Tuhan mendatangkannnya lewat cerita baru dan air mata di pipinya. Seolah ia mengutusku untuk menghapus air mata itu. kemana saja dia ketika duniaku sedang baik-baik saja? Ketika tangan ini dengan mudah bisa menggenggam tangannya dan mengatakan “Aku disini, jangan takut!” Sambil tersenyum teduh menenangkan. Ketika aku bisa menukar waktu luangku yang dulu tak seberharga itu untuk sekedar menciptakan tawa bersamanya. Mungkin agak berlebihan jika kubilang menciptakan. Baiknya, kita tertawa saja. Sebuah hal yang dulu setiap saat selalu kulakukan namun kini sudah jarang rasanya. Aku takut untuk mengatakannya bahwa aku dan dia itu sama. Dunia kita sedang tidak baik-baik saja. Dan, aku berharap satu hal yang sama lagi. Yaitu, kita bisa mengembalikan lagi dunia kita masing-masing. Dunia yang penuh dengan taman bermain.
Dia terlihat bukan seperti dia, aku juga. Kita masih bernama sama dan mungkin berparas sama. Tapi sorot mata kita tak bisa menghapuskan jejak semesta yang tahun ini mempecundangi kita. Membuat kita jatuh sejatuh sejatuhnya. Membuat kita ditinggalkan, dikalahkan bahkan dicampakkan.
“Gue ga mau lu mikirnya gua datang ke lu pas sedih doang.” Suaranya dari speaker ponselku. “Bentar gua pake headset dulu.” Kataku sambil menyambungkan headsetku ke ponsel. Aku berbaring di ranjangku. Sekarang tengah malam. Jam-jam yang tenang untuk mendengar suaranya.
“Apa?” “Gua ga mau kesannya gua dateng pas gua lagi sedih doang.” Ulangnya. “Apaan si? Gua ga pernah mikir gitu tau.” “Takutnya aja.” “Enggak! lagipula kalau lu dateng pas sedih doang emang kenapa? Manusiawi.” Jelasku.
Aku mengerti. Disituasi seperti itu banyak sekali rasa bersalah yang merasuk kedalam hati dan pikirannya. Karena mungkin semua orang pernah menyadari sesalnya kehilangan beberapa hal dalam hidup ketika keadaannya sudah terlambat. Apalagi kalau rasanya dalam waktu singkat dia merasakan hidup di dunia yang sangat berbeda dari sebelumnya. Meskipun aku juga begitu.
“Terus gimana? Lu harus kuat!” “Iya semoga aja.” Jawabnya, “Lu bakal ninggalin gua nggak kayak yang lain?” Dia berucap lagi dengan suara pelan tapi aku masih bisa mendengarnya. “Enggaklah!” Tegasku “Janji?” “Iya janji.” “Kenapa lu nggak ninggalin gua? Gua kan nyebelin. Nanti juga lu bakal capek sama gua.” “Karena lu itu orang baik. Gua inget semua hal-hal yang baik tentang lu, jadi kalau sewaktu-waktu lu ngelakuin hal yang bikin gua kesel. Gua akan selalu ngebayangin hal baik yang pernah lu lakuin ke gua dan ke temen-temen lu! Tapi lu juga harus berusaha untuk melangkah kedepan!”
Aku tidak akan meninggalkannya sendirian karena aku mengerti bagaimana rasanya melihat banyak punggung yang berbalik dan menjauh. Aku tak mengerti jenis perasaan apa yang ada didalam hatiku ini. Aku menyayanginya entah sebagai teman, sahabat atau lebih. Aku sendiripun juga tidak bisa menyimpulkan dan tidak mau memikirkannya. Yang jelas, walau duniaku sedang tak baik-baik saja, Aku akan melakukan sesuatu untuknya sebisaku. Bukan karena kasihan, tapi karena aku peduli. Dia boleh bersandar di bahuku meskipun aku sudah memikul banyak beban. Dia boleh bercerita apa saja. Dan bahkan, jika bisa, aku ingin menemaninya saat dia membutuhkan seseorang disampingnya. Sungguh!
