Net begitu bergembira hari ini, dan ini tidak bisa disebut wajar. Ia sedang menempuh perjalanan ke sekolah menengah Jackson–sebuah gedung putih di bawah aliran payah sungai Mongolian serta pohon ek raksasa di sampingnya–sembari sesekali menyapa orang lewat dengan sapaan ramah, “Selamat pagi, Tuan!” atau “Bukankah ini hari yang indah, Madam? Bagaimana kabar si kakatua Tutu?” dan sapaan sejenis lainnya. Tangannya yang hari-hari sebelumnya selalu bergerak kesana-kemari memukul-mukuli pagar rumah orang hingga membuat beberapa kaum tua menyumpahinya akan memotong tangannya jika ia melihat Net berjalan di depan rumahnya, kini ia sembunyikan di saku, selagi mulutnya menyiulkan cuitan murai. Temannya, Kevin, yang sedari awal berjalan diam di sampingnya, mendadak menyikutnya dan berkata,
“Kayaknya kau sedang senang, ya?” katanya. “Aku mau tahu hal apa yang membuatmu begini.”
Net menghentikan lompatannya, menoleh pada Kevin, menyeringai lebar. Dirogohnya saku miliknya dan diangkatnya seutas tali, hitam.
“Astaga!” pekik Kevin terperangah. “Benarkah? Nggak, kau pasti bohong. Itu pasti sabuk hitam yang kau curi dari ayahmu. Benar, ‘kan?”
“Terserah kau saja,” kata Net sambil memasukkan lagi tali hitam kebanggaannya ke celana, lalu kembali melompat-lompat. “Yang pasti aku telah bersusah payah mendapatkan sabuk ini. Sekarang aku mendapatkannya. Ditambah, liburan musim panas kali ini kami bakal berkemah di tengah hutan, sebulan penuh! Tenang dan bersatu dengan alam. Bukankah semua itu menyenangkan?”
“Oh, ya, tentu, pasti,” angguk Kevin, mulai mempercayai segala hal tentang sabuk hitam. “Itu memang menyenangkan, Net, sungguh. Dan kau layak mendapatkannya.”
Mereka terus berjalan hingga sampai di gedung putih. Tapi mereka tidak langsung masuk, alih-alih nongkrong di bawah pohon ek raksasa.
“Kalau saja sekolah kita punya klub bela diri, mestinya kau sudah ratusan kali menang kompetisi dan pialamu bertumpuk-tumpuk di lemari,” kata Kevin di tengah obrolan.
“Nggak mungkin,” Net bersangsi, “Kupikir itu nggak akan pernah terjadi di sini. Kayaknya para guru lebih senang melihat murid-muridnya jago berhitung, bereksperimen, menendang bola, drama dan membaca puisi. Lagian, cuma bidang-bidang itu yang bisa membuat mereka mendapat piala setiap tahunnya.”
Kevin mendesah. “Yah, kalau begitu adanya, aku nggak bisa apa-apa. Ayahku sangat pintar bermain bisbol, dan dia nggak pernah sekalipun mengajariku karena, kamu tahu sendiri, sekolah kita punya klub bisbol yang lumayan populer. Sama saja buang waktu kalau aku meminta ayah mengajariku sementara di sekolah aku dijuluki sebagai Tongkat Pemukul Yang Handal.”
Net berkata sambil tertawa, tongkat yang dimaksud barangkali batang kayu kropos.
Kevin merasa tersinggung, dan hendak membalas perkataan temannya ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.
“Maaf, Anak-anak, bisakah kalian membantuku?”
Bel sekolah berdentang. Net berkata lembut dengan nada menyesal kepada pria asing itu bahwa mereka harus masuk sekolah sehingga tidak sempat membantunya. Pria asing itu berkata kalau mobilnya mogok dan perlu seseorang untuk membantunya mendorong. Ia menunjuk keujung jalan ke tempat sebuah mobil tua terparkir. Dari sini, Net mulai mencurigai sesuatu. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat kepulan asap hitam keluar dari knalpot mobil. Ia menatap ke sekeliling, tidak ada seseorangpun di sekitar mereka. Kamera pengawas pun tidak dipasang di daerah itu. Net menggaruk kepalanya dua-tiga kali sambil bergumam, “Kutu-kutu ini bakal mati waktu aku mandi nanti sore.” Melihat dan mendengar kode dari temannya, Kevin seketika menjerit selagi tangannya menuding-nuding ke atas,
“Paus-paus itu akan menggencet perut besarmu, Tuan!”
Sang orang asing segera meloncat-loncat dan berkata panik, “Mana? Mana?” Reflek ia mendangak dan yang ia lihat tidak lebih dari awan-awan putih mengambang di cakrawala bersama sebuah titik hitam yang kalau diteliti lebih cermat akan tampak sebuah pesawat. Tidak ada paus-paus yang akan menggencetnya atau memakannya.
Menyadari ia telah ditipu, sang orang asing marah. Ia tidak akan menunggu waktu lagi untuk menjalankan niat buruknya, namun waktu ia berpaling ke kedua bocah apes itu, mereka tidak ada. Waktu ia mengamati sekitar, dilihatnya Net dan Kevin pontang-panting menyelamatkan diri dari bahaya penculikan anak.
