Sayup-sayup suara nyanyian merdu burung membuka awal pagi yang cerah. Kepakan-kepakan sayap kecil berbulu itu mulai nyaring terdengar. Cuitan-cuitan anak burung di sangkar saling bersautan memanggil induknya lapar. Matahari muncul perlahan dengan malu-malu dari balik awan. Semburat warna jingga mulai nampak memenuhi garis cakrawala diufuk timur, menyisakan bau tanah bekas hujan semalam. Membuatku enggan turun dari dipan kesayangan. Sinar mentari mulai merambat masuk melalui jendala, perlahan menerangi setiap lekuk sudut kamarku. Aku mencoba membuka mata sembab bekas tangis semalam dan berharap bisa melewati pagi ini dengan senyuman. Tetapi sayang aku yang terdiam kembali kalut dalam ingatan dan membuat ibuku turun tangan dengan masuk menerobos pintu kamarku geram.
“Bagaimana bisa kamu tidak bangun sedari tadi?” tanya dirinya sembari memunguti tisu yang berceceran di lantai. Dia mendesah pelan, menghampiriku dan mengelus lembut kepalaku sambil berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi aku yang baru saja putus cinta tentu saja tak mendengarkannya. Perasaan ini aku tak tahu cara mendeskripsikannya, rasanya begitu sakit tapi juga bahagia disaat yang sama. Aku memegang erat dadaku sementara ibuku pergi setelah lelah untuk menenangkan diriku. Kutapakkan kaki di lantai dingin dan berjalan ke arah jendela di sudut kamar, membuatku kembali terbayang kenangan indah tak terlupakan.
Pagi hari di Lorong kelas XII. “Dimas!” teriakku terkejut yang tanpa sadar sebuah tangan melingkar dibahu. “…Tumben sih kamu terlambat?” tanya Dimas sambil mencubit gemas pipiku dan tertawa. Tanpa ada jawaban, aku hanya memutar bola mataku pelan dan melepas rangkulannya dari bahu tanda tak senang. “Wah, lagi PMS ya?” celetuk Dimas cengengesan. Tak berselang lama bel sekolah berbunyi, membuat para siswa dengan sigap memasuki ruang kelas, duduk dengan tenang sembari menunggu pelajaran dimulai.
“Hah… kehidupan pelajar benar-benar melelahkan.” Gerutu Dimas dengan meregangkan punggungnya. “Harusnya aku yang bilang begitu, kamu kan tidak perlu peduli tentang nilai karena kamu pintar–” ucapku cemberut yang dibalas sentilan lembut di bibirku olehnya. Tanpa basa-basi Dimas menarik tanganku erat untuk segera pulang setelah kelas full day berlangsung seharian.
Di perjalanan pulang, kami melewati taman bermain yang biasa kami datangi ketika masih kecil dan hal itu membuat kami bernostalgia. Dimas yang sedari tadi enggan melepas tanganku mencoba menariknya pergi ke taman bermain.
“Aku ingin pulang.” Pintaku malas “Wah, Mel lihat itu–” aku yang dengan malas mencoba melihat apa yang sedang dibicarakan Dimas, mencoba menoleh dan merasakan tubuhku seakan memanas dengan mata terbelalak. Bisa kurasakan mungkin sekarang pipi ini mulai memerah. Genggaman erat Dimas yang sedari tadi tidak aku lepaskan, mulai terasa aneh. “A, apa sih yang kamu lihat! Cepat tutup matamu…” Aku yang salah tingkah mencoba menutupi pandangan temanku itu dengan kedua tangan dan menarik-narik tangannya untuk segera pulang ke rumah. Di jalan kompleks perumahan Dimas tanpa henti berbicara tentang apa yang baru saja kami lihat. Kali ini dia berdeham seakan ada yang menyangkut di tenggorokannya, mencoba mengajakku berbicara.
“… Bagaimana cara mereka melakukan itu ya? Lihat saja mereka melakukannya di taman begitu. Yah, benar sih tidak banyak orang yang datang ke taman di sore hari, tapi kan itu tempat umum–” Aku yang merasa malu mulai berjalan mendahului Dimas. Sementara itu aku merasakan jantungku berdegub kencang dan tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku, menghembuskan napas berat.
