Perlahan kutatap kembali bingkai photo kecil itu. Ah, sudah lama sekali kenangan itu membekas dalam hati tanpa bisa hilang dalam ingatan. Sebuah photo sederhana tentang seorang lelaki berpeci susun mengenakan kemeja putih bersarung biru tengah merangkul kawannya yang berpakaian senada dengan sarung hijau wadimor. berlatar masjid kudus yang terlihat antik. Seingatku gambar ini diambil saat tour ziaroh wali songo dulu.
“abah…” suara lembut putriku membuyarkan lamunan panjangku. Dia meletakan segelas kopi panas didekat meja yang biasa kupakai untuk mutholaah kitab. “silakan diminum bah, nanti keburu dingin. sebentar lagi kan bah ngajar di madrasah…” Aku tersenyum mengangguk. “terima kasih nduk…” Kuseruput kopi hitam itu. nikmat sekali. bahkan seketika otakku kembali fresh.
“abah sedang lihat apa?” tanya putriku. Aku menghela napas Panjang lantas tersenyum penuh arti. “Tidak ada nduk, hanya mengingat kisah lama. Kapan-kapan abah pasti cerita.” Kuusap lembut ubun-ubun putri semata wayangku lalu bergegas menuju madrasah. Ada pengajian kitab yang harus aku isi pagi ini.
—
15 tahun yang lalu. “namaku Fadli dari bogor, salam kenal…” Sebuah tangan terjulur padaku saat aku merenung ditepi jendela sambil menatap hamparan hijau pesawahan yang mengelilingi kompleks pesantren minhajut tholibin, majalengka. Kujabat tangannya dengan lembut memperkenalkan diri. “evan dari Cirebon” jawabku singkat
Berhubung fadli adalah orang sunda dia lantas bertanya antusias. “coba kau praktekan logat bicaramu aku ingin mendengarnya langsung” Aku tersenyum tipis. menggeleng. “oh ayolah kawan, sedikit saja tak apa” rengeknya. Ini terdengar agak menyebalkan namun apa boleh buat.
“baik dengarkan lah…” Fadli diam menyimak. “sira manjing kuping belih?” kuucapkan dengan intonasi yang biasa aku pakai sehari-hari di rumah. Mendengar kata yang begitu asing dariku. Ia malah tertawa terbahak-bahak. “kan sudah kubilang… aku tak ingin mengucapkannya. Kamulah yang memaksaku” kataku tersinggung. “bukan begitu kawan, hehe. Maaf aku pikir logatmu hampir sama dengan pamanku yang berasal dari indramayu.” “oh ya? Aku pikir kamu harus lebih belajar lagi ke pamanmu itu biar tahu bahasanya alien” ledekku. Dia tertawa.
Sekelebat angin pesawahan meniup anak rambutku yang bergelombang. Mengantarkanku pada sebuah episode pertamaku di pondok pesantren.
—
Belajar di pondok untuk anak seusiaku begitu menyenangkan. Hingga tak terasa sudah tiga hari di pondok dan aku maupun fadli belum ada yang berangkat ngaji. Hanya sekedar mengelilingi pondok atau sekedar berbelanja ke pasar tak lebih dari itu.
“li kau sudah beli kitab safinah?” tanyaku pada fadli “jangankan beli kitab, buku panduan menulis pegon aja aku belum beli van…” cengirnya Hadeuh. aku menepuk keningku. dasar bocah santui. Salahnya kemarin dia tak mau kuajak beli kitab. “Ya sudah bawa buku tulis dulu ayo ngaji” kata amir Dia mengambil beberapa alat tulis lalu dia baru ingat kalau belum beli hi tech. aku semakin gemas dibuatnya. hingga sebuah suara gebrakan pintu mengagetkan kami. Brak! Hal itu cukup untuk membuat kami melihat ke sumber suara. Aku menelan ludah takala mengetahui orang didepan kami. Kang nashir salah satu keamanan pondok berperawakan tinggi besar sedang melotot kearah kami. “ngaji ayo ngaji! Ngapain kalian masih disini heh!?” Mau tak mau kami buru buru meninggalkan kamar sambil berlari terbirit-birit.
—
Persahabatan itu indah jika kau mampu menjaganya dengan baik. Ia ibarat intan permata yang sangat mahal. Namun jika kau ceroboh maka dengan mudahnya intan itu mudah untuk retak.
Roda waktu terus berjalan hingga tak terasa memasuki tahun ketiga. Setidaknya aku sudah bisa maknain dan baca kitab sendiri begitu pikirku. Aku tak begitu khawatir tidak betah dipondok. Hanya saja saat ujian untuk tidak melanggar aturan pondok itulah justru yang sangat susah untuk kuhindari. Terutama semenjak beni membawa sesuatu yang amat terlarang di pondok. Sebuah benda kotak yang bisa memantulkan sinar yang sudah kalian kenal di masa kini dengan sebutan handphone. Tak terasa pikiranku yang jenuh dan gabut karena aktivitas mengaji yang padat menggodaku untuk mengikuti jejak beni. Pikiranku waktu itu sederhana Cuma ingin bermain facebook tak ada yang lain.
