Setiap orang berbeda dan memiliki jalannya sendiri. Seperti teman dekat, meski tak sama dan berada dalam rutenya masing-masing, mereka dapat bertemu kembali.
—
Hujan telah turun bahkan sebelum matahari menunjukkan dirinya. Senin yang tidak biasa, pikirku.
Setelah benar-benar bangun, aku pun memulai aktivitas hari ini. Sesuai dugaanku, Ibuku segera bertanya ketika pagi menjelang siang itu aku berpakaian rapi mengenakan overall dress warna cokelat dan jilbab dengan warna senada.
Wajar saja, semenjak libur sekolah akhir tahun dimulai aku hanya diam di rumah, kecuali saat Ibu menyuruhku belanja. Lagi pula menghabiskan waktu libur di rumah adalah hal terbaik yang dapat dilakukan oleh indoor girl sepertiku.
Selepas pamit pada Ibuku, aku pun melangkah menuju tempat yang telah kurencanakan kemarin. Tempatnya pun tak jauh tapi tak bisa dibilang dekat juga, namun dengan berjalan kaki menuju ke sana bukanlah hal yang sulit.
Dalam perjalanan, selain udara dingin yang menerpa wajahku dan genangan air pada permukaan jalan, aku tak menemukan hal yang menarik perhatianku. Hujan telah berhenti beberapa saat yang lalu dan aroma setelah hujan pun kunikmati sambil berjalan santai.
Di dalam tote bag ku tak ada payung, meski aku tak memeriksa prakiraan cuaca dan aku tak dapat memperkirakan bagaimana nanti sebab sekarang langit berawan. Jadi, aku hanya berpikir mungkin akan cerah atau hujan kembali tanpa mempercepat atau memperlambat jadwal kegiatanku hari ini.
Beberapa menit telah berlalu, kini aku telah berdiri di depan sebuah toko buku yang berada di pinggir kota. Toko ini tidak terlalu besar, namun buku-buku ditata dengan rapi di atas meja dan juga di rak buku.
Aku segera menuju salah satu meja setelah memasuki toko lalu mengambil satu buah buku yang telah lama kuincar, tapi karena uang sakuku habis membeli buku yang lain dan aku pun tak bisa meminta pada orangtuaku, jadi aku harus mengumpulkan uang dulu.
Aku tersenyum menatap buku yang ada di tanganku. Akhirnya aku bisa membelinya!
“Risa?” Ketika mendengar seseorang memanggil namaku, aku ditarik kembali ke kenyataan kemudian menoleh pada asal suara itu dan mendapati seorang perempuan yang memanggilku itu berdiri di dekatku, aku terdiam sejenak. “Eli.” Ucapku akhirnya. Ia pun tersenyum.
—
“Lagi liburan?” tanyaku setelah pegawai kafe pergi meninggalkan kami. “Iya tapi sama abang doang,” jawabnya lalu terkekeh. “Lagian udah lama juga gak ke sini.” Lanjut teman SMP-ku itu. “Sebenernya tadinya gue mau nemuin lo besok,” tutur Eli. “Tapi siapa sangka hari ini kita ketemu.” Lanjutnya lalu terkekeh. Aku pun menyunggingkan senyum.
Selepas papasan yang tidak diduga, Eli mengajakku ke kafe di samping toko buku. Kini, kami duduk berhadapan mengapit sebuah meja. Kursi kosong di sebelahku kugunakan untuk meletakkan tote bag dan kantong kertas yang berisi buku-buku yang baru saja kubeli.
“Oh iya, gimana kabar Nenek?” ucapku setelah beberapa saat kami diam. “Alhamdulillah baik, ya cuma sekarang lebih banyak di rumah. Lo tau ‘kan dulu beliau aktif banget,” balasnya lalu tersenyum. “Oh iya, Nenek juga sempet nanyain lo.”
Aku tersenyum. “Gue juga kangen sama Nenek.” “Kapan-kapan kunjungin kita dong, Risa,” pinta Eli. “Kalau lo mau kabarin gue aja ya.” Katanya lagi. Aku pun mengangguk.
Tak lama, pegawai tadi datang membawakan pesanan kami, aku dan Eli pun mengucapkan terima kasih saat masing-masing minuman kami disimpan di atas meja. Aku yang mengatakan sudah sarapan dan Eli dengan alasan sedang tidak lapar membuat kami hanya memesan minuman.
“Ngomong-ngomong soal kabarin, kita udah lama juga gak chat-an.” Ujarku setelah sejenak kami saling diam lagi. “Iya juga, udah beberapa bulan ya.” Balasnya sebelum menoleh ke jendela kafe yang memperlihatkan jalan yang cukup ramai dilalui orang-orang.
“Di sini kayaknya gak banyak yang berubah ya.” Kata Eli. “… mungkin,” ucapku tak pasti. “Tapi kayaknya iya.” Lanjutku sambil tersenyum sementara temanku itu melirikku sejenak dengan alis bertaut sebelum melihat ke arah luar lagi.
“Udah 2 tahun ya.” Gumam Eli.
Ya, dua tahun telah berlalu semenjak Eli pindah. Saat awal masuk SMP kami sekelas, lalu membicarakan banyak hal yang sama-sama disukai, kami juga suka membaca novel. Kesamaan itulah yang membuat kami menjadi teman dekat sehingga aku lumayan sering bermain dan mengerjakan tugas di rumahnya juga bertemu Nenek.
Di awal semester kelas dua, Eli harus pindah karena pekerjaan ayahnya. Sesudah pindah, aku dan Eli masih sering berkabar setiap hari melalui chat, telepon, atau video call. Namun, lama kelamaan kami jadi jarang mengirim pesan hingga setelah masuk SMA kami tak mengadakan kontak lagi.
