Dua tahun di kota ini, lingkungan yang berbeda serta mulai membiasakan diri dengan mulai belajar bahasa daerahnya. Di mana aku harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan serta masyarakatnya yang berasal dari berbagai daerah bahkan pulau. Banyak suku budaya dapat ditemui di kota Jogja. Penduduk yang ramah serta kedamaian kota ini membuat saya nyaman dan betah berkuliah di kampus Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto, Yogyakarta. Disanalah cerita cintaku mulai bertumbuh hingga berakhir tanpa sempat memiliki karena adanya belenggu antara dua insan yang berbeda.
Aku hanya seorang gadis pendiam, yang kegiatannya bagai KUPU-KUPU selama satu semester. Dia terlihat pendiam, namun ketika ia telah mengenal dan mulai percaya kepada orang lain. Ia takkan segan-segan bertingkah konyol bahkan bertingkah bodoh di depan mereka. Gadis itu tinggal di pondok putri disea, Wonocatur. Di pondok tersebut dia sering menjadi bullyan dari teman-temannya, karena dia yang berstatus single. Walaupun aku sering dibully, aku tidak merasa terasingkan oleh mereka, justru aku bahagia dengan tingkah laku mereka yang begitu rupa. Mungkin, di balik pendiamnya, dia adalah anak yang senang berbagi cerita pada teman satu kostnya. Dia berteman baik di kostnya dan sangat dekat pada Siti, Susi, Venny, Pinto, Nettha, Beba, Lely, Heldy, Nohva serta anak yang lain.
Setelah sebulan aku tinggal di Jogja, keluar sudah kepribadian yang ada pada diriku. Awalnya mereka tidak percaya bahwa saya orangnya senang bercerita, makanya setelah mereka tahu siapa aku sebenarnya, mereka hanya bisa terdiam dan kaget. Tapi, entah apa yang telah kulakukan pada saat itu. Aku berteman baik dengan Kak Epy yang ternyata kakak itu memiliki musuh bebuyutan di kost ini. Pertengkaran dan salah paham pun terjadi antara aku dan Rani sepupuku karena omongan kak Epy, masalah itu membuat aku dan Rani saling diam seperti orang yang musuhan.
Beberapa hari kami tetap diam-diaman hingga kak Nettha yang tahu permasalahan itu, Dia datang menemui kami di kamar dan bertanya “Kenapa kalian berdua diam-diaman Dek?” Rani menjawab “Nggak kenapa-kenapa kok Kak Net.”
Tiba-tiba saat aku dan Rani diam ketika kak Nettha menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana watak dari kak Epy. Terdengar suara tangisan dari arah selatan kak Nettha, tangisan Rani membuat aku meneteskan air mata. Aku merasa bersalah ketika dari mulut Rani keluar kata-kata “Kenapa kayak gitu kau sama ku Era? Lebih percaya kau sama orang yang baru kau kenal daripada aku yang udah bertahun-tahun bareng Ra?”.
Hatiku hancur dan tetesan air mata semakin membasahi pipiku, begitu juga dengan Rani. Di balik tangisan itu ada kehangatan dan ketulusan yang kami dekap ketika aku dan Rani berpelukan. Pelukan tanda bahwa kami telah berdamai dan tidak mempermasalahkan yang siapa yang membuat kami menjadi salah paham. Usai itu, kami melihat ke arah kak Nettha dan mengucapkan “Terima Kasih kak Nettha, udah buat kami baikan dan memberitahukan kami. kalau kak Epy sering membuat hubungan pertemanan orang lain sirna.”
Canda tawa itu kembali menemani hari-hari Era dan sepupunya, hubungan mereka kian membaik tanpa ada kesedihan dan kemurungan dalam wajah mereka. Rani, selalu menjadi kakak buat Era, dia tak pernah lupa untuk mengingatkan Era agar tidak lupa untuk istirahat dan makan setiap harinya. Mereka bagaikan sepatu yang saling melengkapi dan saling mengiringi satu sama lain di setiap langkah. Walaupun mereka berbeda prodi, prodi tidak menjadi batas untuk membuat keduanya berpisah bahkan berhenti komunikasi di kampus. Bila Era berada di gedung seberang, Rani tak segan untuk berteriak “Eraaaaa…” Begitu juga dengan Era yang selalu bersikap manja pada Rani dimana pun Era bertemu dengannya.
