Waktu seakan begitu cepat berlalu. Entah kenapa, aku selalu membayangimu. Tatkala kenangan kita kembali terbesit dalam igatanku. Mengundang kembali memori lamaku. Mengungkap segenap kejadian yang lalu. Yang pernah tertulis dalam sastra dan lagu.
Dua tahun telah berlalu, dan aku merasa semuanya belum berakhir. Aku bahkan masih ingat saat kita sepakat untuk menjadi kawan. Gelang itu, aku masih menyimpannya. Aku selalu tersenyum ketika memandangi gelang yang pernah kita beli bersama. Seakan-akan persahabatan kita tidak pernah berubah. Aku masih mengingatnya, kita mengagumi sosok yang sama. Semua itu terlihat konyol, tapi aku tau betapa seriusnya dirimu.
Kebersamaan mulai tumbuh melengkapi hari-hari kita. Dan kita berjanji untuk tidak saling mengecewakan. Sampai pada akhirnya, kau dan aku dipisahkan. Hari itu ujian akhir Sekolah, kami belajar bersama di rumah Rin. Aku masih menyadari keadaan masih berpihak pada kita. Selama itu, tidak ada konflik yang terjadi. Tapi Rin membuat kejutan, dia memberiku pernyataan yang menyedihkan. Bahkan aku tidak pernah berpikir ini akan terjadi.
“Setelah lulus Sekolah nanti. Kita pasti akan berpisah. Kita berada di tempat yang berbeda. Indri, kau akan bekerja di suatu perusahaan, Alin kau akan Sekolah di Inggris. Sementara hanya Lisna dan aku yang ada di tempat yang sama. Kita akan berpisah untuk waktu yang lama. Aku bahkan tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Selamanya aku berharap bahwa kita akan selalu bersama.” Ungkap Rin.
Lisna dan Indri meneteskan air matanya membayangkan ketika hari itu akan terjadi. Bahkan kita masih merasa ada ketakutan belum siap menerima kenyataan. Begitupun dengan aku, yang seolah akan menjauh dari mereka. “Aku juga memikirkan hal yang sama.” Ucap Indri dia menangis sejadinya. Aku menganggap semuanya biasa saja, meski rasa khawatir itu ada. Tapi apa pantas aku menangisi semua yang belum terjadi. Ada kebiasaan dimana aku susah menangis. Aku sulit untuk menjatuhkan air mata. Sekalipun itu untuk hal yang menyakitkan. Mungkin aku terlalu keras hati, dan selalu berusaha apatis terhadap sesuatu. “Tapi hari itu masih lama. Tak sepantasnya kau merasa dilema. Yang terpenting sekarang adalah kita masih bersama. Dan memanfaatkan waktu yang ada. Agar jika berpisah nanti, tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.” Ucapku, perlahan Indri mengusap air matanya yang berusaha jatuh. Dia memelukku seakan-akan itu terjadi.
Hari demi hari berganti. Kami telah lulus ujian Sekolah, dan Lisna mendapat predikat terbaik. Dimulai dari hari itu kekhawatiranku mulai terjadi. Aku mulai membayangkan hal-hal yang tidak pernah aku harapkan terjadi. Meskipun itu, aku berusaha untuk tetap tenang. Diantara teman yang lain, aku yang paling susah menangis. Dan ketakutan itu terjadi.
“Selamat kawan.” Ucapku pada Lisna, begitupun dengan Rin dan yang lainnya. “Terimakasih.” Balasnya. Kata-kata itu seolah mengakhiri pembicaraan kami.
Disatu sisi aku bertemu dengan Indri. Dia terlihat sangat pucat, karena waktu itu dia sedang sakit. Dia memaksakan untuk datang, meski Lisna telah berusaha melarangnya. Aku duduk disampingnya. Saat itu, aku berharap dia tidak mengatakan sesuatu.
