Matahari sudah bergulir ke atas kepala, aku minum kopi bersama Damar di kantin kampus. Dialah sahabat yang selalu menemaniku, apalagi sehabis kuliah seperti ini. Kopi adalah sesuatu yang mampu membuat pikiran rileks. Kami memesan dua gelas, Damar dengan kopi hitamnya dan aku memilih kopi susu.
“Gimana kabar Lo sama Diana?” tanyaku pada Damar yang sibuk memainkan ponselnya. “Nggak ada perubahan, dia itu masih trauma sama masa lalunya.”
Aku berpikir sejenak. “Apa Lo nggak bisa yakinin dia?” “Cinta tuh nggak bisa dipaksa Sya, kalau jodoh alhamdulillah nggak juga nggak masalah.” Ekspresinya berubah sendu.
“Ya sudah deh bahas yang lain aja, bentar lagi kan ada proyek antologi. Lo bisa kan bantu gue?” “Bisa kok, buat sahabat apa sih yang nggak.” “Bisa aja loh.” Kami bercanda hingga waktu menunjukkan pukul 16.00.
“Sudah sore, gue pulang dulu ya!” “Ya pulang aja, gue mau ke ukm dulu.” “Lah Lo nggak pulang?” “Ya nanti malam aja!” “Oke jangan malam-malam, entar Ibu Lo nyariin lagi.” “Bawel.” Aku pun melambaikan tangan ke arahnya, lalu menuju ke ukm untuk membahas sesuatu yang penting.
Damar adalah orang yang paling mengertiku, sering menyemangatiku ketika melaksanakan proyek antologi. Maklum aku adalah seorang CEO di salah satu Devisi UKM kampus, yaitu sastra. Aku sangat mencinta dunia sastra sejak lama, mulai menulis puisi hingga cerpen.
Aku mulai mengenal Damar ketika masuk kuliah, dia bersama dengan teman SMA-ku namanya Ravin. Namun, saat itu dia masih sulit beradaptasi dengan orang lain. Apalagi denganku, dia sangat cuek. Tapi semua mulai berubah, ketika kami masuk ke UKM yang sama. Kami mulai akrab dan bersahabat hingga kini.
“Rasya, lo jangan makan pedas!” Sebuah pesan whatsapp datang dari Damar. “Iya bawel.” Aku membalasnya.
Aku memang memiliki masalah pencernaan, terutama maag di lambung. Bahkan pernah hampir pingsan di kelas. Namun, orangtuaku sibuk bekerja. Jadi kurang memedulikan kesehatanku. Damarlah yang sering mengingatkanku, dia sudah kuanggap seperti saudara kandungku sendiri.
“Rasya sayang, jalan ke mall yuk!” kata Niken pacarku sejak dua bulan lalu. “Iya deh, Lo mau makan dulu nggak?” “Nggak deh Yang, gue udah kenyang.” “Ya sudah, ayo berangkat!” Kami pun menaiki mobil untuk sampai ke sana.
Aku pulang setelah mengantarkan Niken, mungkin sampai di rumah pukul dua belas malam. Aku sudah terlalu mengantuk, segera kubaringkan diri di kasur mewah yang ada di kamarku. Pagi sudah tiba, aku pun segera bersiap ke kampus. Ada mata kuliah yang sangat penting dan harus kuikuti, jika tidak mau mengulang di semester depan. Itu tak sanggup kubayangkan.
Saat tergesa berjalan ke kelas, aku mendengar suara orang merintih kesakitan. “Damar!” Aku berlari, saat mengetahui sahabatku pingsan di depan ruang dosen.
Aku dibantu beberapa mahasiswa lain, berhasil membawa Damar ke unit kesehatan yang berada di gedung A. Dia akhirnya sadar, setelah setengah jam pingsan. Aku pamit pada Damar untuk mengikuti kuliah, mungkin saat ini perkuliahan segera berakhir. Saat istirahat, aku menemui Damar kembali. Tak lupa membawa nasi dan ayam goreng untuknya, dia pasti belum makan sejak tadi.
“Lo kenapa sih? Bisa kayak gini.” Aku melihat dengan jelas, wajah Damar masih pucat. “Gue nggak apa-apa kok.” “Yang bener?” “Iya Sya, eh itu apaan? Pasti buat gue!” “Itu nasi buat Lo, tau aja kalau ada makanan.” “Ya dong siapa dulu, Damar Hadikusuma.” Ia menepuk dadanya dengan bangga, membuatku tertawa. “Ya sudah, makan aja!”
Aku merasa ada yang aneh dengan Damar, apakah dia menyembunyikan sesuatu dariku? Aku tidak boleh berpikir macam-macam, dia sahabatku tak mungkin menyembunyikan apapun. Dia kembali beristirahat, aku menyelimutinya dengan selimut tebal. Aku merasa kasihan dengannya, Damar adalah seorang anak yatim piatu. Ibunya meninggal ketika ia masih kecil, sedangkan ayahnya pergi entah ke mana dan tak kembali.
