Di dalam kamar 4×4 ini Mira membuka matanya karena suara alarm yang berasal dari ponsel seseorang di sampingnya sedangkan yang punya ponsel masih berlomba dengan besarnya suara alarm yang ia setting sendiri. Mira mematikan alarm itu dan meletakkannya di dekat telinga Fauzan dan kembali memperbaiki posisinya untuk melanjutkan mimpinya yang tertunda itu.
Beberapa menit kemudian alarm kembali menggema di dalam kamar tersebut, dan kali ini Fauzan sepertinya telah terusik dengan suara alarm yang tepat berada di dekat telinganya. Ia mematikan alarm dan mengecek ponselnya, ternyata sudah setengah tujuh. Ia melihat ke samping dan mendapati teman sekamarnya malah tidur dengan posisi nyamannya, padahal seharusnya sudah bangun sejak tadi.
“Astaga, Mira bangun.” Fauzan berusaha menepuk pipi kiri Mira yang bebas dari mata air, dan Mira tidak terusik sedikit pun.
Fauzan beranjak dari tempat tidurnya dan membuka jendela lebar-lebar agar matahari masuk ke dalam kamar mereka. Mira yang merasa cahaya sangat silau menutup kepalanya dengan selimut yang ia kenakan dan membuar Fauzan semakin gemas dengan tingkahnya.
“hey, bangun. Kita akan terlambat nanti, ini sudah setengah tujuh. Kita harus berangkat lima belas menit lagi.” Ucap Fauzan sambil duduk di pinggir ranjang berusaha mengingatkan temannya yang sangat suka tidur ini. “hmmm, tiga menit lagi.” Mira merespond sambil memunggungu Fauzan.
Cukup sudah Fauzan bersabar dengan orang yang sudah menjadi sekamarnya selama tiga bulan terakhir ini, ia dengan tidak etisnnya menarik selimut yang dipakai Mira hingga ia hampir jatuh ke lantai. Dan perang pun dimulai, dan itulah yang hampir setiap pagi terjadi di kamar ini. Suara Mira yang mengamuk karena ulah Fauzan dan Fauzan yang berlari sambil menghindari kejaran Mira yang sudah seperti Hulk saat tidurnya diganggu dan berujung ke Mira yang kembali ke tempat tidur dan kembali membungkus dirinya dengan selimut Fauzan.
“Mira, bangun, kok bungkus lagi. Bajuku belum distrika lohh.” “Hmm.” “Mira, kita belum mandi.” “Hmm.”
Tiba-tiba ponsel yang ada di nakas berbunyi, Fauzan mengeceknya dan ternyata itu telepon dari Farah, teman mereka. “Mira, Farah sudah di perbatasan, dia sudah dekat kita harus menjemput mereka!” “APA!!??” Mira segera bangun terduduk di tempat tidur dan segera mengecek jam weker yang ada di atas nakas, dan menatap Fauzan sinis. “Kenapa tidak membangunkanku?” Ingin rasanya Fauzan menyerang wanita yang ada di atas kasur itu sekarang juga karena tingkahnya, ia tidak mempedulikan ceramah yang sudah keluar dari mulut Mira dan segera masuk ke kamat mandi. Dan teriakan Mira kembali terdengar menyuruhnya mandi selama tiga menit saja. Hell!
—
Suasana terminal yang cukup ramai membuat Fauzan dan Mira kewalahan mencari Farah dan rombongan, ditambah lagi para penumpang lain yang juga mencari penjemputnya, deringan ponsel di saku Fauzan menghentikan aktifitas mereka, ‘Arham call’.
Fauzan dan Mira mencari tempat Arham dan kawan-kawan menunggu, ternyata mereka sudah tiba sejak 15 menit yang lalu dan menunggu keduanya di warung yang ada di dekat stasiun karena mereka belum melihat tanda-tanda keberadaan Fauzan dan Mira.
“Kalian lama sekali, kami hampir mati kelaparan tadi.” Sembur Farah ketika melihat dua sejoli itu tiba di dekat mejanya. “Sorry, Ra. Ini manusia satu tadi lambat bangunin.” Mira berusaha mengklarifikasi keterlambatannya. “Kalian berdua sama saja, sudahlah ayo pesan karena kami juga masih tunggu pesanan” Arham berusaha merelai perseteruan yang hampir mulai karena Fauzan hampir melayangkan protesnya pada Mira yang setelah itu akan menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. ‘Sepertinya Mira belum sepenuhnya sadar akan statusnya.’ Gumam Farah memperhatikan tingakh dua sejoli ini.
—
Di perjalanan tidak ada suara yang tercipta di dalam mobil, tidak ada yang berani memulai permbicaraan setelah menyadari perang dingin yang terjadi di antara Fauzan dan Mira sejak kejadian di warung tadi. Mereka tahu bahwa kedua sejoli ini tipikal orang keras kepala yang sama kerasnya dan tidak ada yang mau mengalah, terlebih lagi mereka berdua sudah tidak bicara setelah keluar dari warung tadi.
Mira terus diam di jok depan tidak ingin melihat kearah Fauzan yang sejak dari warung tadi sudah jengkel, dia merasa salah tapi memang Fauzan yang salah karena tidak membangukannya. Dan selama mereka sekamar hal ini tidak pernah terjadi, Fauzan tidak pernah mendiaminya selama ini, dan ini yang membuat Mira was-was ia takut memulai pembicaraan dan entah mengapa teman-temannya yang lain tidak ada yang memulai pembicaraan padahal ini pertemuan perdana sejak tiga bulan lalu mereka bertemu di hotel.
