Kamu bukan kekasihku. Kamu juga bukan saudara kandung atau kerabatku. Tapi kamu begitu baik dan perhatian kepadaku. Pernah kutanyakan kepada kawanmu apakah kamu sudah punya kekasih? Katanya tidak. Katanya kamu malah dingin terhadap perempuan.
“Aku belum mengerjakan tugas Pak Joko,” kataku. “Tugas apa?” tanyamu. “Membuat makalah,” jawabku. “Makalah apa?” tanyamu. “Psikologi Sastra,” jawabku.
Kamu diam sejenak kemudian meraih ponselmu dari saku celanamu. Kamu memainkan jarinya di layar ponselnya. Kamu tampak serius. Keningmu berkerut. Apa yang kamu pikirkan?
“Kamu ambil makalahku,” katamu sambil mengirimkan file di ponselmu ke ponselku. “Lha kamu?” ujarku. “Gampang,” jawabmu. “Sudah terkirim?” tanyamu. “Udah, terima kasih ya,” jawabku. Dia hanya mengangguk. Tak ada kata lagi. Lalu kamu tenggelam dalam kesibukanmu dengan ponselmu. Mungkin kamu mengerjakan lagi tugas itu.
Dan hari itu aku terselamatkan dari dosen killer itu. Kamu tampak enjoy saja di kelas. Bahkan ketika namamu disebut dosen untuk presentasi, kamu tetap tenang saja. Kamu melangkah ke depan kelas dengan elegan. Sekali ini aku berharap kamu menoleh kepadaku tetapi ternyata tidak. Aku yang was-was karena aku merasa telah mengambil pekerjaanmu.
Sebentar kemudian kamu sudah presentasi dengan baik bahkan teramat baik. Kamu seperti psikolog dan sastrawan beneran. Kamu pandai mengondisikan kelas sehingga banyak bertanya dan memberi tanggapan pada makalahmu, bahkan dosen turut banyak berkomentar.
Kuliah hari ini selesai. Seperti biasa kamu tampak bergegas meninggalkan kelas ketika yang lain masih asyik ngobrol dan bersenda gurau. “Ayo ke kantin,” ajakku kepadamu. “Maaf lain kali saja ya,” jawabmu. Seakan kamu tahu bahwa aku akan berterima kasih dengan cara mentraktirmu makan atau sekadar ngopi di kantin. Dan aku tahu lain kali itu tak akan ada lagi. Begitulah kamu, terlalu baik kepadaku.
Aku melamun. Aku bermimpi kamu menjadi kekasihku. Ya, ini mimpi di siang hari, tak mungkin terjadi. “Hallo Dinda,” sapamu di suatu sore saat usai kuliah. “Hei, Sam,” jawabku sambil tersenyum. “Aku tahu yang kamu pikirkan,” katamu. “Oh ya? Coba apa?” jawabku. “Kamu sedang memimpikan aku jadi kekasihmu. Benar kan?” jawabmu. “Astaga… Benar. Ternyata kamu punya indera keenam yang bisa membaca pikiran orang,” kataku. “Hehehe. Jangan terlalu cepat mempercayai sesuatu. Itu tadi cuma kebetulan saja.” “Masa?” kataku tak percaya.
Lama tak bertemu kamu karena kuliah libur panjang akhir tahun. Hampir tiga bulan. Aku pulang kampung. Kau juga pulang kampung. Entah apa yang kau kerjakan di kampung. Kau pernah cerita kalo libur itu saatnnya bekerja membantu orangtua. Mengumpulkan uang untuk tambahan kuliah.
Aku iseng hari ini. Kukirim fotoku di kampung sedang menunggui pekerja papaku memanen sawit. Aku bagian mencatat hasil timbangan masing-masing truk yang masuk ke perusahaan sawit milik papaku. Kamu tak membaca kiriman fotoku, apalagi kasih komentar. Mungkin tak sempat. Mungkin juga tak mau membacanya. Aku penasaran sedang apa kau waktu liburan.
Aku iseng lagi. Tiba-tiba aku ingin melacak keberadaanmu lewat nomor ponselmu. “Kau di Jakarta?” Rumahmu di Surabaya. Ada apa?” kataku dalam hati. Aku semakin penasaran. Aku lacak lokasi kau berada. Ternyata di sebuah hotel. Ponselku berdering. Ada video call memanggilku. Tampak wajahmu berkedip-kedip di layar ponselku. “Hallo,” katamu begitu panggilan video call itu aku terima.” “Hallo, ngapain di Jakarta?” tanyaku to the point. “Ngapain ngelacak aku?” katamu. “Sorry. Iseng saja aku,” jawabku gugup. Tak aku kira kamu tahu aku sedang melacak posisimu. “Ngapain di Jakarta?” tanyaku lagi. “Aku lagi kerja,” jawabmu singkat lalu menutup vc. Tak ada kata-kata lagi.
