“Sadar diri coba! Kamu itu menyusahkan kita! Kelompokmu sendiri! Sudah berapa kali kamu telat gini dan kita selalu dikeluarkan! Gara-gara siapa? Kamu!” Suara Bayu serak, jas laboratorium yang ia pakai tergumpal di lengannya, ia mengusap wajahnya. “Maaf, aku gak akan gini lagi. Beneran, Bay.” “Sialan! Kamu juga ngomong gitu kemarin. Buktinya apa? Ga usah banyak alasan mentang-mentang sibuk organisasi. Praktikum ‘tuh diurusin!” “Heh sudah,” Siti menengahi mereka, “namanya kesiangan gaada yang tau ‘kan Bay, lagian ini cuma praktikum. Jangan sampai kalian berantem cuma gara-gara hal kayak gini.”
Reza tau dia salah, ini sudah hampir hari kedua ia kesiangan karena bayang-bayang kegagalan acara Indonesian Chemistry Day Out berskala nasional yang dia pegang beberapa saat lalu membuatnya takut. Acaranya dibatalkan dengan kerugian besar akibat pandemi. Semua sudah berjalan sesuai rencana, tetapi tiba-tiba seperti air bah, segalanya hanyut dalam sekejap. Seluruh persiapan dan kerja kerasnya sirna. Sampai ia merasa raganya sebentar lagi juga bisa tiba-tiba menghilang.
Sekarang sudah enam bulan berlalu semenjak pandemi lenyap dan bumi benar-benar pulih, aktivitas kembali dilakukan dengan hati-hati, dan Reza diamanahi tanggung jawab baru, sebuah acara baru. Bayangan acara yang gagal terus menghantuinya, membuatnya tidak bisa tidur sampai dini hari. Bayang-bayang itu menakutkannya.
“Aku sudah capek.” Bayu berbalik, menyampirkan tas di pundaknya lalu pergi. “Jadi kita gak praktikum lagi hari ini?” Cindi bertanya sambil ragu-ragu melepas jas laboratoriumnya. “Maaf,” sahut Reza, “maaf gara-gara aku kesiangan kita jadi gak bisa praktikum lagi hari ini, aku janji besok akan bangun lebih awal. Maaf semuanya.” ia menunduk. “Gapapa, Za. Santai aja. Besok kita kesini lagi buat minta jadwal praktikum yang baru. Kita setelah ini ada rapat terakhir, ‘kan? Untuk acara Chemist Fun?” Rara mengacungkan jempol ke wajahnya sambil tersenyum, “sekarang aja gimana? Dari pada kita nganggur sekarang?” ia melihat ke teman-temannya dan mereka setuju. Reza tersenyum kecil dan menjawab, “Bisa, Rara. Terimakasih.”
—
“Sirah, silahkan dilaporkan kemajuan kegiatan kita dari rapat pertama sampai rapat terakhir ini.” Reza menoleh ke gadis berkacamata yang menjabat sebagai sekretaris acara.
Sirah membuka catatannya, “saya mulai dari laporan untuk divisi acara ya. Sejauh ini, acara dimulai dari jam 8 sampai jam 12 siang dengan susunan acara seperti tahun kemarin dan konsep acara kita bakal ada sesi sharing, sesi tanya jawab, dan sesi hiburan. Lalu untuk narasumber juga sudah mengundang alumni yang berhasil menerima beasiswa di luar negeri, bang Arman. Untuk tema yaitu ‘Mengembangkan Softskill dan Mempertajam Hardskill sebagai Persiapan Menghadapi Industri Revolusi 4.0 Pasca Pandemi Covid 19’, tema sudah diserahkan ke divisi publikasi dan dokumentasi, dan sudah dikabarkan ke panitia terkait untuk mengadakan geladi bersih sore nanti.” Ia menarik nafas.
Siti, ketua divisi acara, mengangguk setuju atas pernyataannya.
“Kemudian laporan dari divisi publikasi dan dokumentasi, desain poster dan pamflet sudah disebar ke media sosial himpunan semenjak rapat kedua, spanduk sudah selesai cetak dan bisa dipasang nanti sore saat dekorasi ruangan. Lalu kamera, tripod, dan handycam untuk dokumentasi acara sudah siap untuk besok. Kemudian—”
“Izin, masuk,” Vera, ketua divisi publikasi dan dokumentasi, mengangkat tangan. Sirah berhenti sebentar dan memandang ke arahnya, “ada yang kurang, untuk kamera kita sudah siap tiga unit. Selain itu semua barang-barang dekorasi tinggal diangkut dari gudang jadi butuh bantuan dari divisi peralatan. Terima kasih.”
“Baik saya lanjutkan, dari divisi humas dan dana, semua undangan mulai dari undangan untuk alumni, bang Arman dan untuk ketua jurusan sudah tersampaikan sekaligus sudah dikonfirmasi kembali. Dana yang terkumpul juga sudah menutupi pengeluaran dan sisanya kembali dimasukkan ke kas himpunan.” Cindi menyipitkan matanya sebentar kemudian mengangguk setuju.
