Dimalam yang dingin penuh rintik hujan, tiba-tiba dering telfon memecah keheningan malam itu. Kringgg… kring… Sial ternyata itu telfon dari si Alena “Ri keluar yuk ke kafe baru dekat jalan Jeruk purut, katanya tempatnya asik”. Seperti kebiasaan sahabat pada umumnya, ketika dirinya merasa kesepian pasti pelampiasan pengusir sepinya adalah aku sahabatnya. Terkadang memang rasa jomblo yang mendera membuat persahabatan itu semakin erat. Tanpa takut ada rasa cemburu dan posesif yang berlebihan, persahabatan akan jauh lebih menarik dibandingkan hubungan kisah kasih yang tidak jelas rimbanya. “Sikat Len, tapi kamu bayarin aku yah. Jangan lupa ajak si Mada”. Aku sengaja langsung menutup telfon, agar Alen tak mengelak untuk membayar secangkir kopi susu yang akan aku pesan.
Tanpa pikir panjang kamipun berangkat menggunakan mobil kijang si Mada. “Len, Mad. Ini kan kafe yang katanya horor dan pakai penglaris itu, jangan-jangan nanti kopi susunya hasil dari perahan susu wewe gombel hihhh serem”. “Astagfirullah, istigfar Ri. Sembarangan aja kalo ngomong. Mulut itu dijaga bukan untuk memfitnah. Ayok turun sudah sampai”. Mada memang orang yang paling lurus diantara aku dan Alena. Bapaknya adalah Kyai kampung yang jamaahnya sudah ada di seantero kecamatan.
“Dengerin tuh pakai kuping. Mana ada kafe dengan desain yang instagramable ada hantunya atau pakai penglaris”. “Oke lihat aja kalian. Pokoknya kalo tiba-tiba ada yang nangis dan teriak aing macan, aku gak mau tanggung jawab yah”. Kami bertiga pun sengaja memilih tempat duduk yang paling ujung, sehingga semua sudut ruangan terpantau jelas oleh pandangan kami.
Tiba-tiba, “Kak, mau pesan apa?”. “Eh mas, ngagetin aja. Aku pesan kopi susu dan gak pakai gula yah. Kalian mau pesan apa Len, Mad?”. “Teh susu!” dengan jawaban yang senada mereka berdua memesan pesanan yang sama.
Untuk ukuran kafe baru yang ada di kota kecil, ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Pelangganya begitu banyak, bahkan ada yang rela duduk diluar kafe hanya untuk menikmati segelas es teh manis. Dari desainnya sih sebenarnya biasa saja, hanya ada mural di dinding tembok dan kepala kerbau diatas kusen pintu. Atau mungkin ini kebetulan saja, maklum malam ini adalah malam minggu.
Pesanan kami pun datang begitu lama, mungkin karena kafenya yang sesak dipenuhi oleh para pengunjung. “Ri, Mad. Aku lagi galau nih. Masa iyah aku ditinggalin begitu aja sama gebetanku. Padahal dulu katanya aku itu bunga dan dia kumbangnya”. “Yaelah barang gitu aja. Cari lagi napa Len, namanya aja kumbang, bisa menclok kesana kemari”.
Sejujurnya aku sudah bosan dengan celotehan Alena yang setiap kita nongkrong bahasanya hanya seputar kisah cintanya. Memang benar kata jenderal Tian Feng alias Cut pat kai, cinta itu penderitaanya tiada akhir.
Sebagai orang yang paling kalem diantara kita, Mada pun hanya tersenyum sembari menyeruput teh susunya yang baru hadir didepan mejanya. “Len, Tuhan itu sudah menakdirkan manusia berpasang-pasangan. Jika dia pergi maka memang dia bukan jodohmu. Seperti Nabi Yusuf dan Zulaikha, ketika Zulaikha mengejar cintanya Yusuf maka Tuhan jauhkan. Tapi ketika Zulaikha mengejar cinta Tuhanya maka ia justru didekatkan dengan Yusuf”. “Masyaallah, akhi Mada memang luar biasa. Cocok jadi papah dedeh haha” timpalku. Alena sangkin terpananya dengan ucapan si Mada, dia tidak mampu bergeming dan hanya bisa mengangguk.
