai di kelas. Sayangnya, Ayu itu rada judes.
“Juno, kenapa yaaa…, kalau lihat Ayu, jantungku selalu dheg, dheg, dheg, apalagi kalau dia memandangku, jantungku terasa berhenti, aku tidak berani menatapnya. Kepengin siih ngajak ngobrol, tapi yaaa, kalau sudah dekat, mendadak perutku mules. Apakah itu yang disebut cinta monyet.” “Dul, masa soal cinta saja mesti dikait-kaitkan dengan monyet, kasihan tuuh monyetnya. Dul…, bener kamu naksir Ayu, apakah kamu berani menembaknya?” Dulkamdi mengangguk. Antara percaya dan tidak atas anggukannya. Aku yakin cintanya pasti ditolaknya, bagai pungguk merindukan bulan.
Pada jam istirahat aku datangi Ayu. “Ayu, Dul naksir berat sama kamu, dia ingin nembak kamu.” “Boleh, besok yaaa, tapi di depan kelas, jam istirahat kedua, teman-teman harus menyaksikan.” Jawabannya sungguh tidak terduga, antara percaya dan tidak. Apakah Ayu juga naksir sama Dulkamdi secara diam-diam? Rasanya tidak atau Ayu hanya ingin mempermalukan Dulkamdi?
“Dul, tadi aku sudah ngomong sama Ayu, kalau kamu akan menyampaikan perasaanmu kepadanya.” “Terus apa yang aku lakukan.” Edan tenan, mau menyampaikan perasaan tapi tidak tahu apa yang akan dikatakannya. “Besok, kamu bawa bunga mawar merah yang masih segar yaaa, terus hafalkan kalimat. “Ayu aku cinta kamu, maukah kamu jadi pacarku.” Aku berikan secarik kertas yang hanya bertulisan delapan kata tersebut. Aku yakin Dulkamdi akan menghafalkannya, gampang bagiku tapi tidak pada Dulkamdi.
Esok harinya, ketika berangkat sekolah, aku lihat mulut Dulkamdi komat-kamit sambil melihat secarik kertas yang aku berikan, tangan sebelah kiri membawa mawar merah yang masih segar, entah dimana membelinya. Dengan hati-hati, disimpannya bunga tersebut dalam lacinya.
Jam istirahat kedua masih cukup lama. Selama pelajaran berlangsung, Dulkamdi tidak tenang duduknya. Mendekati jam istirahat pertama, keringat sudah mulai membasahi bajunya. sebentar-sebentar nengok Ayu, lihat jam, buka laci, terlihat ketegangan di wajahnya.
Teng…, teng… teng… tanda istirahat pertama terdengar, Dulkamdi berdiri dan setengah berlari keluar menuju toilet. “Juno, tadi perutku mendadak mules, kepengin kencing”, cepat-cepat aku lari ke toilet. Setelah pipis, kertas cotekannya aku hafalkan lagi, “Ayu aku cinta padamu, maukah kamu jadi pacarku.” Aku merasa kasihan tapi juga jengkel. Masa delapan kata yang demikian mudah tidak hafal-hafal. Masih ada tiga pelajaran lagi sebelum istitahat kedua, bahasa Indonesia, aljabar dan ulangan sejarah. Aku khawatir saat ulangan sejarah, jangan-jangan Dulkamdi menulis “Ayu aku cinta padamu maukah kamu jadi pacarku.”
Teng .., teng.., teng…., terdengar suara lonceng jam istirahat yang kedua. Aku sudah tidak sabar ingin menjadi saksi bagaimana Dulkamdi menyatakan cintanya kepada Ayu. Teman-teman satu kelas berebut maju ke depan. “Ayoo Dul, ayoo Dul, ayoo Dul! Suara riuh teman – teman memberi semangat kepada Dulkamdi. Aku lihat baju Dulkamdi semakin basah. Ayu dengan tenangnya maju ke depan, berdiri di depan papan tulis.