Kini, seusai lama tak bertemu dengan teman dekat pun suasana canggung mengelilingi kami. Tadinya kukira jika ada reuni dadakan, aku dan Eli akan melompat senang kemudian berpelukan sambil tertawa tidak jelas. Nyatanya sekarang aku mengira, mungkin karena kami sudah menjadi siswi SMA, mungkin karena pertemuan ini terlalu mendadak, atau mungkin karena kami sudah berubah.
Bahkan aku merasa bahwa kami tidak sedekat itu, sebab bukankah teman dekat itu akan selalu dekat tidak peduli apa pun yang terjadi? Meskipun jujur saja, aku tak peduli, selama kami berteman baik dan kami nyaman serta tak mempermasalahkan hal itu.
“Oh iya, gue tau udah telat toh kita juga udah di kafe, tapi lo beneran gak ada urusan lain?” tanya teman yang tingginya sama denganku itu. Aku menggeleng. “Tadinya sih mau ke perpustakaan, tapi nanti juga bisa sih.” Jawabku ringan. Perempuan yang mengenakan jilbab berwarna lilac itu pun manggut-manggut.
“Nyari referensi buat naskah ya?” tebaknya dan aku pun mengangguk. Ia terkekeh. “Kayaknya lo gak berubah ya, jujur aja gue kagum lo bisa konsisten nulis.” Sambil tersenyum aku menatap latte milikku. “Itu juga berlaku buat lo, walau dulu, tapi lo pernah jalanin juga.” Balasku dengan nada bergurau.
Eli terkekeh lagi. “Iya, gue bersyukur bisa ngejalanin hal yang dulu gak sangka bakal gue lakuin.” Ujarnya sebelum mengangkat cangkirnya dan meminum milk tea nya.
Kini giliranku yang menoleh ke jendela kafe dengan pemandangan orang-orang berlalu lalang dan beberapa kendaraan yang lewat.
Aku dan Eli memang memiliki hobi yang sama, tapi kami berbeda, tentu saja. Seperti kebanyakan orang, hal yang disukai tidak hanya satu hal saja. Aku juga suka menulis dan Eli juga suka voli.
Sejak SD, Eli merupakan atlet voli dan melakukan yang terbaik di bidangnya. Ketika kelas satu SMP ia hendak mengikuti perlombaan, namun saat latihan untuk persiapan lomba kecelakaan terjadi. Kakinya cedera sehingga ia tak bisa bermain voli sampai benar-benar sembuh.
Pada masa penyembuhannya, Eli selalu mengikuti kegiatanku yang duduk, membaca, dan mengetik atau menulis, berbeda dengan kegiatannya yang berlari dan melompat di lapangan. Entah apa yang merasukinya, aku sedikit terkejut ketika ia mengatakan ingin mencoba menulis juga.
Naskah yang berhasil ia buat pertama kali itu bagus menurut aku yang masih butuh belajar dalam hal ini kemudian aku menyarankan agar ia mencoba mengikuti lomba menulis sebab aku selalu mengikutinya dan pernah menang sebanyak dua kali. Eli pun mencobanya dan hebatnya ia berhasil mendapat juara ke tiga dalam percobaan pertama, ia terlihat senang dengan hasil usahanya itu sehingga ia pun mencoba menekuninya.
Kami pun sering ke perpustakaan atau ke toko buku lalu berkunjung ke rumah masing-masing untuk membicarakan hal yang sama. Hari-hari berlalu, banyak naskah yang telah ditulis, daftar buku-buku yang telah selesai dibaca pun bertambah. Saat itu aku berpikir bahwa Eli sama dengan diriku dan karena minat yang sama kami bisa melangkah dengan tujuan yang sejalan.
Hingga di tengah-tengah proses menekuni kegiatan menulis, Eli menyerah atau lebih tepatnya ia tak bisa melanjutkannya. Ia berusaha untuk mencoba terus tapi ia akhirnya tak bisa lagi, dan Eli pun berhenti memaksakan dirinya sendiri. Sebagai teman, aku hanya bisa mendukungnya sebab ia lebih tahu apa yang diinginkannya.
Beberapa bulan telah berlalu, akhirnya kaki Eli sembuh dan ia bisa kembali bermain bersama tim voli sekolah. Setelah sekian lama, dia pun bisa mengenakan seragam tim lagi. Eli kembali disibukkan oleh kegiatannya, dan kami pun kembali seperti dulu lagi, melakukan aktivitas masing-masing.
Aku pun ikut senang saat Eli kembali ke lapangan karena memang itu yang dia inginkan dan itu jalannya, meski ia juga menikmati dirinya saat menulis namun itu tidaklah sama. Ia terlihat lebih gembira bermain voli. Walaupun jujur saja, ketika ia berhenti menulis aku merasa sedikit kesepian terlebih saat ia pindah. Sudah banyak kenangan menyenangkan yang kami alami. Aku bersyukur mempunyai pengalaman yang membuatku mendapatkan banyak pelajaran setelah mengenal Eli.
Kami berbeda, kami memilih jalan yang berbeda dengan tujuan masing-masing, untuk menemukan dan menjadi versi diri kami yang kami inginkan.
“Risa, makasih ya.” Kata Eli lalu tersenyum.
Eli tahu aku mengerti apa arti perkataannya tanpa perlu ia menjelaskannya. Aku pun menarik kedua sudut bibirku dan membalasnya. ”Sama-sama.”
Ketika aku kembali menoleh ke jendela, matahari bersinar cerah dan langit terang dengan udara yang terasa lebih hangat.
SELESAI
Cerpen Karangan: Hana Ula