Jam sudah menunjukkan 19.45. Jalan di depan gedung sarang burung wallet sangat sepi, tidak ada lalu lalang manusia yang lewat. Apalagi, hujan gerimis masih setia membasahi bumi sejak sore. Dulu, gedung itu merupakan sekolah SMA, satu-satu sekolah menengah atas yang ada di kota ini. Penerangan lampu jalanan yang ada, tidak mampu menampakkan secara jelas lelaki paruh baya yang berdiri bersender di mobil mewahnya. Lelaki dengan pakaian kekinian, tangan kanannya memegang payung sementara tangan kirinya dimasukkan dalam saku celananya. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang.
Sesekali, jam tangan bermerknya dilihatnya. Kini jam tangannya sudah menunjukkan 20.00. Lelaki yang ditunggunya belum datang juga. Memang ada satu lelaki pada jam tersebut, seorang polisi yang sedang berpatroli dengan bersepeda berhenti menawarkan bantuan.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanyanya. “Apakah mobilnya mengalami masalah?” Tanyanya lebih lanjut. “Tidak Pak Polisi. Mobil saya baik-baik saja. Saya sedang menunggu teman saya yang sudah empat puluh tahun tidak bertemu. Saat berpisah, kita berjanji akan bertemu di sini.” “Apakah Bapak ingat wajahnya?” “Tentu sudah lupa, tapi kalau berjumpa tentu saya akan ingat kembali. Apalagi ada tanda khusus yang dimilik kami berdua. Ada tato kecil nama kami berdua di tangannya.” Lelaki itu menunjukkan nama mereka berdua di lengan tangan kanan, tertulis Juno dan Jono. “Saya, Juno dan teman saya Jono.” “Wooow, empat puluh tahun? Lama sekali. Apakah pernah berkomunikasi sebelumnya?” “Saat awal berpisah kami sering berkomunikasi, namun seiring berjalannya waktu, komunikasi semakin jarang. Sejak HP saya yang ada namanya hilang dua puluh lima tahun yang lalu, kami tidak pernah lagi berkomunikasi.” “Apakah mungkin dia lupa akan pertemuan ini?” “Saya yakin tidak, dia pasti datang. Dia selalu menepati janjinya sejak dahulu.” “Baiklah, saya melanjutkan patroli, semoga teman Bapak datang meski agak terlambat.”
Kembali lelaki itu berdiri bersender di mobil mewahnya. Ia masih tetap setia menunggu sahabatnya. Sejenak lelaki itu mengenang pertemanannya dengan lelaki yang ditunggunya. Dahulu, dia sahabatku, kini dia telah menjadi adikku, sejak adik istriku nikah dengannya. Apakah dia masih seperti dahulu? Apakah dia masih mengalami kesulitan finasial? Bagaimana dengan keluarganya, apakah hidupnya berkecukupan? Dan, masih banyak pertanyaan yang ada di benaknya.
Lelaki itu menerawang kala masih bersamanya, sejak kecil sampai remaja, berada dalam kampung yang sama dan juga di sekolah yang sama. Persahabatan mereka tidak terpengaruh kehidupan keluarganya yang bagai langit dan bumi. Ia anak tunggal orang terkaya di kampungnya, rumahnya gedung berlantai dua, sementara dia anaknya orang pada umumnya. Kehidupannya sangat bergantung pada ibunya yang bekerja sebagai asisten rumahtangga keluarganya. Ayahnya sudah meninggal kala dia masih berusia tiga tahun. Dia badannya kekar, lebih besar darinya dengan warna kulit coklat cenderung hitam.
Bayang-bayang empat puluh tahun yang lalu menari-nari di kepalanya. Ia bagai melihat putaran film hitam putih tanpa layar. Mereka bermain bersama, dimana ia berada disitu ada dia. Pernah kala masih SD, ia berkelahi dengan anak dari SD sebelah. Ia dikeroyok dua orang, tentu saja ia kalah. Untung dia datang membantunya. Kedua anak itu pun akhirnya lari.
Dia selalu mengalami kesulitan pelajaran terutama pelajaran yang memerlukan hitungan. Pelajaran yang menurutnya sangat gampang ternyata dia tidak mampu mengerjakannya. Ia pun dengan senang hati membantunya. Saat di SMA, mereka berpacaran dengan gadis kakak beradik. Ia berpacaran dengan Dewi, kakaknya, sedangkan dia berpacaran Putri, adiknya. Wajahnya sangat mirip, seperti anak kembar, yang sedikit membedakan bentuk tubuhnya, Dewi lebih langsing, lebih tinggi sedikit, sementara Putri lebih montok. Keduanya juga sekolah di SMA yang sama. Dewi satu angkatan, jurusan Bahasa, sementara Putri adik kelas, satu tingkat di bawahnya.