“Lanjut laporan dari divisi konsumsi—”
Asra sesekali melihat ke arah Reza yang serius mendengarkan laporan dari Sirah. Ia sama sekali terlihat tak terganggu. Seharusnya ia bisa melerai kedua temannya tadi pagi. Mereka berdua sama-sama punya alasan tersendiri untuk marah. Reza dengan kegagalan acara yang terus menghantuinya dan Bayu dengan tuntutan lulus praktikum agar bisa mengambil mata kuliah pilihan semester depan.
“Kemudian laporan dari divisi perlengkapan,“ Sirah melirik Asra sebentar lalu melanjutkan, “sekedar info, Asra disini dari anggota divisi perlengkapan mewakili ketua divisi perlengkapan sementara dalam rapat ini, Bayu, karena tidak bisa hadir. Saya lanjutkan kembali laporannya, untuk jumlah kursi peserta dan kursi pemateri—”
Tapi rasanya ia masih belum ada kapasitas untuk menyadarkan Reza dan Bayu kalau semuanya akan baik-baik saja. Terkadang ia masih dihantui rasa bersalah dan merasa kalau penyebab kegagalan acara Indonesian Chemistry Day Out adalah karena ketidakbecusan dirinya dalam memenuhi tanggung jawab. Mungkin perasaan itu juga yang Reza rasakan.
“Oke, sekian yang bisa saya laporkan dari rapat pertama sampai rapat terakhir ini. Terimakasih.”
Jantung Reza bergemuruh, dahinya berkeringat. Perasaan ini yang menghantuinya dulu. Perasaan sudah lega semuanya telah dijalankan. Lalu tiba-tiba lenyap. Semuanya pupus begitu saja. Rencana-rencananya hilang ditelan bumi.
“Za?” panggil Asra membuyarkan lamunannya. Reza menggelengkan kepalanya, “ah ya, maaf. Kita tutup rapat untuk hari ini. Semoga besok acara kita diberi kemudahan dan kelancaran oleh Tuhan Yang Maha Esa. Amin.”
Ia merasa punggungnya berat sekali. Terkadang kepalanya pusing dan penglihatannya tiba-tiba memudar, sering juga merasa mual ketika ada pembahasan mengenai acaranya ini. Benar-benar mengerikan.
“Kamu habis ini mau kemana, Sra?” Reza berdiri selagi memasukan barang ke tasnya. “Aku mau makan dulu. Oh iya, Za, tentang Bayu tadi pagi, dia mungkin lagi sensi aja, paling besok baik lagi. Gausah terlalu dipikirkan.” “Iya, aku tau. Kalau dia masih nyuruh kamu untuk ikut rapat sebenarnya dia masih peduli, Sra.” “Benar juga,” Asra tertawa, “kalau kamu habis ini kemana, Za? Makan juga?” “Enggak, deh. Aku ke musala aja.” Musala menjadi tujuannya untuk berbaring sejenak sebelum mengikuti mata kuliah beberapa jam lagi dan geladi bersih acara setelahnya. Ia memandang langit-langit bermotif kayu coklat diatasnya kemudian memejamkan mata. Rasanya hanya tidur yang bisa membuatnya lupa tentang rasa takutnya saat ini.
—
“Reza! Kamu mau pulang, ‘kah?” suara cempreng itu membuatnya berbalik badan. Rara melambaikan tangan ke arahnya. Ia berhenti sejenak dan menunggu Rara berjalan beriringan dengannya menuju parkiran motor kampus. “Mau ke bulan.” Jawabnya singkat. Rara tertawa, “capek banget ya ngedekor ruangan sama geladi bersih hari ini. Aku masih deg-degan acara besok bakal gimana.” “Biasa aja.” “Jangan bohong.” Reza diam dan membiarkan gadis itu berbicara, “pasti berat ya jadi ketua terus, Za?” “Enggak.” “Kamu paling sibuk. Bantu setiap divisi. Kesana-sini, antar ini-itu. Hebat banget sih. Aku kalau jadi kamu pasti gak kuat.” kemudian nada suaranya berubah, “walaupun semuanya masih kebayang tentang kegagalan acara kemarin, tapi semangatmu tetap kelihatan untuk pegang acara ini semaksimal mungkin yang kita bisa. Makasih ya udah buat semuanya semangat lagi, Za. Aku tau itu gak gampang. Tapi kita semua percaya sama kamu. Apapun yang terjadi kita jalani sama-sama ya, Za. Kamu hebat!” tiba-tiba wajahnya memerah, “Bukan, bukan kita jalani berdua. Maksudku kita jalani sama seluruh panitia, Za.”