—
Aku sedang pusing mengerjakan tugas mata kuliah sastra, hingga sebuah pemandangan mengalihkan perhatianku. Aku melihat Damar berboncengan dengan seorang gadis, tapi aku seperti mengenalnya. Itu kan Niken kekasihku, beraninya Damar menikungku dari belakang. Amarah memenuhi pikiranku, perasaanku begitu hancur melihatnya. Apalagi gosip semakin menambah keruh suasana. “Mereka kan sering jalan berdua di belakang Rasya.”
“Apa-apaan kalian? Jadi seperti ini jika aku tidak ada!” Aku memukul wajah Damar hingga babak belur. “Hentikan Sya! Gue tadi cuma mau mengantar Niken pulang.” “Gue nggak butuh penjelasan lo! Ayo Niken kita pulang!” Aku menarik tangan pacarku itu, kami menuju parkiran dan segera pulang.
Aku pulang dengan lesu, seseorang yang sudah kuanggap saudara. Tega mengkhianatiku, mengambil kekasihku dengan paksa. Saat sampai di halaman rumah, aku kembali dibuat kesal melihat motor Damar. Apa yang dia lakukan di rumahku? Mamah menyambutku dengan tersenyum, lalu menyuruhku untuk makan bersama dengan Damar. Emosiku semakin bertambah, lalu aku menemuinya.
“Mau apa Lo kesini hah?” “Gue cuma mau minta maaf Sya, maafin gue!” “Gue nggak butuh permohonan maaf dari Lo, pergi Lo sekarang!” Damar menahan pergelangan tanganku. “Kasih gue kesempatan lagi Sya!” “Lo tuh ya, gue bilang pergi!” Aku mendorong tubuhnya, beruntung dia bisa menyeimbangkan tubuh jadi tidak terjatuh.
“Ada apa sya? Kok Damar diusir?” tanya mamah penasaran dengan apa yang terjadi. “Dia tuh pengkhianat mah, nggak usah dibelain!” Aku tak peduli perasaan Damar. “Kamu nggak boleh gitu, Damar kan teman kamu!” “Mamah nggak usah belain dia! Dia tuh lebih baik nyusul ibunya, daripada ganggu hidupku.” Aku yang kesal menyiramkan jus ke wajah Damar, dia pun berlari pergi. “Saya pamit Tante!” Damar menuju motornya, lalu pulang.
Aku terdiam beberapa saat, apakah aku sudah keterlaluan pada Damar? Sekarang aku sangat menyesal. Hingga sebuah telepon mengejutkanku, datang dari Dani teman sekelasku. Ia mengatakan bahwa Damar mengalami kecelakaan, saat ini tengah dirawat di rumah sakit. Aku yang panik segera menjenguknya, perasaanku tidak enak sekarang. Semoga tidak terjadi apa-apa pada Damar, tak terasa air mataku menetes.
“Dok, bagaimana kondisinya?” tanyaku penasaran. “Sebenarnya luka di tubuh pasien tidak seberapa, tapi kankernya sudah mencapai stadium akhir, kecil kemungkinan dia untuk selamat.”
Perkataan dokter membuat tubuhku lemas, aku tak menyangka keadaan Damar separah itu. Saat ini ia masih koma, sebentar lagi menjalani operasi pembedahan untuk menghentikan kanker itu. Tapi, tuhan sangat menyayangi Damar. Nyawanya tidak mampu tertolong, kanker itu sudah berhasil membunuhnya. Hatiku hancur sekarang, aku kehilangan sahabat yang paling kusayangi. Apalagi belum meminta maaf padanya.
“Damar bangun! Jangan tidur terus, nih Gue bawain makanan buat lo!” Aku mengguncang tubuhnya, tapi ia masih belum mampu bangun. “Sabar Sya, kamu harus ikhlas! Damar sudah tenang sekarang.” Mamah mencoba menenangkanku.
Aku kembali menangis saat melihat pemakamannya, Secepat itukah tuhan memanggilmu Damar? Aku mencoba menahan tangis, saat ini Rasya Adinugraha telah kehilangan sahabatnya. Di saat terakhir Damar, aku tak bisa menjadi sahabat baiknya. Aku malah mengusirnya dengan kasar, bahkan memukulinya saat itu. Aku benar-benar menyesal sekarang, mengapa tidak bisa mengontrol emosi dan egoku? Kini semuanya telah terlambat, aku harus mengikhlaskannya. Semoga Damar dapat tenang di alam sana.
Cerpen Karangan: Agus Sanjaya Blog / Facebook: Agus Sanjaya Agus Sanjaya lahir di Jombang, 27 Agustus 2000. Buku pertamanya berjudul Akar Kuning Nenek, keduanya berjudul Lima Sekawan terbit di Guepedia tahun 2020. Untuk buku ketiga adalah antologi puisi Sebelum Air Itu Berubah Wangi (Kertasentuh, 2022). Karyanya banyak dimuat di media online, beberapa antologi bersama, serta yang terbaru puisinya dimuat di Radar Kediri.