“Makasih ya,” katanya dengan suara pelan tapi terdengar lebih baik. “Iya sama-sama,”
Sejak saat itu ia sering menghubungiku. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, seperti yang pernah ia lakukan dulu. Disaat pelangi masih sering mengunjungi kediamannya. Disaat aku juga punya warna sendiri hingga kita akhirnya sibuk dengan kebahagiaan masing-masing dan hilang. Makanya dia bilang seolah-olah dia menghubungiku ketika sedang sedih saja. Siapa yang peduli? Aku juga tidak menghubunginya waktu itu.
Kata orang, jika kau ingin menolong seseorang maka kau harus menolong dirimu sendiri dulu. Mungkin setengahnya benar dan setengahnya lagi tidak. Mengapa? Karena hadirnya dia untukku sejauh ini membuatku lebih baik. Aku belum bisa menolong diriku sendiri sejauh ini. Duniaku masih belum baik-baik saja. Tapi dia datang padaku dengan air matanya. Aku mencoba menghapusnya dan itu membuatku merasa lebih baik. Apakah ini aneh? Entahlah.
Aku tidak tau apakah dia merasa lebih baik juga atau tidak, aku harap dia juga merasa begitu. Sampai akhirnya dia mengatakan jika dia juga merasakannya. Suatu malam di pesan WhatsApp dia membuat sebuah tulisan untukku. Beberapa kalimat yang menjadi alasan untukku menuliskan cerita ini.
“Makasih.” Pesan WhatsApp darinya. Disertai kiriman foto lembaran kertas bertuliskan, “Terimakasih sudah mengajarkan apa itu ikhlas… Terimakasih untuk tidak menyerah disaat semua orang memilih untuk meninggalkan… Terimakasih sudah menjadi pendengar disaat yang lain menutup telinga… Terimakasih untuk rangkulan penyemangat yang tak pernah hilang…”
Aku tersenyum membacanya. Aku membalas pesan itu, “Apaan ini puisi apaan?” Balasku. Dia membalas, “Hahaha nggak tau ya puisi atau bukan, tulisan aja.” “Siapa yang bikin ini?” “Inituh ucapan. Gua yang bikin hehe.” “Buat siapa?” “Buat lu lah! Udah sosweet-sosweet juga.” “Gua pura-pura nggak tau aja biar lu bilang hehe.” Aku menggodanya. “Dasar.”
Dan kini aku ingin mengatakan padanya. Lebih tepatnya membalas apa yang dia katakan dalam tulisan itu.
Kau tau? Aku sungguh senang disaat duniaku sedang tidak baik-baik saja kau datang. Kau menceritakan banyak hal padaku seolah kau mempercayaiku sepenuhnya. Dimana saat itu aku tak percaya ada orang yang percaya padaku sebegitunya. Ketika kau berterimakasih padaku untuk beberapa hal yang kuberikan, ketahuilah, aku tidak melakukannya untukmu. Aku melakukan itu untukku sendiri tanpa kusadari sebelumnya. Karena disetiap simpulan senyum yang seolah terikat di bibirmu, atau ketika mendengar suara tawamu dimanapun itu, aku juga ikut merasakannya. Aku senang membuatmu senang. Aku peduli. Mungkin terkadang aku lelah dengan air matamu. Tapi sungguh aku tidak akan meninggalkanmu. Aku harap duniamu berubah. Duniaku juga. Aku harap kita bisa kembali berlari dan melepaskan tubuh serta hati kita dari jeratan luka hari ini dan luka masa lalu. Kembali sebagaimana semestinya. Mengembalikan taman bermain kita yang rusak hingga indah seperti sediakala. Bukan untuk siapapun! Tapi, untuk hidupmu dan untuk hidupku.
Jadi, jangan berterimakasih karena aku merasa berharga.
Selesai.
Cerpen Karangan: Aditya Isman Blog / Facebook: Aditya Isman