Libur kuliah tinggal dua hari lagi akan berakhir. Aku bersiap untuk kembali ke rumah kos. Perjalanan panjang akan aku tempuh dengan bus antarpulau. Ini yang paling ekonomis untuk kantong mahasiswa meskipun papaku menyuruhku naik pesawat. Aku ingin merasakan pengalaman bergaul dengan berbagai macam orang dengan transportasi umum yang sejak dahulu sudah ada. Aku ingin membaur dengan masyarakat.
“Aku berangkat pakai ALS,” pesanku ke WA-mu. “Langsung Jogja atau Surabaya?” tanyamu. “Surabaya dulu,” jawabku. “Oke. Nanti aku jemput,” jawabmu.
Setelah 24 jam lebih, bus sampai di terminal Bungurasih. Aku mencari-cari sosok sahabatku yang bilang akan menjemputku. Aku yakin kau pasti datang. Kau selalu menepati janji.
“Dia adikku,” katamu sambil menggandeng tanganku dan menghindarkan aku dari kerumunan calo taksi yang mengerubutimu. Mereka tahu aku baru datang ke kota ini. Aku lega sekali. Sekali ini aku bahagia sekali melihatmu lagi. “Ada bagasi?” tanyamu. “Tidak. Sudah dikirim,” jawabku. “Oke. Let’s go,” katamu sambil menggandeng tanganku menuju tempat parkir mobil. Kulihat kamu mengeluarkan kunci mobil dari saku celanamu dan menekan remote control kunci mobilmu. Ternyata kamu punya mobil. Aku sebuah mobil menyala alarm kunci pintunya. “Cuma mobil tua,” katamu sambil membukakan pintu untukku. Aku merasa seperti kekasihmu. Aku rasa ini momen paling romantis dirimu padaku. Ataukah aku GR?
“Ayo mampir ke rumahku dulu,” katamu sambil menyalakan mesin mobilmu. “Boleh, tapi kalau tidak keberatan, aku ingin putar-putar dulu di kotamu ini. Bagaimana?” tanyaku. “Oke. Kemana?” jawabmu. “Pusat kota, ikon kota ini,” jawabku. “Oke,” jawabmu.
Mobil tuamu melaju membelah keramaian kota. Kau memutar lagu-lagu barat lama di audio mobilmu yang kurasa masih enak didengar. “Itu tugu pahlawan, ikonnya kota Surabaya sebagai kota pahlawan,” katamu sambil menyetir. Jalanan cukup ramai. Aku menikmati tur dalam kota ini. Sungguh, aku merasa nyaman bersamamu. Kau juga mengajakku menikmati sate klopo Ondomohen, kuliner yang terkenal itu.
Rumahmu cukup bagus besar untuk ukuran rumah di kota terbesar kedua di negeri ini setelah Jakarta. Keluargamu hangat menyambutku. Aku tersanjung. Padahal, kau hanya memperkenalkanku sebagai teman, bukan pacar apalagi calon istri. Begitukah adat Jawa yang terkenal sangat ramah itu?
Dan waktu kurasakan cepat sekali melaju. Aku dan kau bersiap berangkat ke Jogja dengan bus. Kali ini adikmu mengantar kami kembali ke terminal Bungurasih dengan mobil tuamu tadi. Ketika jarum jam tanganku menunjukkan pukul 11 malam bus yang kami tumpangi berangkat menuju Jogjakarta, kota pelajar, tempat kami menempuh kuliah.
Kami menumpang bus patas. Katamu biar aku bisa tidur selama perjalanan yang sekitar lima jam. Besok pagi sampai Jogja biar tidak ngantuk. Aku menurut saja.
Baru sekali ini aku duduk berdekatan denganmu. Sangat dekat. Bahkan dapat kurasakan aura kehangatan tubuhmu. Kantuk menyerangku. Aku tertidur dan tanpa sadar kepalaku bersandar di pundak kirimu. Andai ini difoto, tentu tampak romantis sekali. Ah, lagi-lagi aku bermimpi kau menjadi kekasihku. Mimpi yang indah antara Surabaya-Jogja.
Bus terus melaju membelah gelap malam. Perjalanan terasa nyaman. Baru sekali ini kamu mengalah kepadaku ketika aku minta aku yang membayari karcis bus Surabaya-Jogja ini. Baru sekali ini aku bisa traktir kamu.
Empat jam berlalu dengan cepat. Bus sudah memasuki terminal Jogja. Kamu membangunkan aku dari tidur nyenyak di perjalanan ini. “Sudah sampai di Jogja,” bisikmu lembut di telingaku. Aku menggeliat bangun dari tidurku. Badanku masih terasa pegal-pegal karena perjalanan yang jauh. “Diantar enggak?” tanyamu. Tanpa sadar aku meraih tanganmu. Aku mengangguk mengiyakan. Kamu memang sahabatku yang terbaik. The best. “Dasar manja,” katamu. Ingin kucubit lenganmu tapi biarlah. Mungkin sekali ini saja aku bermanja-manja padamu. “Aku sudah mampir ke rumahmu. Kapan-kapan kamu harus ke rumahku,” kataku. “Insyaallah,” jawabmu.