“Indri kau disini.” Ucapku. Dia hanya tersenyum. “Aku tidak pernah berharap hari ini terjadi.” ungkap Indri dengan nada penyesalan. “Kenapa?” tanyaku, sejenak dia bungkam untuk bicara. Menit berikutnya dia mengatakan sesuatu. “Karena kita akan benar-benar berpisah.” Ucapnya, dia menangis dan aku masih tetap tenang. “Meskipun itu kisah kita tidak akan berakhir dihari ini.” ucapku, untuk kesekian kalinya dia memelukku. “Ada apa?” tanyaku. “Jangan lupakan aku ya.” Tenyata ia masih mengkhawatirkan itu. “Pasti” ucapku.
Waktu itu berakhir begitu saja. Saat aku kembali ke rumah, Lisna mengirimku sebuah pesan. Isinya sama, sama persis dengan yang dikatakan oleh teman-teman lain. Bahkan meskipun itu, aku sama sekali belum merasa ada yang berubah. Aku masih menyimpan pesan itu hingga saat ini. Sampai suatu ketika pesan itu terhapus. Aku tidak pernah menduganya, karena aku menyimpannya dengan baik.
Selang beberapa waktu, aku sudah berada di Sekolah yang berbeda. Di Inggris, tempat yang aku nantikan selama ini. Aku baru saja masuk Senior High School. Dan saat itu juga keadaan berubah. Aku bertemu dengan orang-orang seperti Ali dan Asyifa. Mereka juga pelajar Indonesia yang belajar di bidang bahasa. Sementara aku belajar di bidang Matematika dan IPA.
Walaupun begitu, aku masih merasa kesepian. Aku merindukan semua yang pernah kita lalui bersama. Sampai berlarut-larut, dan rasa itu masih ada. Aku mencoba untuk meredamnya. Naas, semuanya tak bisa. Hingga suatu ketika, Ali mengatakan padaku kalau dia mempunyai pengalaman yang sama. Aku masih ingat kata-katanya.
“Dulu aku punya sahabat namanya Riska. Diantara yang lain kamilah yang paling dekat. Hingga suatu ketika, konflik terjadi diantara kita dan lekas menghancurkan semuanya. Berhari-hari aku terluka dan tidak mau bertemu dengannya. Aku mengabaikannya. Begitupun dengan dia. Bahkan kita egois untuk saling memaafkan. Dan pada akhirnya akulah yang harus mengalah. Aku meminta maaf, dan memulai semuanya dari awal. Persahabatan kami kembali membaik hingga saat ini.” ungkap Ali. Binar matanya mulai bercahaya, dia selalu berusaha menatap ke suatu titik dimana titik itu selalu hilang. Aku belajar banyak dari Ali dan begitupun dengan Asyifa, mereka berdua punya insting yang kuat. Mereka bisa merasakan apa yang akan terjadi secara tiba-tiba dan itu mutlak. Mereka hampir tidak bisa melerainya. Aku bahkan secara tidak sadar selalu menentang perasaanya. Ketika dia mengatakan sesuatu, dan memintaku untuk hati-hati. Aku tidak mau mendengarnya, setelah terjadi sesuatu barulah aku percaya.
Asyifa punya kepedulian sosial yang tinggi. Dia mudah merasa iba terhadap orang lain. Tapi aku khawatir jika suatu saat kepeduliannya dimanfaatkan oleh seseorang. Yang akan membuat dia kehilangan sesuatu yang besar. Begitupun dengan Ali, dia sosok aneh yang mengagumkan. Kadang-kadang dia seperti anak kecil, dia ceroboh, dan kadang-kadang dia lebih dewasa dari umurnya, dia juga sensitif terhadap nilai Sekolah. Kami punya kelebihan masing-masing, banyak persamaan diantara kita. Sejak saat itulah kami berteman.
Kami memulai semuanya bersama. Hari-hari itu berlalu dengan kebahagiaan. Walau sebenarnya hati kami sangatlah malang. Karena merindukan seseorang yang pernah ada dalam hidup kita. Asyifa pernah bilang. “Sejak kami berpisah. Berhari-hari aku tidak mendapat kabar darinya. Bahkan aku tidak tau kenapa hanya aku yang disalahkan? Mereka mengatakan aku berubah. Tapi kenapa hanya aku yang mendapat tuduhan itu? Bukankah mereka juga berubah? Tidakkah mereka peduli dengan semua ini? Atau hanya aku yang merasakan? Aku tidak mengerti, tapi inilah yang terjadi. Entah ini mutlak kesalahan diri atau memang takdir tak menyetujui?” segenap pertanyaan itu yang membayangi pikiranku.
