Karena aku sudah tidak sabar, aku langsung menepuk pundak Saira lalu menatapnya. Aku ingin mendengar penjelasannya. “Saira aku tanya sama kamu, ada apa? Apa ada sesuatu yang membuat kamu kesal?” aku berkata dengan raut wajah yang khawatir. Akhirnya dia mau melihat mata kami semua. “Begini, tadi pagi aku dihubungi kalau aku batal ikut kualifikasi lomba bulutangkis yang diadakan dua hari lagi. Pelatih ingin mengganti pemain karena tangan kiriku yang cidera dua hari lalu. Sialan sekali, padahal luka ini tidak begitu parah dan sudah sembuh sekarang. Lagipula aku kan bermain dengan tangan kanan!” Jelas Saira sambil melempar batu yang diambilnya di tanah. “Kukira ada sesuatu di antara kalian.” Beril menatap Izah dan Saira bergantian,
Aku merasa bersalah sekarang. Aku sudah berpikir negatif tentang Izah. Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa aku memikirkan hal buruk tentang teman-temanku yang sudah lama kukenal. Banyak orang mengatakan jika satu kos dengan seseorang yang sudah kita kenal dekat saat sekolah dulu, maka dia akan menunjukkan sifat aslinya saat tinggal bersama atau ngekos. Hal itu akan membuat kita berselisih dengannya. Tetapi persahabatan kami berbeda. Kami sudah pernah membahas rumor itu dan akan berusaha berhubungan sebaik mungkin untuk mematahkan rumor tersebut.
“Jadi begitu ya Sai.” Aku melirik ke arah tangan Saira, dia memegangnya sejak tadi. “Jadi itu alasan kamu mengaduh saat kubangunkan tadi?” Izah menambahkan. “Iya kau menepuk tanganku terlalu keras Zah.” Jawab Saira. “Kenapa kamu tidak mau memberitahu saat tanganmu terluka dari awal?” tanya Beril. “Aku tidak mau kalian khawatir, terlebih lagi Mai. Karena kalau kalian tahu, pasti Mai juga tahu.” Jawab Saira. “Kamu tidak boleh seperti itu. Jangan memaksakan diri sendiri. Putusan pelatih itu sudah benar. Lukamu dua hari yang lalu kan. Boleh kami tahu karena apa?” Aku menasihatinya.
Ketika aku hendak memegang tangan kiri Saira, dia menepisnya dan menatapku dengan muka melas. Aku terkejut dengan reaksinya. Aku memang sering refleks terhadap sesuatu, aku melakukannya untuk mengecek apakah tangan Saira baik-baik saja.
“Maaf Saira.” Aku jadi canggung. “Terima kasih Mai. Aku terserempet motor saat sedang menyebrang jalan.” Ucap Saira lembut lalu membuang muka dariku. “Jadi begitu.” Ucapku menanggapinya.
Aku merasa tidak enak karena hal tadi. Apa aku terlalu protektif terhadap teman-temanku sampai dia menyembunyikan keadaannya yang sakit seperti itu, bahkan aku tidak menyadari tangannya yang terluka. Aku baru sadar sekarang, selama seminggu lalu, Saira hanya memakai kaos berlengan panjang, pantas saja aku tidak melihat lukanya.
“Baiklah sudah selesai, ayo kita lanjutkan lari pagi ini. Aku tidak sabar mau belajar.” Ucap Beril. “Ayo. Aku juga tidak sabar mau jalan-jalan setelah ujian. Bagaimana kalau ke kebun teh?” Beril mengatakan sesuatu yang bertolak belakang dari yang dikatakannya kemarin. “Aku tidak salah dengar kan?” ucap Saira. “Setelah dipikir-pikir ide jalan-jalan itu memang bagus untuk menambah semangat.” Ucap Beril sambil tersenyum.
2 minggu kemudian… Kami semua berkumpul di sebuah kafe di tengah-tengah kampus. “Akhirnya kita selesai ujian!” ucap Saira bersemangat sambil meninju udara. “Hei jangan berteriak, kita masih di kampus nanti ada yang dengar!” ucap Beril. “Jadi sehabis ini kita kemana?” Ucapku senang. “Aku mau outbond ke Bukik Hills.” Ucap Saira. “Tidak mau. Kita piknik ke kebun teh saja.” Ucap Beril. “Aku setuju.” Ucap Izah. “Setuju pergi outbond, kan?” Ucap Saira. “Tidak.” Tukas Izah. “Menyebalkan. Mai bagaimana?” Tanya Saira. Lagi-lagi aku dalam situasi ini, jika aku setuju pergi piknik Saira akan sedih dan merasa sendiri, aku tidak tega. Apakah aku lebay?