“Jono, nanti kita akan menjadi keluarga beneran. Aku menjadi kakakmu dan engkau adikku. Aku akan menikahi Dewi dan engkau akan menikahi Putri. Setuju?” Dia mengangguk tanda setuju.
Setelah lulus SMA, ia melanjutkan kuliah di Amerika untuk belajar dalam bidang IT, sementara dia sepertinya masih kebingungan dalam menetapkan cita-citanya, apakah akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau bekerja. Dia menyadari kemampuan otaknya dan juga finasialnya.
“Baik Jono, sebelum kita berpisah, sebagai tanda persahabatan, aku ingin kita mengucapkan sumpah bersama. Kita iris jempol kita, darahnya kita rekatkan sebagai tanda kita menjadi satu.” Kita ucapkan sumpah bersamaan. “Aku, Juno.” “Aku, Jono.” “Bersumpah menjadi sahabat, menjadi keluarga, saling melindungi, saling menjaga sampai akhir hayat.” Darah yang keluar dari ibu jari ditempelkan satu sama lain sebagai bukti bahwa mereka telah manjadi satu.
“Ah…, empat puluh tahun telah berlalu dengan sangat singkat. Aku ingin kembali ke kampung ingin menikmati kehidupan dengan tenang. Melihat cucu-cucu tumbuh besar. Kumpul bersama dengan keluarga dia. Alangkah indahnya.”
Untuk sekian kalinya jam tangannya dilihatnya. Kini, jarum jam sudah menunjukkan 20.25. Dilihatnya seorang lelaki bersepeda mendekatinya. “Pak Juno?” “Ya…, Bapak tahu nama saya?” “Saya Jono.” Juno menatap tajam orang yang mengaku bernama Jono. Ditatapnya lelaki yang mengaku bernama Jono dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Bapak bukan Jono sahabat saya. Meski empat puluh tahun berpisah, saya masih ingat perawakannya. Bapak bolehkan saya melihat lengan kanan atas, Bapak Jono mempunyai tato kecil bertulisan Juno dan Jono.” “Pak Juno, baik saya mengaku bahwa saya memang bukan Jono. Saya bawahannya beliau. Pak Juno, Bapak Jono tadi sudah ke sini tepat jam 20.00.” “Tapi.., pada jam tersebut hanya seorang polisi yang sedang patroli. Kita sempat ngobrol sebentar.” “Ya…, Pak Polisi itu sebenarnya Pak Jono yang sekarang menjadi Kapolsek di sini. Beliau tidak sampai hati kalau harus memborgol Bapak. Beliau menugaskan saya. Ini saya sampaikan surat perintahnya.”
Lelaki itu membaca sepintas surat tugas yang diperlihatkan kepadanya. Betul di bawah surat tersebut tertulis Ajun Komisaris Polisi Sarjono, nama lengkap dari Jono.
“Atas perintah Pak Kapolsek, Bapak ditahan.” Lelaki itu menurut saja ketika tangannya diborgol. “Pak Polisi, Saya tetap ingin jumpa dengan Pak Kapolsek, hanya untuk memastikan bahwa beliau itu sahabat saya sejak kecil.” “Bapak pasti ketemu beliau di kantor Polsek.”
Polisi itu membawa lelaki yang telah diborgol ke Polsek yang jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar satu kilometer. Sampai di Polsek, mereka berhadapan, lelaki itu berjalan mendekati Kapolsek dengan sorotan matanya yang tajam.
Cerpen Karangan: Bambang Winarto Blog / Facebook: Bambang Winarto BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fahutan- IPB (1974-1978). Bekerja sebagai ASN di Kementerian Kehutanan sampai purna tugas (1979-2010). Memperoleh gelar Magister MM di UGM tahun 1993. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Cerpen-cerpen yang dikirim di CERPENMU masuk nominasi terbaik : Firasat (Part 1,2), Doa Penggali Kubur (Part 1,2) (bulan September, 2022) Dulkamdi (Part 1,2) (bulan Agustus 2022) Sepasang Album Kembar (Part 1, 2), Malam Yang Tidak Diharapkan (Part 1,2) (Bulan Juni, 2022) Malaikat Keempat, Sepenggal Catatan (Part 1,2), Konspirasi, Menjemput Rindu. (Bulan Mei 2022). Pencuri Raga Perawan, Pita Putih Di Pohon Pinus.(Bulan April 2022). Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com ;