Sejak sore aku sudah berada di rumah sakit bersalin, ingin menemani Mas Arfan yang sedang menunggu Mbak Dewi. Namun, bangku yang disediakan telah penuh dengan para lelaki, para suami, yang istrinya sedang mempertaruhan nyawa demi kelahiran bayi akibat perbuatannya. Duduk agak jauh dari Mas Arfan malahan menguntungkan, dapat menikmati suatu pertujukkan yang akan dipertontonkannya, bagaimana tingkah laku pertama kalinya menjadi lelaki sejati. Apakah seperti aku, saat menjadi ayah pertama kalinya? Tentu pertunjukannya berbeda, aku hanya memerlukan dua tahun, bahkan kalau mau hanya satu tahun saja, sementara Mas Arfan memerlukan waktu sembilan tahun.
Waktu mendekati tengah malam, Mas Arfan masih duduk dengan sabar di depan ruang tunggu. Sebentar-sebentar lihat jarum jam yang melekat di tangannya. Tidak berapa lama, wajahnya kembali ditutup dengan kedua tangannya. Kadang wajahnya ditekuk, memandang lantai, berdiri, berjalan mondar-mandir di depan kamar. Sesekali tangannya ditengadahkan, mulutnya komat-kamit. Kentara sekali kalau hatinya sedang gundah. Sudah cukup lama Mas Arfan menunggunya, mungkin tinggal beberapa menit lagi atau paling lama satu jam, suara tangisan bayinya akan terdengar.
Mendekati tengah malam, terdengar suara tangisan bayi. Mas Arfan berdiri, menunggu panggilan suster yang berada di depan pintu. “Pak Dulsalam!” teriaknya. Orang yang bernama Dulsalam, berdiri, senyum ditebarkan, gigi putih agak kusam yang sudah tidak lengkap dipamerkannya, kemudian masuk ke kamar bersalin. Mas Arfan yang sudah berdiri, kembali duduk. Aku berpindah tempat, menempati tempat duduknya Pak Dulsalam. Aku peluk Mas Arfan. “Mas Arfan, sebentar lagi jadi Ayah.” “Terima kasih Juno, tolong doakan semoga persalinannya lancar.”
Memang melahirkan merupakan saat kritis bagi ibu yang sedang mengandung. Jika kurang hati-hati, nyawa menjadi taruhannya, apakah bayinya atau ibunya. Lebih tengah malam sekitar jam 01.05, kembali terdengar tangisan bayi. Keheningan malam menjadikan suaranya yang sangat keras, kaget dengan dunia luar yang tidak senyaman di dalam rahim ibunya.
Secara spontan, Mas Arfan berdiri lagi. Suster keluar, berdiri di depan pintu. “Pak Arfan!” teriaknya. “Alhamdulillah!” mulutnya secara spontan mengucapkannya, dilanjutkan tangan kananya dikepalkan dan diangkat ke atas. “Yes, yes, yes,” teriaknya. Raut wajahnya berubah dengan senyuman, gigi putih yang berderet rapi diperlihatkan pada orang yang berada di hadapannya. Aku lihat para penunggu heran dengan kelakuannya. Mas Arfan bergeras masuk ke kamar bersalin, aku mengikutinya dari belakang.
“Suster, laki apa perempuan?” “Laki, Pak! Alhamdulillah, suaranya sangat keras, sehat dan normal. Beratnya 2,5 kg dan panjangnya 53,2 cm, wajahnya seperti Bapak.”
Mas Arfan mencium kening Mbak Dewi. “Dewi, terima kasih, engkau telah menjadi seorang Ibu, perempuan sempurna.” “Terima kasih, Mas Arfan juga telah menjadi ayah yang sempurna. Siapa namanya Mas?” “Afgan Saputra, panggilannya Afgan.”
Mas Arfan menggendong bayinya. Terlihat gendonganya masih kaku, maklum baru pertama kali. Perlu beberapa hari belajar untuk dapat menggendong bayi dengan benar. Dari mulutnya, terdengar suara rengeng-rengeng, entah senandung apa yang dinyanyikannya. Mas Arfan tidak tahu bahwa bayinya masih belum bisa mendengar atau mungkin lebih kepada rasa kebahagiaan yang bertumpuk. Butiran air bening berada di matanya, doa yang dipanjatkan setiap hari telah dikabulkan Sang Pencipta.
“Selamat Mas, sudah jadi Ayah.” “Terima kasih Juno, aku lelaki sejati. Tapi aku masih pengin anak perempuan seperti kamu, punya anak sepasang.” Aku lihat bayinya, kulitnya coklat, hidungnya tidak mancung, rambutnya lurus, tidak mirip dengan Mas Arfan. Mungkin telur Dewi lebih dominan dibandingkan benih dari Mas Arfan. Aku mendekati Dewi, mencium tangannya “Selamat, Mbak Dewi sudah jadi Ibu. Tadi Mas Arfan ngomong masih pengin anak satu lagi, anak perempuan.” “Terima kasih, Juno,” suaranya sangat pelan di dekat telingaku. Mbak Dewi memandangku agak lama, matanya berlinang, mencubit tanganku dengan lembut.
Aku menatap mas Arfan dan Mbak Dewi secara bergantian. Mereka berdua tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Berbahagia rasanya melihat kapal yang hampir tenggelam, kini berlayar kembali dengan tenang menuju pelabuhan yang diinginkan.