Reza mendongakan kepala dan melihat langit yang mulai gelap. Bulan sudah terlihat di kejauhan. Ia menghembuskan nafas perlahan, “acara kemarin gagal karena aku terlalu percaya diri kalau semuanya bakal berjalan dengan lancar. Dan ternyata? Batal. Aku gagal menyiapkan rencana cadangan untuk mengadakan acara saat pandemi kemarin. Aku selalu kepikiran setiap malam. Gimana kalo acara ini bakal bernasib sama. Gimana kalau tiba-tiba ada hal-hal di luar nalar yang gak bisa kita duga. Dan kamu bilang aku hebat? Aku gak sehebat yang kamu pikirkan, Ra.” Tukas Reza.
Ia merasa perlu menyadarkan Rara bahwa dirinya tidak sehebat itu. Gadis ini selalu percaya padanya sejak pertama kali bekerja sama. Ia tidak ingin Rara kecewa lebih dalam lagi dalam ketidakbecusannya menangani acara. Di luar ekspektasinya, gadis itu malah berhenti di hadapannya sambil berkacak pinggang.
“Aku tau. Tapi aku gak peduli hal-hal gak hebatmu, Za.” Ia mengacungkan jari telunjuknya tepat di wajah Reza, “kalau kamu nganggep dirimu gagal dan ngerasa beban ini terlalu berat, masih ada kita semua, masih ada seluruh panitia yang siap ngebantu kamu apapun yang terjadi. Ini acara kita sama-sama, ingat? Kita semua hebat, Za. Kamu liat Siti? Dia optimis banget buat ngundang alumni. Vera? Dia rela begadang cuma untuk desain ruangan. Cindi rela jualan pagi-pagi untuk pemasukan kas kita, dan seluruh perjuangan panitia yang gak bisa aku sebutin satu-satu. Kamu hebat, Za, dan rekanmu juga hebat. Jadi kalau kita jatuh, kita bakal jatuh sama-sama. Jangan menyalahkan dirimu sendiri atas kesalahan kemarin. Semua pasti pernah gagal, dan kamu wajar sedih atas kegagalan itu. Tapi aku gak mau ngebiarin kamu terus-terusan terjebak di rasa bersalah yang sama. Percaya sama aku, besok kita pasti bisa bangkit lagi. Acara kita yang ini pasti sukses satu miliar persen!”
Reza mematung. Selama ini ia selalu memikirkan dirinya yang terpuruk tanpa peduli bagaimana anggota lain mendorongnya. Mereka sama-sama jatuh, tapi yang lain tidak bergelut terlalu lama dalam bayang-bayang kegagalan. Mereka bangkit, dan Reza terdorong dengan dukungan semuanya.
Rasa mual saat membahas acara Chemist Fun tiba-tiba menguap. Beban yang selama ini menjuntai di dalam dadanya seperti terangkat. Ia menjadi bernafas lebih bebas dari biasanya. Rara benar. Mungkin ia tidak tahu rintangan berat apa yang akan menghalanginya besok. Tetapi apapun yang terjadi, semua panitia sudah bekerja keras. Mereka sudah berjuang semaksimal mungkin.
—
Suasana pagi masih sangat dingin dan berembun tidak menghalangi panitia dari kesekretariatan yang sudah sibuk melakukan tugasnya di meja registrasi. Ia menyapa singkat mereka kemudian memasuki ruangan acara. Reza terkejut sekaligus heran saat melihat Bayu yang sudah tiba sepagi ini sedang mempersiapkan bagian operator sound system. Ia tidak menyangka kalau Bayu akan datang.
“Bay,” ia dengan sedikit canggung menghampiri Bayu, “untuk masalah kemarin—” “Aku yang seharusnya minta maaf, Za. Maaf aku marah karena hal sepele gitu sampai gak ikut rapat kemarin,” Bayu tersenyum kecil, “kekanakan banget,” Ia menggelengkan kepalanya canggung sambil mengulur kabel mik, “kita sama-sama egois. Aku tau. Tapi aku merasa bersalah. Aku juga ikut kepanitiaan acara kita yang kemarin, dan aku paham rasa kecewanya gimana. Aku malah memutuskan untuk gak peduli,” Bayu tertawa miris, “maaf, Bro. Aku mungkin memang gak pantes jadi ketua divisi perlengkapan, tapi aku berusaha sebisa mungkin menuntaskan tanggung jawabku dengan maksimal supaya anggotaku dan panitia lain gak kecewa.”
Reza terdiam. Semua hal yang telah ia lakukan selama ini, semua hal yang telah ia persiapkan sejauh ini, juga dilakukan oleh orang-orang hebat. Yaitu rekan setimnya. Apapun yang akan terjadi hari ini, ia siap menghadapinya.
Kita semua siap menghadapinya.
Cerpen Karangan: Sahira Fara Nabila Blog / Facebook: Sahira Fara Nabila Telah kembali dari hiatus. Cerpen ini hanya fiksi.