Aku bisikkan di telinganya “Dul, ayo maju, berikan mawar merahnya dan katakan kepadanya, Ayu aku cinta kamu maukah kamu jadi pacarku.” Dulkamdi mengambil bunga mawarnya yang sebagian bunganya mulai rontok, maju dengan keraguan, berhadapan dengan Ayu. “Dul, kamu mau apa?” Suara berat ditekankan Ayu sambil menatap wajah Dulkamdi dengan sorotan mata rajawali. Dulkamdi menunduk, tangannya gemetar memegang bunga mawar merah, terlihat celananya basah, Dulkamdi kencing di celana. “Aaa…ku…., aaa….ku.” Ayu balik badan langsung keluar. Suasana kelas kembali riuh. Cinta Dulkamdi ditolak sama Ayu.
Satu minggu Dulkamdi tidak masuk sekolah gara-gara cintanya ditolak. Sejak itu, Dulkamdi tambah grogi kala mengadapi gadis cantik. Aku sungguh kasihan kepadanya.
Lulus dari SMP, aku, Dulkamdi dan Ayu masuk pada SMA yang sama. Pikirku, Dulkamdi sudah mulai ada keberanian untuk mendekati Ayu. Ternyata tidak. Dulkamdi masih seperti dulu, Ayu hanya cinta khayalannya.
“Juno, masa Ayu berjalan bergandengan dengan Edy, dia kan tahu kalau aku naksir berat.“ “Dul, lupakan Ayu, coba kamu dekati Mawar, dia itu naksir sama kamu. Berani nggak?” Mawar memang tidak secantik Ayu. Ternyata, Dulkamdi juga tidak mempunyai keberanian mendekatinya. “Dul kenapa dengan Mawar?” “Aku nggak tahu, setiap mendekati Mawar, perutku mendadak mules, kepengin kencing, keringat dingin keluar, aku tidak berani ngomong.”
Setelah pengumuman kelulusan SMA, para siswa ambyar, masing-masing mencari jalan kehidupan sendiri-sendiri, ada yang melanjutkan kuliah, ada yang bekerja, ada yang nikah. Aku sendiri melanjutkan kuliah di Bogor, kota yang cukup jauh dari Kendal. Keberadaan teman-teman hanya aku ketahui dari Ninuk. Kasihan Dulkamdi, tidak ikut menikmati cinta monyet, kisah kasih di sekolah, masa indah yang tiada duanya.
—
Malam Minggu yang cerah, awan mendung yang biasanya menggantung di angkasa tidak terlihat. Bulan tersenyum, menyembul diantara awan tipis ditemani bintang-bintang yang mengelilinginya. Cuaca nampaknya berbelas kasih kepada mereka yang ingin menikmati suana keramaian simpang lima. Satu minggu lebih Semarang diguyur hujan yang lumayan deras.
Aku jalan sendirian di sekitar simpang lima untuk membeli beberapa obat pesanan istriku. Ketika terlihat kafe kopi dengan tulisan “Kafe Kopi Dulkamdi Simpang Lima”, aku berhenti. Nama Dulkamdi sangat familiar bagiku dan kebetulan aku memang mau ngopi sambil makan gorengan. Kafenya lumayan luas, cukup bersih, dengan dekorasi anak muda. Iringan musik ndang dut “Mandi Madu” yang dinyanyikan Elvy Sukaesih terdengar cukup enak di telinga.
Benar dugaanku. Dulkamdi setengah berlari, menghampiriku. “Hai, Juno!” “Hai Dul!” Kami berpelukan. Sejak lulus SMA, kira kira sepuluh tahun yang lalu, baru kali ini ketemu. Dulkamdi membawaku ke belakang, ngobrol panjang lebar, tentang masa lalu, kenangan di sekolahan.
Cerpen Karangan: Bambang Winarto Blog / Facebook: Bambang Winarto BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fahutan- IPB (1974-1978). Bekerja sebagai ASN di Kementerian Kehutanan sampai purna tugas (1979-2010). Memperoleh gelar Magister MM di UGM tahun 1993, dengan predikat lulusan terbaik. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Cerpen-cerpen yang dikirim di CERPENMU masuk nominasi terbaik : (Sniper), Sepasang Album Kembar (Part 1, 2), Malam Yang Tidak Diharapkan (Part 1,2) (Bulan Juni, 2022) Malaikat Keempat, Sepenggal Catatan (Part 1,2), Konspirasi, Menjemput Rindu. (Bulan Mei 2022). Pencuri Raga Perawan, Pita Putih Di Pohon Pinus.(Bulan April 2022). Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, HP : 081316747515 Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com ;
Kebun Raya Residence BOGOR 15 Juni 2021