Itulah yang terjadi padaku sekarang. Aku mulai merasakan ada yang berbeda. Konflik itu berawal dari Indri. Dia salah paham padaku. Dia marah padaku seperti lebah yang kehilangan nektarnya. Padahal aku sama sekali tidak menghisap nektar itu. Aku tidak mencegah kemarahannya, karena dia yang mengakhirnya sendiri. Kejadian ini memunculkan banyak pertanyaan. Pertama, kenapa Indri marah, sementara dia sudah tidak peduli lagi terhadapnya? Kedua, diantara kami hanyalah teman, lalu apa alasan ia marah? Sekarang aku mengerti ternyata dia masih mencintainya. Selama ini, aku hanya menjadi peranta konflik itu terjadi.
Untuk yang kedua kalinya aku terlibat dalam konflik itu. Aku marah, karena kejadian yang sama selalu berulang. Padahal aku sudah mencoba memperbaiki konflik dimasa lalu agar tidak terjadi lagi. Dia tidak mengerti untuk yang kedua kalinya. Dan lagi-lagi akulah yang harus mengaku bersalah. Lalu meminta maaf untuk kesekiankalinya. Selanjutnya aku dan dia tak saling bicara. Karena dia sibuk akhir-akhir ini. Lalu aku menganggap bahwa dia terlalu hedonis saat ini.
Aku mencoba menceritakan semuanya pada Lisna. Tapi responnya singkat, aku merasa bahwa ia telah berubah. Aku mencoba mengatakan padanya dengan isyarat, tapi dia tidak mau mengerti. Akhirnya dia yang mengatakannya sendiri. “Lin, aku ingin bicara.” Ucapnya. Aku hanya menurutinya. “Menurutku akhir-akhir ini kau berubah.” Ungkapnya. “Apanya yang berubah?” tanyaku. “Sikafmu, kau seakan tidak peduli lagi dengan semua ini. Apalagi aku.” Ungkapnya, aku hanya mengangguk. Aku tidak menyalahkannya, karena aku juga merasakannya.
“Maafkan aku soal itu, aku tidak tau kalau kau akan terluka. Aku juga tidak punya alasan untuk meyakinkanmu. Aku tidak tau kalau ini akan terjadi. Kau masih ingat ? Aku pernah bilang padamu bahwa seseorang bisa berubah secepat angin. Dan inilah yang terjadi padaku sekarang.” ucapku mencoba menjelaskan padanya. Sejenak suasana menjadi hening, dia mulai fokus mendengarkanku.
“Kau merasa dirimu diasingkan. Padahal yang terjadi tetaplah sama, aku tetap peduli padamu. Dan engkau sebaliknya. Lantas, bukankah dirimu juga berubah? Kenapa hanya aku yang mendapat tuduhan itu? Kenapa bukan Rin? Seakan-akan apa yang terjadi mutlak kesalahanku. Lis, aku minta padamu. Kau jangan menuduhku yang tidak-tidak. Aku mengatakan ini, karena kau yang paling sensitif dan menganggapku berbeda. Aku jadi tidak berani bicara padamu, karena aku pikir kau tidak punya waktu. Kita tidak libur dihari yang sama. Kita sama-sama punya kesibukan. Maafkan aku kalau aku lupa. Aku akan menghubungimu kapanpun aku sempat.” Sambungku, tapi dia tidak mau mengerti.
“Aku tidak berubah, aku tidak peduli karena aku merasa bahwa kau tidak punya waktu untukku. Saat bicara padamu aku merasa bahwa aku baru mengenalmu beberapa bulan. Kita seolah enggan untuk bicara. Bukankah itu tidak adil?” dia menatapku, dia terlihat sangat marah. Aku tetaplah tenang.
“Bahkan kau masih merasa bahwa dirimu benar. Tuduhanmu, apakah itu adil untukku? Tentu saja tidak Lis. Lalu apa yang membuatmu merasa semuanya tidak adil? Harusnya aku yang mengatakan itu. Bukan kau. Kenapa kau tidak bisa menerima semuanya? Yang nampak dimatamu apakah semua itu maya?…” Aku belum selesai mengatakannya, karena dia cepat menentangnya.