Empat tahun berlalu tak terasa. Kini kita di wisuda yang sama. Kini kita memiliki kebahagiaan yang sama. Kini kita merasakan kebanggaan yang sama. Begitu banyak yang sama. Orangtuamu datang. Orangtuaku juga datang. Akankah mereka akan berbesan? Ternyata tidak. Kita hanya berteman, bersahabat. Setelah itu kita berpisah melanjutkan jalan hidup masing-masing
Siang yang panas. Aku sedang meeting dengan para mandor perusahaan sawit milik keluargaku yang kini aku yang menjadi pimpinannya. Papaku menyerahkan estafet usaha itu kepadaku. “Bu, ada tamu,” kata securiti. “Siapa, dari mana?” “Katanya dari Jawa,” jawab securiti sambil menyerahkan catatan buku tamu. “Sam Son,” ucapku mengeja tulisan di buku itu. Itu pasti kamu. Aneh, hatiku berdebar-debar. “Persilahkan masuk dan menunggu sebentar. Saya masih meeting. Sebentar lagi selesai,” kataku pada securiti.
Dan meeting pun aku percepat. Aku penasaran dengan tamu yang sudah mencatatkan diri di buku tamu securiti. Benarkah kau sahabat terbaikku selama kuliah di Jogja? Aku tambah berdebar-debar. Tapi aku tegarkan diri menemuinya. “Hallo Sam,” sapaku. “Hallo Dinda,” jawabmu sambil berdiri dari dudukmu dan mengulurkan tanganmu.” Jujur aku ingin memelukmu tapi itu tak pantas kulakukan ruang tamu kantor perusahaanku. “Kita jalan ya?” ajakku kepadamu. Di luar sopirku sudah menyiapkan mobilku. Kali ini aku sendiri yang akan menyetir mobil itu.
“Kamu sudah sukses Din,” katamu. “Alhamdulilah,” jawabku. “Kok gak kasih kabar kalau mau ke sini?” tanyaku sambil menyetir. “Kontakmu hilang bersama ponselnya,” jawabmu. “Kita ke kota?” tanyaku. “Aku ingin putar-putar di perkebunan sawitmu saja kalo tidak keberatan,” jawabmu. “Oke, siap,” kataku.
“By the way, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan,” katamu. Kamu bicaranya beda dengan dulu. “Ngomong saja,” jawabku. “Ayo ke Jogja lagi. Di sana sudah aku bangun rumah untukmu, untuk kita,” katamu. “Untukku?” tanyaku “Ya, aku ingin kau menikah denganku,” jawabmu. Aku terkejut. Tak kusangka ia melamarku. Aku bingung sekali. Aku menghentikan mobilku.
“Itu kata-katamu yang aku tunggu lima tahun yang lalu. Aku menunggumu. Tapi…” kataku. “Tapi apa?” tanyamu. “Kau terlambat. Orangtuaku seminggu lalu menerima lamaran dari seseorang untukku,” jawabku. “Oh my God, I come late,” keluhmu menyesali diri. Aku tahu kamu kecewa. Kamu menyandarkan kepalamu di dashboard mobilku. Menyembunyikan wajahmu yang entah bagaimana warnanya. Tiba-tiba kau menegakkan dudukmu, “Baiklah, selamat dan maaf aku mengganggu waktumu hari ini.” “Ah, tak perlu minta maaf,” jawabku
“Jadi kamu tinggal di Jogja sekarang?” tanyaku “Iya. Aku buka cabang travel wisataku di Jogja,” katamu. “Aku sudah tahu keluargamu. So, sekarang kamu juga harus ketemu keluargaku,” kataku. “Baiklah, it’s okey,” jawabmu.
Mobilku bergerak meninggalkan perkebunan. Rumahku berjarak sekitar 30 km dari perkebunan sawit itu. “Biar aku yang stir?” katamu. “Tak usahlah, kamu kan capek,” jawabku. “Santailah,” kataku.
Aku memperkenalkan kamu sebagai temanku. Keluargaku juga hangat menyambutmu. Sama seperti dulu keluargamu hangat menyambutku. “Pa, dia melamarku dan mengajakku hidup di Jogja,” kataku. “Apa?” tanya papaku. “Saya melamar Dinda,” katamu di depan keluargaku. Kamu benar-benar gentle. Aku suka itu. “Baiklah, terserah kamu pilih siapa?” tegas papa. “Aku pilih dia,” jawabku sambil menunjukmu. “Baiklah akan aku cancel lamaran bujang minggu kemarin.” “Terima kasih papa, malam ini juga aku akan berangkat ke Jogja,” kataku. “Iya, tapi kalian saya nikahkan dulu,” kata papaku.
Dan begitulah. My bestie itu menjadi suamiku. Aku kembali lagi ke Jogja menempuh hidup bersamanya. Aku bahagia sekali.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S