“Hmm aku setuju pergi outbond.” Tidak pikir panjang langsung kuucapkan itu. “Mai! Aku tahu kamu tidak suka kegiatan seperti itu.” Ucap Beril tidak rela. “Baiklah bagaimana kalau kita pergi ke kedua tempat itu?” ucapku asal. “Tidak bisa, karena kedua daerah itu kan letaknya berjauhan.” Ucap Beril. “Baiklah kita pergi sendiri-sendiri saja.” Saira santai mengatakan itu dan kami semua menatap ke arahnya. “Tidak bisa begitu, kita sudah berencana untuk selalu bersama kan, kenapa harus terpisah.” Aku tidak setuju. “Kalau begitu bagaimana, pendapat kita terbagi dua. Aku tetap tidak mau piknik di kebun teh. Kalau kalian tetap pergi aku tidak masalah pergi sendiri.” Saira berkata yang membuatku sedikit kesal. “Kamu jangan seenaknya begitu Saira. Sejak kapan kamu jadi egois begini?” Izah tiba-tiba bersuara dengan nada kesal. “Egois apa? Pendapat kita kan berbeda. 50:50 kan. Aku pergi dengan Mai kalian pergi berdua juga, tidak ada yang dirugikan.” Saira sok bijak. “Aku tetap tidak setuju.” Izah menanggapinya. “Baiklah tidak apa. Aku setuju dengan pergi berdua-dua. Kita bisa video call nanti di tempat masing-masing.” Ucap Beril.
Aku tidak habis pikir dengan mereka semua. Sejak kapan kami terpisah hanya karena berbeda pendapat. Jika bisa bersama kenapa harus terpisah. Seharusnya perjalanan liburan kali ini dilakukan dua kali saja. Kami harus menunda pulang kampung. Mungkin itu bisa jadi solusi.
“Tidak bisa!” aku meninggikan suaraku dan memukul meja. Semua yang ada di kafe itu tertuju padaku. “Mai, jangan emosi. Banyak orang disini.” Bisik Beril. Aku tidak sadar. “Maaf teman-teman. Bisa tidak kita diskusikan saja ini di rumah?” Ucapku pelan. “Ok.” Ucap semua teman-temanku.
Sesampainya di rumah kontrakan.. “Jadi bagaimana?” Ucap Izah yang biasanya jarang memulai obrolan terlebih dahulu. Semuanya diam. Apakah semuanya terlalu stres karena ujian? Aku sangat merasa lega karena telah menyelesaikan ujian yang cukup sulit menurutku. Mungkin semua temanku juga begitu.
“Bagaimana kalau kita undi?” Ucap Saira. “Baik. Ayo langsung saja.” Ucap Beril percaya diri seakan dia akan memenangkan undian itu. “Tapi sebelumnya coba kalian semua pikirkan, kita sudah lelah dalam dua minggu ini karena ujian. Masa kalian mau pergi outbound dan menambah rasa letih? Seharusnya liburan itu digunakan untuk bersantai!” Beril berpendapat. “Terserah apa katamu. Pakai koin ini, jika angklung, aku yang menang.” Ucap Saira.
Akhirnya mereka berdua memulai undiannya dengan sebuah koin seribu yang bergambar angklung. Izah membantu melempar koinnya. Dan hasil dari pelemparan itu yaitu gambar angklung. Beril terlihat kesal lalu pergi ke kamarnya dan membantingnya. Saira tersenyum puas.
“Jika dia tidak terima, aku akan pergi sendiri. Mai kurasa kau harus ikut dengan Beril. Karena meskipun kita terpisah, aku yakin itu tidak akan mengubah ikatan persahabatan kita, iya kan Mai.” Jawab Saira.
Aku sangat pusing membahas liburan yang susah sekali disatukan pendapat. Liburan kali ini kami pergi berdua-dua. Beril tetap tidak ingin pergi oubound ke Bukik Hills, dia pergi ke kebun teh yang jaraknya satu setengah jam dari kami tempat kami sekarang. Sedangkan untuk pergi oubound butuh dua setengah jam. Kedua tempat itu letaknya berlawanan arah. Kami hanya punya waktu dua hari sebelum pulang kampung. Karena itulah kami sulit untuk pergi ke kedua tempat itu.
Aku jujur sangat tidak menikmati liburan ini. Aku tidak ingin menyalahkan siapapun, tetapi ini seperti bad ending dalam game. Aku tidak menyangka hal ini terjadi karena keegoisan masing-masing.
Cerpen Karangan: Blueblacksky Blog: reachyourdreams17.blogspot.com