Penasaranku masih sama, kafe ini pasti pakai penglaris. Saking penasarannya akupun memberanikan diri untuk melihat dapurnya dengan pura-pura ke toilet. Kata orang ciri-ciri kafe yang ada penglaris, biasanya di dapur ada celana dalam yang digantung dekat kompor atau tempat masaknya. “Eh aku ke belakang dulu yah. Kebelet nih gara-gara minum susu wewe gombel hehe”.
Mulailah aku telisik dan mengintip dapur kafe tersebut. Kecurigaanku semakin besar, aroma melati begitu menyengat ketika aku mulai mendekati dapur tempat barista membuat minuman. Aku melihat secarik kain warna merah jambu bermotif kembang-kembang terpampang diatas perapian. Segera aku kembali ke meja semula dan mengurungkan niatku untuk memasuki pintu toilet.
“Loh kok cepet banget Ri. Kalo pipis itu disiram, jangan ditinggal begitu aja. Nantinya jadi kaya aku Ri, ditinggal tanpa penjelasan”. “Dasar Len, kalo bucin itu jangan keterlaluan”. Sejujurnya aku ingin mengungkapkan apa yang aku lihat di dapur kafe, tapi berhubung kondisi kafe yang terlampau rame akhirnya aku urungkan niat tersebut.
Tanpa angin dan panas tiba-tiba keringat dingin mengucur deras di dahi Alena. Matanya pun terlihat sayu dan beraca-kaca. “Len, loe gak papa? loe sakit?” ucap Mada dengan wajah khawatirnya. Firasatku semakin tidak enak. Jangan-jangan si Alena kerasukan. “Tuh kan Mad, apa aku bilang. Tempat ini gak aman”. Gak terbayang sih jika tiba-tiba Alena teriak aing macan dan membuat gaduh para pengunjung kafe.
Aku melihat nafas Alena yang kian memburu. Alena masih terdiam seribu bahasa. Seketika bulu romanku berdiri. “Len, kenapa? istigfar. Mad coba ente baca ayat kursi”. “Diem loe Ri. Len kenapa?”. Entah apa yang merasuki tubuh Alena, pandanganya tertuju hanya pada satu titik. Aku lihat sorotan matanya mengarah pada kursi tua di pojok kafe yang saat itu diduduki oleh seorang pria berambut pirang dengan wajah pucatnya. Rasanya tidak ada yang aneh dari sosok pria tersebut. Hanya saja pria itu duduk dengan seorang wanita berbaju putih dengan rambut tergerai panjang. Melihat situsasi yang semakin kurang kondusif kamipun memutuskan untuk pulang.
Di perjalanan Alena terus menangis. Aku dan Mada pun hanya bisa terdiam didalam mobil. Akhirnya dengan sedikit keberanian yang tersisa akupun mencoba berbicara kepada Alena, “Minum dulu Len, istigfar. Aku kan udah bilang, ada yang gak beres dari kafe itu. Aku lihat sendiri tadi di dapur mereka. Ngapain coba diatas pintunya aja ada kepala kerbau, pasti itu penglarisnya”. “Ri udah ah, gak boleh gitu. Kasihan Alena”. Disini aku mulai kesal dengan Mada yang tidak percaya dengan kata-kataku.
Ketika suasana mulai kondusif akhirnya Alena pun mulai membuka mulutnya. “Mad ternyata benar apa yang dikatakan si Jupri”. “Tuh kan, apa aku bilang”. “Diem dulu Ri, Alena kan belum selesai ngomong”. Kemudian Alena melanjutkan penjelasanya. “Kalian tadi lihat cowok berambut pirang dan cewek berbaju putih kan. Kalian ingat kumbang yang aku ceritain tadi gak?”. “Kumbang yang mana Len? kamu lihat siluman kumbang di kafe itu yah?”. Aku semakin penasaran dengan penjelasanya. Masa iyah si cowok rambut pirang dan cewek berbaju putih itu jelmaan siluman kumbang, gumamku. “Bukan itu Ri! cowok rambut pirang tadi adalah mantanku dan si cewek tadi adalah pacar barunya. Dulu dia pernah bilang kalau dia tidak bisa hidup tanpaku. Tapi tadi kok dia ada di kafe itu, berarti dia mayat hidup kan? horor memang kafe itu yah Ri, Mad”. Akhirnya aku dan Mada pun menangis bersamaan
Cerpen Karangan: Ganang Prakoso Blog: ganangprakosoggp.wordpress.com