Seorang gadis cantik berambut burgundy yang dikuncir dua melompat riang ditengah siang hari, berkeliling di area pertokoan, perjalanan pulang dari Sekolah Dasar menuju target makan makalamnya.
Saat melewati toko kelontong yang dengan papan bertuliskan 'Hasil Tangkapan Laut Segar' ia melihat seorang gadis lain yang sepertinya seumuran, berjongkok tepat di gang samping toko. Gadis itu mengenakan kaos kebesaran berwarna kuning pudar dipadukan celana pendek yang terlihat menggembung, berwarna merah muda. Kalau tidak salah orang-orang menyebutnya celana balon.
Si anak berambut merah gelap menghampiri, ia berjongkok di samping gadis itu dan tersenyum lebar.
"Hai, aku Rania. Apa makan malam terkhirmu?" tanya Raina dengan ramah. Senyum indah yang terpahat dimuka mugilnya itu, tidak jauh dari tokoh kartun yang belakangan ini sangat ramai.
"Tidak ada," jawab si gadis berbaju kuning datar.
"Bohong."
Gadis itu menunduk, meremat ujung bajunya yang terkulai merebah di atas tanah, "Bukan makan malam," gumam lesu anak itu.
"Kapan?" tanya Rania masih dengan nada ceria.
"Kemarin siang," cicit si baju kuning.
"Apa itu?" tanya Rania yang mulai tampak antusias.
"Hmm..." si anak berbaju kuning mengetuk-ketuk jari telunjuknya ke trotoar di hadapan mereka. "Biar aku ingat..., Kerupuk?"
Anak itu kini menatap Rania, "Makan malammu?" tanya nya kini.
Senyum Rania semakin lebar, "Aku tidak pulang." jawabnya riang.
----
Pagi itu sebuah mobil sedan merah memasuki Desa Beringin, terparkir di halaman rumah sederhana tipe 21 yang terlihat cukup rapih.
Seorang wanita berumur sekitar pertengahan 30 turun dari tempat kemudi, disusul oleh gadis mungil berambut burgundy dengan tas ransel merah muda memeluknya dari belakang.
"Wahhh, seperti ghibli!" teriak anak itu riang.
Rania, anak usia 9 tahun yang baru saja diajak pindah ke pedesaan itu terkesima dengan pemandangan sekitar yang cukup mempesona dalam pandangannya. Seperti kartun yang dulu ayahnya sering putarkan.
"Rania," wanita pengemudi mobil berjalan ke sisi Rania, mengelus pucuk kepala gadis itu dengan lembut.
"Ini tempat barumu." Ibu Rania berjongkok, mensejajarkan tinggi dengan sang putri semata wayang. Direngkuhnya bahu Rania dengan lembut.
"Ingat ya, Nak. Di tempat ini, apapun usaha yang kita lakukan, akan sulit untuk menutup telinga orang-orang yang tinggal di desa ini."
Entah mantra kutukan atau ramalan masa depan, peringatan yang diberi oleh Ibu Rania terlaksana dengan baik. Sangat baik.
Dua hari setelah kepindahan Rania, Ibu memasukannya ke sekolah baru. Sekolah di desa yang bagi Rania tidak ada bedanya dengan sekolahnya dulu. Tapi, ia sempat melupakan terawangan masa depan Ibu.
Hari pertama saat Rania sekolah. Ketika guru memintanya untuk masuk ke dalam kelas dan memperkenalkan diri. Seorang gadis berambut pendek sebahu dengan poni pendek menyelak perkenalaan diri Rania.
"Kamu anak yang bapaknya pergi sama tante kamu itu yaaa?" tanya anak itu. Seolah polos namun lebih seperti ingin menjatuhkan Rania.
Membuat seisi kelas heboh. Ibu guru wali kelas menghela napas, menghadapi hari dengan kebisingan canda gurau bocah membuat mood paginya menghilang. Segmen perkenalan Rania gatot alias gagal total. Tanpa memperkenalkan diri, guru langsung menyuruhnya duduk di bangku pojok belakang.
4 jam pelajaran awal berlangsung akhirnya jam istirahat tiba. Bagai isyarat 'siap, sedia, mulai' dalam lomba lari, ketika bel berbunyi beberapa siswa-siswi berkumpul mengelilingi Rania. Bertanya tanya tentang paras Rania.