Sesampainya di rumah Fauzan tidak berbicara sedikit pun dan hanya membantu Arham dan Sean menurunkan barangnya, setelah itu masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Mira dan lainnya di ruang tamu.
“Duduklah, aku akan membuatkan minum,” Mira berusaha melayani tamunya yang merupakan teman semasa kuliahnnya sendiri padahal mereka barusan bertemu.
“Sepertinya mereka akan bertengkar.” Farah memulai pembicaraan saat Mira sudah meninggalkan ruang tamu. “Astaga, mereka berdua. Masih seperti dulu, selalu tidak begini, padahal sudah serumah.” Sean mulai angkat bicara setelah diam sejak tadi. “Apa mereka sebenarnya masih belum sadar akan status mereka?” “Farah, kuharap kamu jangan berkata begitu di depan Mira.” Arham mengingatkan Farah yang mulai bicara tentang sebuah fakta. “Minumlah, hanya ada kopi. Aku lupa belanja bulanan kemari.” Mira datang membawa nampan sambil tersenyum.
Setelah acara minum kopi dan bertukar kabar selesai, Mira menunjukkan kamar yang mereka tempati karena rumah mereka terdiri dari empat kamar, satu kamar utama dan tiga kamar tamu, jadi mereka bertiga bisa memiliki kamar masing-masing dan dapat beristirahat sampe jadwal mereka padat untuk keesokan harinya.
—
Mira masuk ke dalam kamar yang ternyata tidak di kunci, Fauzan sedang berbaring di atas kasur memunggunginya. Sepertinya dia habis membersihkan kamar, karena keadaa kamar sudah berbeda saat mereka meninggalkan kamar tadi pagi. Mira duduk di atas ranjang sambil melihat lama kearah Fauzan yang tidak merespon keberadaannya.
“Kenapa kau sering meninggalkanku masuk ke kamar duluan? Apa kamu tidur?” Fauzan bergeming dan bangun dari posisinya lalu berjalan kearah meja kerjanya yang berada di sudut ruangan tanpa mengatakan apapun, dan Mira yang masih di posisinya mengawasi setiap pergerakan Fauzan hingga menemukan sesuatu yang membuatnya terbelalak. “Cincin.” Kata Mira sambil mengmati tangan kanan Fauzan dan tangannya dan menemukan kesamaan disana. “Fauzan.” Tidak ada sahutan, ia sibuk dengan tabletnya. “Fauzan.” Mira mulai beranjak mendekati Fauzan yang membelakanginya. “Ini alasannya?” Tanya Mira sambil memegang jari manias Fauzan dimana cincin itu terselip. “Iya.” “Jadi waktu itu kamu serius bilang kita sudah menikah?” “Iya.” “Dan kau tidak menjelaskan semuanya, kupikir kamu hanya bercanda.” Fauzan sudah merasa gemas dengan Mira yang memang belum mengerti dengan status mereka sekarang, bahwa mereka telah menikah. Ia membalikkan tubuhnya menghadap ke Mira yang sejak tadi berdiri di sampingnya. “Aku serius, kita sudah nenikah.”
—
Flashback “Mira, mau kan temani aku berdiri di pelaminan?” Saat itu Mira masih sibuk membuat laporan bulanan untuk perusahaannya. “hmm”
Dan saat itu Fauzan mempersiapkan semuanya tanpa menanyai Mira dan Mira hanya mengikuti permintaannya dan kedua orangtuanya saat mereka ijab Kabul, dan Mira melakukan semua itu atas dasar pertemanan tanpa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi karena ia terlalu sibuk bekerja, menikah pun tidak ada dalam kamusnya, anggaplah dia sudah menghapus tentang pernikahan dari kepalanya.
“Mira sekarang kita sudah menikah.” Fauzan mengatakan itu saat ia mengajak Mira ke rumahnya untuk tinggal bersama, terlalu mudah mengajak Mira untuk tinggal bersama dan dengan ancaman sedikit akhirnya Mira mau sekamar dengan Fauzan. Flashback off
—
Mira menangis mendengar pernyataan Fauzan dan setelah mengingat dari awal alasan mereka berada disini. “Kenapa kau membiarkanku jadi Istri yang jahat?” Mira masih menangis dan kini sudah ada di atas pangkuan Fauzan. “Aku membiarkanmu mengerti dengan sendirinya, karena kamu tidak akan mudah menerima sebuah pernikahan lagi setelah kejadian itu. Aku tidak ingin melihatmu terluka, dan menjadi gila kerja, aku tidak bisa melihatmu berusaha melupakan impianmu sejak kita kuliah dulu. Menjadi istri yang baik, jangan terkejut karena aku mendengar itu saat hendak menghadap di Ibu Miya hari itu, sudahlah berhenti menangis.”
Mira sebenarnya terlalu bingung dengan jalan pikiran Fauzan, ia hanya terus mengeluarkan air matanya saat sambil mendengarkan Fauzan berbicara dengan memegang tangan Fauzan dimana terselip cincin yang sama dengan yang ia kenakan dan merupakan cincin perniakahan mereka tiga bulan yang lalu. Mira merasa bingung dengan yang ia rasakan, yang ia tahu saat ini hatinya belum mengerti kenapa Fauzan menikahinya.
Cerpen Karangan: Areal Blog / Facebook: Hajrah Ridha