—
Malam itu, lonceng jam di dinding telah berdentang dua belas kali, aku masih sibuk menyelesaikan laporan pencurian kayu jati di bagian hutan yang menjadi tanggung jawabku. Besok pagi aku harus melaporkannya kepada Bapak Administratur Kendal. Memang pada musim kemarau panjang, pohon jati menggugurkan daunnya, pohon menjadi kering, menjadi lebih ringan. Saat itulah banyak pencurian pohon jati terutama pada yang berdiameter 30 – 45 cm.
“Mas Juno, Putri tidur dulu yaa…” “Ya….”
Aku tidak terlalu memperhatikan Putri, pikiranku masih terpusat pada laporan. Dari jendela kamar, aku lihat langit demikian gelap, bulan dan bintang bersembunyi di balik awan. Angin malam yang biasanya memberikan kesejukan, nampaknya malas menjalankan tugasnya, pepohonan hanya berdiri mematung tanpa menunjukkan kehidupan. Binatang malam yang biasanya ramai berdendang juga tidak terdengar suaranya. Hanya satu binatang saja, yaa… satu binatang yang memperdengarkan suara peraunya, burung hantu.
“Huuuk…,huuuk…., huuuk.” “Huuuk…,huuuk…., huuuk.”
Tiba-tiba lampu mati, diiringi angin dingin yang menerpa wajahku, bulu kuduk berdiri, terdengar suara sangat pelan tapi juga sangat jelas di telingaku. “Juno, selamat ya…, engkau telah membuat bahagia Mas Arfan dan Mbak Dewi. Mas Arfan masih berharap satu anak perempuan lagi. Haaa…, haaa…, haaa…” Kejadiannya sangat cepat, tidak sampai satu detik dan dengan berakhirnya suara ketawa, lampu pun menyala kembali. Sungguh aneh. Aku tidak mau menanggapi suara itu. Cepat-cepat aku bereskan pekerjaanku dan masuk kamar tidur.
Sinar lampu kamar tidur remang-remang, lampu utama telah diganti dengan lampu kamar 3 watt. Terlihat Puteri sudah tertidur dengan wajah tersenyum, aku pandang, aku cium keningnya. Tapi…, ketika aku lihat kembali wajahnya, aku terkejut, wajahnya berubah menjadi wajah Mbak Dewi. Hampir saja aku memanggilnya, tapi aku masih sadar, bukankah ini di rumahku? Sejak kapan Putri memakai daster tipis? Apakah mataku salah? Putri apa Mbak Dewi? Mbak Dewi apa Putri? Setelah kesadarku pulih, aku lihat wajah Putri semakin jelas. Rupanya Putri sudah terjaga dengan kesadaran yang masih belum pulih.
“Ada apa Mas?” Aku tidak menanggapinya, aku cumbu dengan liarnya hingga menjelang pagi.
Pagi ini, aku akan ke Kantor KPH Kendal untuk menyampaikan laporan pencurian kayu jati yang telah selesai aku buat. Seperti biasa, sebelum berangkat ke Kantor sarapan terlebih dahulu sambil ngobrol berdua dengan Putri. Nasi goreng pete dihiasi telur dadar yang telah diiris tipis-tipis ditambah tempe goreng serta kerupuk udang tersaji di meja makan. Putri mengerti betul makanan sarapan kesukaanku.
“Mas Juno, tadi malam kok agak beda yaa, galak amat, apakah karena Putri pakai daster tipis? Itu pemberian Mbak Dewi, tapi Putri senang kok, nanti kalau kita akan ke Taman Firdaus, Putri akan selalu pakai daster tipis lagi.” Aku tidak tahu apakah perkataan Putri itu nyindir atau memang ngomong apa adanya. Tapi ya.. sudahlah, aku berbaik sangka saja. Segera aku alihkan pembicaraan.
“Putri, semoga kehidupan keluarga Mas Arfan dan Mbak Dewi berjalan dengan penuh kebahagiaan, badai pasti berlalu.” “Haaa…., haaa…, haaa… Badai belum berlalu Juno, badai masih akan datang lagi, badai yang jauh lebih lebih besar akan menimpa keluargamu. Haaa…, haaa…, haaa…” Suara itu, berasal dari hatiku. (TAMAT)
Cerpen Karangan: Bambang Winarto Blog / Facebook: Bambang Winarto BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fahutan- IPB (1974-1978). Bekerja sebagai ASN di Kementerian Kehutanan sampai purna tugas (1979-2010). Memperoleh gelar Magister MM di UGM tahun 1993. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Cerpen-cerpen yang dikirim di CERPENMU masuk nominasi terbaik : Matinya Hantu Pocong (Oktober, 2022) (Perempuan Berkaos Kuning Dua, Sahabat (Part 1,2) Firasat (Part 1,2), Doa Penggali Kubur (Part 1,2) (bulan September, 2022) Dulkamdi (Part 1,2) (bulan Agustus 2022) Sepasang Album Kembar (Part 1, 2), Malam Yang Tidak Diharapkan (Part 1,2) (Bulan Juni, 2022) Malaikat Keempat, Sepenggal Catatan (Part 1,2), Konspirasi, Menjemput Rindu. (Bulan Mei 2022). Pencuri Raga Perawan, Pita Putih Di Pohon Pinus.(Bulan April 2022). Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com ;