Rania menyadari, rambut merah dan mata abu-abunya yang cukup mencolok pasti penyebab semua ini. Terkadang Ibu menawarkan pada Rania, apakah ia ingin mengubah warna rambut atau pertanyaan serupa lainnya. Tapi Rania selalu menolak. Warna rambut dan warna matanya yang tampak berbeda, visualnya yang paling cantik. Itu yang dirinya yakini. Rania yakin, teman-teman barunya juga pasti terkesima dengan perbedaannya.
"Rambut kamu merah, abis ketumpahan sambel bakso?"
"Warna mata kamu kok gitu, kamu buta ya?"
"Wah, wah," Anak yang diawal mengagalkan segmen perkenalan Rania membelah kerumunan.
"Warna mata kamu kayak gitu tapi masih bisa liat? Jangan-jangan kamu alien??" gadis itu menggebrak meja Rania dan tertawa kencang. Mengundang tawa dari pada murid lain juga.
"Apa Lila, Alien kepala merah? Apa dia bisa mengeluarkan api dari kapalanya?"
Para murid yang mengerumuni Rania tertawa dengan kencang, membuat Rania yang tadinya ingin memakan bekal makan siang merasa tidak kembali lapar. Ia duduk dengan tegak, menyandarkan punggung pada kursi barunya. Ia memandang dengan datar wajah para murid yang menertawai dirinya.
Hari pertama sekolah, gagal. Gagal total dari apa yang Rania bayangkan. Ia pikir semua sekolah sama saja. Tapi apa ini? Anak-anak pengecut ini terlalu memujinya sampai menjadikan Rania sebagai topik Stand Up Comedy. Tidak hanya kelas, satu sekolah kini memanggilnya 'Alien kepala merah'.
Bahkan, saat pulang sekolah tadi Rania membantu ibu guru membawakan beberapa tumpuk kertas ke motor matic yang terpakir di halaman sekolah, guru itu memberinya pujian.
"Kamu alien kepala merah itu, kan? Alien baik ya kamu."
Puji sang guru. Rania tersenyum, ia mengangguk dengan semangat. Lalu pamit dan pergi meninggalkan guru dengan raut wajah kebingungan.
Hari menjelang pukul 8 malam, Rania yang sudah kelaparan hanya dapat meringkuk di sofa ruang depan menunggu Ibu yang tak kunjung kembali.
Setengah jam menunggu, akhirnya tepat di setengah jam berikutnya terdengar geraman dari mobil sedan milik ibu diakhiri suara bantingan pelan pintu mobil.
"Loh, kamu belum tidur?" tanya Ibu melihat Rania yang masih membuka mata meringkuk di atas sofa.
"Lapar."
Ibu berdecak, "Perempuan itu tidak baik makan malam, nanti jadi gendut. Kau harus terbiasa agar tidak perlu menyesuaikan diri lagi ketika dewasa."
Ibu berjalan ke arah dapur dibuntuti oleh Rania. Rania menarik kursi meja makan duduk dengan manis. Beberapa menit terdengar suara berisik dari beberapa benda berbenturan, Ibu mengambil box putih dan menaruhnya di hadapan Rania.
"Ini, Ibu lupa kalau punya ini." sebuah teko eleltrik dikeluarkan dari dus putih itu.
"Ibu sudah memberi tau mu cara memasak mie instan, kan. Ya, tapi ibu juga yang melarangmu untuk menyalahkan kompor, sih. Jadi ini solusinya," Ibu menepuk-nepuk bagian samping teko elektrik beberapa kali. Seolah membanggakan investasi bergunanya.
Ibu mengajarkan kembali kepada Rania bagaimana cara memasak Mie instan, kali ini dengan teko listrik. Rania beberapa kali mengangguk, fokusnya terbagi dua, antara penjalasan dari sang ibu dan matanya yang memaksa untuk tertutup.
"Bagaimana sekolah baru mu?"
Ibu duduk di seberang Rania yang kini sedang menyantap Mie nya. Kotak mungil berwarna ungu ibu taruh di atas meja, diambilnya batangan yang melinting nikotin, membakar bagian ujung lalu menyesapnya.
"Aku punya jukukan baru, Alien kepala merah." jawab Rania datar. Matanya sudah semakin memberat sedangkan kuah mie yang hangat perlahan melawan rasa kantuk yang ada.
"Alien kepala merah??" Ibu terdiam sejenak, matanya berkedip beberapa kali baru kemudian disusul dengan tawa kencang. Tangan yang mengapit benda putih panjang itu memukul-mukul bagian sisi meja.