“Kenapa kau malah menuduhku? Kau seolah-olah tidak mengerti semuanya. Jelas-jelas kau yang berubah, kenapa jadi aku? Kenapa kau juga begitu egois untuk menerima semuanya?” tanya Lisna. Sekarang yang terjadi hanyalah beberapa pertanyaan.
“Disini siapa yang tidak egois? Aku sudah mengakui kesalahanku, lalu kau? Kau selalu merasa dirimu benar. Apa kau tidak pernah salah? Kalau begitu, katakan padaku bahwa kau tidak pernah menyakiti orang lain.” Sejenak dia diam lalu untuk mengakhiri pembicaraan. Dia menggunakan satu kata. “Kau…” ucapnya, jari telunjuknya tepat menghadap ke arahku sejurus dengan tatapan matanya. Dia pergi tanpa alasan, bahkan masalah kita belum selesai. Aku harus kembali ke Inggris untuk waktu yang lama.
Semuanya berakhir begitu saja, sekarang aku sudah di Inggris. Dia sudah memaafkanku, tapi tidak ada yang membaik. Sikafnya menjadi dingin, bahkan saat aku menyapanya. Dia mengirimku sebuah pesan, saat aku membalasnya aku tidak pernah tau apa tujuannya. Dia membalasnya dengan singkat, seolah-olah aku yang harus bicara banyak. Tapi tidak ku lakukan, karena yang aku tau. Aku tidak suka memulai pembicaraan.
Kali ini aku harus mengalah. Aku yang lebih dulu mengirimnya pesan. Aku tidak suka menyapanya, apalagi untuk sekedar basa-basi. Jadi aku mengirimnya kata-kata yang mungkin dia tidak tau kepada siapa tujuannya.
Dengan Rin, kami masih tetap berhubungan baik. Meskipun aku jarang menghubunginya. Karena aku menunggu dia yang mengirim pesan padaku. Aku tidak pernah melakukan itu. Karena yang aku tau Rin adalah orang yang sibuk. Jadi aku yang menunggunya. Saat dia mengirim sebuah pesan, aku selalu memulainya dengan dialog yang panjang. Meskipun dia meresponnya sedikit, tapi aku tetap membalasnya. Entah kenapa aku bahagia. Jika beberapa hari Rin tidak menghubungiku, maka aku akan berusaha menanyakan sesuatu padanya seolah-olah itu penting. Oleh karena itu Rin akan berusaha membalasnya, jika tidak aku tidak akan pernah mendapat kabar darinya.
Sekarang aku kelas tiga, sebentar lagi aku lulus. Tapi rasaku untuk kalian tidak pernah berubah. Masih tetap murni seperti diawal. Hanya saja, aku tidak mengungkapkannya. Karena yang aku tau, saat aku menjelaskannya yang terjadi hanyalah kesalahan. Pendapatmu, apa yang kau lakukan, bahkan itu sangat menyakitkan. Terlebih saat aku hanyalah dianggap dongeng yang pernah terjadi di masa lalu. Apa semua yang kita lalui tidak ada artinya? kenapa kau berhenti untuk peduli? Aku ingin tau alasannya.
Dihari ulang tahunmu nanti. Aku berencana memberimu sesuatu. Aku ingin kau sejenak mengingat masa lalu. Aku ingin kau merasakan apa yang kurasakan selama itu. Aku memutuskan untuk memberimu sebuah buku. Kau akan tau isi lembarannya. Selama itu, aku harap kau mengingatku dan kita masih sepakat untuk menjadi kawan.
Sekarang aku akan serius. Aku tidak akan mengekangmu lagi, mencoba mengingatkan kalau kita sahabat. Itu tidak akan kulakukan. Aku sudah punya misi. Yang terpenting sekarang bukan apa yang pernah aku lalui, tapi apa yang akan aku lalui. Seperti pesanku pada Syifa.
Tamat
Cerpen Karangan: Nelin Aguslina Facebook : N’lin Agusliina