“Ya tuhan!” jerit Kevin di tengah sengalan napas. “Kita akan kemana?” “Terus berlari,” Net menegas. “Jangan hiraukan apapun. Satu-satunya tujuan kita adalah gerbang sekolah.”
Maka mereka terus berlari. Tetapi di tengah upaya melarikan diri itu Net merasakan cengkeraman kuat pada bajunya. Ia tertangkap.
“Oh!” pekik Kevin. “Lepaskan temanku!” “Dia temanmu?” tanya penjahat itu dengan nada menghina. “Kau berteman dengan perempuan? Dasar banci.”
Kevin melangkah maju hendak melawan, tetapi Net menghentikannya.
“Pergilah, Kev, tunggu aku di gerbang. Aku bakal mengatasinya sendiri.”
Ucapan Net ini memicu tawa membahana sang penjahat. Kevin terdiam sebentar. Meski ragu, ia akhirnya pergi dari tempat itu, meninggalkan temannya sendirian bersama seorang pengacau sialan.
Sesuai perintah Net, Kevin menunggu di bawah pohon linden muda dekat dengan jalan menuju gerbang utama. Kira-kira sepuluh menit ia tersiksa akan perasaan khawatir, bahkan sempat terpikir bila Net telah mampus dihabisi pria asing yang jahat itu, sampai ia melihat seorang gadis berjalan santai sambil sesekali melompat. Ia berkeringat, namun menyeringai.
Gadis itu menarik tangan Kevin dan membawanya ke arah gerbang. “Kenapa diam saja? Ayo masuk! Kita amat terlambat sekarang.” “T-tapi, bagaimana dengan pria itu? Kau nggak diapa-apakannya, ‘kan?” gagap Kevin, air mukannya khawatir.
Net tidak menjawab. Ia merogoh saku celanannya, mengeluarkan seutas tali hitam, menyeringai lagi.
“Kau nggak bakal terus berdiri dengan mulut terbuka begitu, ‘kan?” tanya Net kesal saat melihat Kevin hanya terbengong-bengong memandanginnya.
Untuk menyingkat cerita, akhirnya mereka sampai ke kelas (meskipun lewat jalan belakang dan terpaksa merelakan uang makan siang mereka demi mentraktir penjaga sekolah). Pastilah kedua bocah itu tidak dibiarkan langsung duduk begitu saja, ada pertanyaan yang sabar menunggu jawaban mereka.
Net dan Kevin saling lirik, saling mengedipkan mata, dan menjawab serempak,
“Kami membantu orang asing mendorong mobil mogok.”
Bel pulang sekolah berdentang nyaring, seluruh jalan disesaki jiwa-jiwa kelelahan namun bahagia. Net dan Kevin telah menempuh setengah jalan ke rumah masing-masing. Net berkata, “Besok sudah hari pertama libur musim panas. Karena kita akan jarang bertemu, aku bakal sering-sering mengirim surat tentang keadaanku selama berkemah di hutan.”
“Ya. Aku berusaha secepat mungkin mengirim balasan padamu,” kata Kevin, wajahnya tampak murung.
Mereka terdiam sesaat. Tiba-tiba Net berteriak.
“Aha!” serunya. “Gimana kalau kau ikut dengan kami, Kev? Ibu dan ayahmu sibuk bekerja jadi kau terpaksa tinggal berdua saja bersama pelayan, melakukan rutinitas membosankan dan kesepian. Aku yakin itu. Kalau kau ikut kami, kita bisa menjelajah tempat baru dan melakukan hal baru dan yang terpenting, kau tidak akan kesepian lagi. Aku juga bisa mengajarimu bela diri kalau kau mau. Ayah tentu nggak keberatan sama sekali kalau kau bergabung. Gimana, kau ikut, ya?”
Kevin tampak termenung. Lalu ia tersenyum, menoleh ke teman terbaiknya itu.
“Ya. Aku ikut bersamamu.”
Net melombat-lompat kegirangan. Diambilnya sebilah ranting dan ia mulai memukuli satu per satu pagar rumah di jalannya. Hari sudah petang, banyak orang menghabiskan waktu duduk-duduk di beranda rumah. Salah-satunya Pak Tua Ted yang pernah menyumpahi Net minggu lalu, sedang menikmati batang cerutunya. Ia melihat Net berjingkrak-jingkrak sambil menyodok-nyodokkan sebatang kayu di pagarnya, sedangkan Kevin tergelak di belakangnya. Sang istri yang terduduk di sebelahnya bersuara,
“Apa kau tidak berniat menghentikan mereka?” tanyanya, menatap kedua bocah yang masih membuat kegaduhan di depan.
Pak Tua Ted menghisap cerutunya penuh nikmat kemudian menghembuskan seluruh asap memenuhi pandangan. Meskipun ia punya kumis dan jenggot tebal, sang istri yakin, ia melihat suaminya tersenyum. Perkataan suaminya setelah itu tak pelak membuatnya ikut tersenyum:
“Aku tak ingin menghancurkan kebahagian mereka.”
Cerpen Karangan: Louee Anega