Pola pikir mereka yang dewasa tidak menutupi sikap kekanak-kanakan yang mereka miliki. Sikap kekanak-kanakan tersebut yang selalu mengajarkan bahwa mereka harus dapat bersikap baik dimana pun dan kapan pun. Kedekatan mereka membuat orang di sekelilingnya berpikir kalau mereka kembar. Ternyata, saya dan Rani tidak kembar, tapi kami adalah sepupu kece. ”Hahahhaha…” Sepupu kece yang memiliki kepribadian berbeda, yang satu lugu dan polos serta mudah nangis, yang satu lagi selalu ingin dimengerti dan apa yang diinginkan harus dipenuhi. Pribadi yang melekat pada diri mereka, terlihat unik. Keunikan dan kepribadian itu terkadang merugikan diri mereka sendiri. Sikap egois yang tak dapat dihilangkan dari perorangan, sehingga sering terjadi kesalahpahaman antara mereka. Sedekat apapun, seakrab apapun, dan sesayang apapun keduanya tidak pernah lepas dari percecokan, perbedaan pendapat bahkan permusuhan pun menghadang kedekatan itu.
“Kring… kring… kring…” suara dari hanphoneku. Saya kira Mama, “Eh… ternyata Yohannes”. Aku matiin telpon dari dia. Setelah telponnya kumatikan, Yohannes kembali mengirim pesan singkat berbunyi “Hai Era, lagi ngapaen?” Dia Lelaki baik, pendiam dan berasal dari Solo. Aku kenal dia karena kami sekelas di mata kuliah Agama. Dia anak jurusan teknik mesin dan kami memiliki tanggung jawab di kelas sebagai Bendahara. Aku senang berteman dengannya, sehingga setiap kali ia butuh bantuan, sebisa mungkin aku membantunya. Awalnya pertemanan kami baik-baik saja, ketika aku belum mengetahui kalau dia menyukai aku. Aku benci, kecewa, marah saat dia menyatakan perasaan suka dan sayangnya padaku. Hatiku berkata “Tuhan, Mengapa ini terjadi? Aku hanya ingin menjadi teman baiknya dan tidak lebih dari hubungan teman”.
Sejak ia menyatakan rasa sayangnya padaku, aku mulai menjaga jarak dari dirinya, pesan-pesan yang ia kirim tak pernah terbalas olehku. Telponnya yang selalu kureject. Sampai saat aku tertidur, handphone yang terletak begitu saja di atas tempat tidur, dilihat dan dipakai oleh sepupuku Rani. Tanpa sepengetahuanku ternyata Rani membalas pesan dari Yohannes yang bunyinya mengajak aku jalan.
Setelah terbangun dari tidur, aku mulai membuka handphone dan melihat kotak masuk pesan, ternyata perbincangan yang mereka bahas sudah banyak. Tanpa pikir panjang aku mengirim pesan kepada Yohannes kalau pesan-pesan yang dikirimnya bukan aku yang balas. Dia terkejut saat mengetahui itu, tidak hanya dia yang terkejut. Tapi aku ikut terkejut akan pembahasannya terhadap respon sepupuku. Saat itu, aku merasa harga diriku sebagai wanita telah jatuh, yang selama ini aku jaga dan aku pertahankan. Sebab, Rani seakan-akan menolak ajakan jalannya karena Yohannes hendak pergi menggunakan Trans Jogja. Ya Tuhan, kagetnya diriku akan hal itu, hingga aku tak tahu hendak membalas apa kepada Yohannes. Sampai akhirnya kuhentikan mengirim pesan dan pesan yang darinya kuhapus dari ponselku.
Berakhir sudah pertemanan yang kami jalin selama ini, ia tak pernah membantuku lagi menjalankan tanggung jawab sebagai bendahara, ia mulai jarang masuk jam kuliah agama, ia mulai tak pernah bergabung dalam komunitas mahasiswa katolik. Rindu terhadap masa berteman dengannya, namun rasa kecewa yang kumiliki lebih besar dari rinduku. Yang awalnya ku tahu dia tak meroko*k, sekarang aku melihatnya menghisap rok*k di depanku saat berpapasan dengannya di gerbang kampus. Dia semakin membuat aku benci atas sikapnya padaku, yang menganggap aku seakan wanita matre yang melihat segi material seorang pria.
Cerpen Karangan: Era Elfriana Sitanggang Blog / Facebook: Eraelfriana Sitanggang