"Anak hebat," pujinya. Membuat Rania dengan cepat menaruh seluruh atensinya kepada sang ibu.
"Kau tau, manusia itu takut alien. Berarti mereka semua takut padamu." jelas sang Ibu diakhiri dengan tawa ringan yang tersisa.
Rania tersenyun lebar dan mengangguk dengan gembira. Ia sempat bingung, perasaan aneh apa yang mulai timbul ketika teman-temannya mulai menertawai dan memberikan panggilan unik. Ternyata dirinya hanya terlalu bahagia karena banyak yang takut padanya.
Rania selalu berangkat sekolah dengan senyum lebar dan menyapa semua guru dan juga temannya. Selalu seperti itu. Dan juga selalu, ketika sampai kelas Rania disapa dengan penampilan meja yang penuh dengan coretan dan laci meja yang dipenuhi oleh banyak rematan kertas usang dalam laci.
Malam hari saat sang Ibu sudah pulang. Dengan ceria Rania kembali menceritakan pengalamannya di sekolah.
"Mereka suka menggambar di mejaku dan malu-malu memasukan surat ke dalam laci. Mereka semua terlihat manis!" gemas Rania dengan antusia.
Lagi-lagi Ibu tertawa dengan kencang, ia menepuk tangan beberapa kali.
"Anakku memang hebat," Ibu merentangkan tangan membuat Rania segera berhampur kepelukannya.
Dielusnya rambut burgundy si gadis mungil. "Mereka melakukan itu untuk menyambutmu, pasti karena malu untuk berbicara langsung. Dengar ya, sayang. Mereka semua tidak jauh lebih buruk dari keluarga kita. Makanya, kalian harus saling mengenal."
Nasihat Ibu yang segera dijawab dengan anggukan semangat dari Rania.
Sudah 2 minggu Rania bersekolah di tempat baru. Sudah 2 minggu juga setiap malam Rania harus memakan mie instan, karena semakin berjalannya hari, Ibu semakin sering pulang larut malam.
Dan, titik kemuakan Rania dengan mie instan berakhir membuat dirinya memilih jalan-jalan malam hari dari pada harus merasakan lapar. Awalnya ia hanya bermain di halaman rumah, tapi fakta bahwa Ibu belum juga pulang membuat Rania semakin bosan. Ia memutuskan unutuk berkeliling desa. Melewati jalan yang sudah ia hapal. Jalan menuju sekolah.
Di tengah jalan, rasa laparnya semakin meraja lela. Rania berjongkok di pinggir jalan memeluk perutnya erat-erat.
"Harusnya aku makan," lirih Rania.
"Loh, anaknya ibu Rina?" suara seorang wanita mengambil alih atensi Rania.
Rania mengangkat kepala, dilihatnya seorang wanita asing sepertinya lebih tua dari sang ibu.
"Kamu ngapain disini? Udah malem, nanti dicari ibu loh."
Rania kembali tertunduk, "Ibu belum pulang," lirihnya.
Wanita itu tersenyum canggung, "mau... Ketempat bibi dulu?" tawarnya.
Kepala Rania terangkat, tatapan antusias berkobar di mata Rania dan mengangguk dengan semangat.
Di sini lah Rania, berada di ruang makan asing bersama bibi tadi dan suaminya.
"Mah, makan sekarang?" tanya anak si bibi yang baru saja sampai ke ruang makan.
"Loh??" kaget anak itu -Lila- yang melihat Rania ada di meja makan bersama keluarga nya.
"Oh, hai Lila. Kamu anaknya bibi baik, ya?" Rania melambaikan tangan menyapa Lila dengan gembira.
Lila berdecak, baru akan melayangkan protes tapi sang ayah yang sedari tadi hanya diam melirik tajam kearahnya. Membuat Lila terdiam, dengan kepala yang terkulai Lila masih dapat membawa dirinya duduk di seberang Rania yang masih saja tersenyum ceria ke arahnya.
Setelah menyiapkan semua makan malam, ibu Lila ikut duduk, berseberangan dengan ayah. Ibarat sumbu, kalau Rania dan Lila berada di sumbu X, Ibu dan Ayah Lila berada di sumbu Y.
Makan malam berkelas dengan ikan bakar, satu piring dapat satu potong ikan utuh. Pengalaman makan malam pertama Rania yang sangat seru. Semakin berjalannya waktu menjadi pertunjukan perkusi. Tabuhan meja dan dentingan piring sebagai musik pengiring, sedangkan kedua orang tua Lila melakukan duet. Sang ibu dengan falset melengking dan ayahnya dengan nada bariton yang tegas.