“van apa yang sedang kau lakukan di pojokan?” tanya fadli suatu ketika. “stttt! Jangan berisik” Aku berseru lirih. Dia justru malah melangkah mendekat. “jangan bilang-bilang ya…” “santai aja kali, aku kan temanmu. Eh, ngomong-ngomong kau lagi maen apa nih asik bener kayaknya?” tanya fadli. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Secara refleks tanganku bergerak menyembunyikan benda itu kedalam sarungku. “hayo lagi apa, hayo?” aku mengeluarkan umpatanku saat ternyata yang membuka pintu adalah beni. Dia hanya nyengir seakan tak punya dosa. “tutup lagi pintunya ben!” “oke oke kalem wae bro…”
Fadli menatapku heran. “bukannya bawa hp itu larangan pondok ya?” tanyanya polos. “asal gak ketahuan gak papa toh” “kalau ketahuan gimana?” “kalau itu… “ kalimatku menggantung. Sementara otakku berusaha mencerna kata kata fadli barusan. “ah itu sih urusan belakangan…” kata beni santai “senior kita juga ada yang bawa hp tapi gak pernah ketahuan…” Padli berpikir sejenak. “Ya sudahlah asal kita gak berfikiran yang aneh aneh semua aman” terang beni Senyum fadli mengembang. “ya udah sini pinjem van?” pinta fadli “katanya gak mau..” fadli tak berkomentar. Lantas kusodorkan hpku padanya. Ia minta diajarin caranya bikin facebook. Sejak saat itu kami selalu bermain sepanjang malam saat para santri sedang terlelap.
Hingga pada suatu malam yang tak pernah aku lupakan dalam hidupku. Hpku tersita oleh kang nashir yang merupakan keamanan pondok saat beliau sedang berpatroli Bersama sesama keamanan. Waktu itu aku sedang beli jajan di kantin. Yang memegang hpku adalah fadli. Apesnya, fadli lagi kebelet kencing sehingga ia hanya menaruhnya di lemariku yang kuncinya masih menggantung pada tempatnya.
Melihat sinar yang muncul dari dalam lemari. Kang nashir dan temannya sudah curiga. Dan membuka lemari yang tak dikunci itu. Setelah kejadian itu, kami disidang pada malam itu termasuk juga beni. Lalu dieksekusi pada pagi harinya. Dihukum gundul guyur.
“ini semua salahmu li! Kaulah yang ceroboh menaruh hpku sembarangan. Kalau enggak kita gak akan dihukum kaya gini!“ bentakku. “kau gak sadar bahwa sedari awal kita semua emang salah. melanggar aturan pondok. Kau mestinya tahu setiap kesalahan itu selalu ada konsekuensinya van!” Fadli pergi meninggalkanku sambil menabrak bahuku. Begitu pula beni semenjak itu ia tak pernah mau bicara lagi denganku. Persahabatan kami retak sempuna.
Besoknya fadli sudah boyong ke bogor menggunakan angkutan umum. sementara beni Pindah pondok kedaerah perkotaan. Meninggalkanku dengan trauma berkepanjangan. Aku bukan hanya kehilangan handphone tapi juga kehilangan dua sahabat sekaligus.
Tekadku sudah bulat mulai saat ini untuk menebus kesalahanku aku akan giat belajar dan tak akan pulang sebelum membawa ilmu yang bermanfaat untukku kelak ketika terjun di masyarakat. Siang malam aku selalu belajar dan menghafal pelajaran berulang-ulang. Hal itu berlangsung sampai ahir tahun.
Suatu saat kang nashir memanggilku ke kantor keamanan pondok menjelang liburan tiba. “ini hpmu saya kembalikan. Jangan melanggar lagi ya?” katanya santai namun tegas. “iya pak, saya janji…”
Setelah dari kantor keamanan aku langsung menelpon sebuah nomor. Tuuut! Tuuut! Cklek! “halo Assalamualaikum, ini dengan siapa?” tanya seseorang di sebrang sana. kemungkinan ibunya fadli. “waalaikum salam, bu bisa bicara dengan fadli?” Terdengar isak tangis ibunya fadli. “halo?” “ini temannya fadli? nak evan bukan?” “iya ini saya bu…” “masya allah! Evan… Hiks, fadli sudah meninggal karena kecelakaan 2 bulan yang lalu. Angkutan umum yang dikendarainya tabrakan, kamu belum tahu beritanya toh?” Aku tercekat. Tidak mungkin. aku jatuh terduduk. Membiarkan hpku yang jatuh terbanting hingga baterainya tercerai berai.
—
Masa kini. “begitulah nduk cerita abah di waktu dulu. Kisah itu seakan akan baru abah alami kemarin. Namun terus menerus terngiang dalam memori. Kesalahan yang takan pernah bisa abah tebus sampai kapanpun. Namun abah tak menyerah untuk selalu meminta maaf pada almarhum dengan cara mendoakannya terus menerus…”
Putriku menitikan air matanya. Ia memeluk tubuh tuaku. “abah memang salah namun abah sudah taubat. Vina yakin kalau pak fadli memaafkan abah di alam sana. Jadi abah jangan terus larut dalam kesalahan yang abah perbuat… Hiks”
Aku tidak kuat untuk tidak menangis didepan putriku. Aku balas memeluknya erat. Membiarkan aroma kepedihan menyelimuti hati kami. Allahumma ighfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu wa akrim nuzulahu
Cerpen Karangan: Firzalutfi Facebook: Firman Ats Tsaury nama: firman badruzaman ig: firmanatstsaury