Rania tersenyum lebar, cukup terhibur dengan pertunjukan dari kedua orang tua Lila. Tapi, Rana bingung. Kenapa... Kenapa Lila hanya menundukan kepala, kedua tangannya meremat erat baju yang ia pakai.
---
Semalam merupakan pengalaman baru yang menyenangkan untuk Rania. Makan malam berasama keluarga teman. Bahkan saat di kota dulu ia tidak pernah merasakannya, dengan teman dekat sekalipun.
Seperti biasa, Rania berangkat sekolah dengan senyum lebar yang ceria, menyapa semua orang yang ia temui. Saat masuk kelas, pandangannya bertatapan dengan Lila yang sedang berbincang dengan anak kelas.
Rania sedikit berjingkrak menghampiri Lila lalu merangkul anak perempuan itu. "Hai, Lila!"
Dengan kaku Lila mengangguk, "H-hai, Rania. Kau terlihat senang hari ini?" Lila balik menyapa dengan ramah, membuat mata Rania berkilauan penuh bintang.
Berbanding dengan Rania, anak-anak kelas menatap Lila keheranan. Penuh tanda tanya dalam otak mereka. Pencetus pergerakan merundung si Alien merah adalah Lila, tapi sang founder sekarang akrab dengan target.
"Teman-teman," Rania mengembalikan kesadaran mereka kembali ke dunia nyata, "Semalam aku makan di rumah Lila. Ikan bakar ibunya enak, loh. Dan juga mereka ahli melakukan lakon-"
"Rania!" panggil Lila tiba-tiba.
Dengan senyum cerianya, Rania menatap Lila. "Hari ini kita makan siang bersama, ya," tawar Lila yang diakhiri denga senyuman canggung.
Rania? Tentu mengangguk dengan antusias. Ia tidak perlu makan di lapangan lagi karena teman-temannya meminta Rania untuk menjaga jajanan saat yang lain bermain.
"Tentu!"
"Oh, ya. Apa makan malammu Nadia?" tanya Rania kepada Nadia. Masih ingat? Si anak yang bertanya dengan jurus api kepala Rania.
---
"Semenjak itu, aku sering memakan hal-hal baru saat makan malam. Dari makanan lokal sampai yang namanya saja susah aku dengar, apa lagi aku ucapkan kembali."
Anak berbaju kuning mengangguk, "Ehh~ kau beruntung, ya."
Rania menatap anak itu penasaran.
Lagi-lagi, helaan napa terhembus dari sela bilah kering si baju kuning. "Teman-teman, jangankan berbicara denganku. Mendekatiku saja tidak, mungkin karena aku selalu berbau seperti para ikan laut itu."
"Maksudmu amis?" Rania mendekat, ia mengendus pakaian anak perempuan disebelahnya.
"Tidak, ah. Bau mu itu..." Rania kembali mengendus membuat anak itu sedikit memundurkan badan. "Wangi laut!"
Mendengar pendapat Rania yang semangat membuat anak itu seketika melebarkan matanya. Seperti mendapat sebuah harapan baru. Ia tidak mengerti apa yang Rania katakan, laut itu pasti amis. Setiap kedua orang tuanya pulang dari laut, hanya amis yang tercium. Bahkan, rumahnya dari jarak 3 meter saja sudah tercium bau amis.
Tapi yang Rania bilang. Wangi. Ia bilang dirinya wangi. Bukannya wangi itu berarti lebih baik dari bau, berarti dirinya tidak seburuk itu.
"Malam ini, kau tidak makan lagi?" tanya Rania.
Anak itu menatap Rania, untuk pertama kalian sepanjang percakapan. Akhirnya ia tersenyum.
"Malam ini, aku akan makan!" jawabnya dengan lantang.
Rania mengangguk semangat, ia berdiri dan menepuk-bepuk pinggangnya yang terasa agak pegal. Kepalanya menatap lurus toko kelontong yang menjual berbagai alat tulis. Memperhatikan anak-anak seumuran dirinya yang menarik ibu mereka, merengek meminta dibelika alat warna baru. Pasti nanti berita itu akan tersebar, membuat anak tetangga juga minta dibelikan yang baru.
"Rumah di sini terlalu tipis, untuk telinga penduduknya yang sangat tajam."