“Amel?” Dimas mencoba memanggilku yang sedari tadi pergi mendahuluinya tanpa menoleh meskipun berkali-kali ia panggil. Tanpa berkata apapun Dimas menyusul dan berdiri di depanku. Aku yang mencoba berjalan merasakan kedua tangan Dimas memegang pundakku. Sembari tertawa, Dimas mencondongkan wajahnya mendekati wajahku kemudian kedua mata kami saling bertatapan. Saat itu bukan aku saja yang merasakan panas menjalar di tubuh, tapi Dimas juga. Tak ingin kehilangan konsentrasinya, Dimas mengalihkan pandangan sembari berkata dengan candaan khasnya.
“Hmm… sepertinya Ibu guru lupa bagaimana cara mengajari hal yang seperti tadi. Ah, iya kita sudah pernah belajar tentang reproduksi juga lalu bagaimana bisa lupa pelajaran yang seperti tadi ya? Bagaimana kalau kita–” “A, apa yang kau bicarakan! Dasar otak mesum.” Aku mendengus kesal dan berlalu pergi.
Kini langkahku terhenti dan tanpa aba-aba aku mendekati Dimas yang sedang bersiul ceria memainkan kunci lokernya, menarik dasi abu-abu itu hingga mendekat ke wajahku.
“Apa?” tanya Dimas membelalakan matanya. “Ha! Kau ini ya benar-benar.” Dengan jarak sedekat itu kami bisa merasakan hembusan napas masing-masing, mata kami kembali beradu membuat jantung pun berdetak cepat, kemudian secepat kilat aku membuang muka, melepas cengkramannya dan menendang kaki Dimas hingga membuatnya meringis kesakitan.
Tik Tok Tik Tok Suara detik jam terdengar jelas memecah lamunanku sejenak. Sekarang sang surya mulai menyingsing membuat cahaya terang benar-benar merambat masuk ke dalam kamarku seutuhnya, sementara itu mataku terus menyisiri setiap jalanan kompleks yang biasa kulewati selama 25 tahun aku hidup. Hanya saja sejak setelah umur 17 tahun aku mulai berjalan seorang diri melewati jalanan panjang dengan pohon bunga tabebuya sepanjang jalannya. Tidak ada lagi orang yang kuanggap mesum berjalan di sampingku, tak ada lagi Dad Jokes yang biasa kudengar, dan tak lagi rangkulan bahu serta tawa khas itu lagi. Kini aku benar-benar seorang diri bahkan sejak terakhir kali Dimas meneleponku.
“Mel, kamu sibuk?” Itu adalah kalimat pembuka setelah lama kita tidak saling bertukar sapa. Awalnya aku begitu senang, tapi setelahnya aku diam membatu. Bisa kurasakan mataku nanar mencoba menahan tangis dengan suara parau yang keluar. Aku menghembuskan napas pelan dan berat, tapi Dimas terus saja membombardir diriku dengan sejuta kejutan.
“Memangnya ada yang mau sama kamu? Hah.” Ejekku pada Dimas yang disambut dengan tawa khasnya yang sudah lama tidak kudengar. Aku menelan ludah yang sedari tadi tercekat di tenggorokanku dengan kasar. Aku mencoba tertawa sama seperti dirinya, membuat seluruh ruangan menggema dengan tawa kami berdua. Lalu kulanjutkan dengan nada berat “Memangnya siapa?” tanyaku padanya menolak untuk percaya. “Dia temanku, ah kamu tidak akan tahu.” Imbuhnya ceria “…Kalau ditolak bagaimana?” tanyaku lagi “Ah, kan ada kamu. Entar aku sama kamu aja.” Jawabnya terkekeh pelan. Aku yang terkesiap tanpa sengaja menumpahkan gelas disampingku. Kini meja belajar itu begitu basah, laporan pekerjaanku juga.
“Lagi-lagi aku salah menilai tingkah lakumu. Apa kamu melakukan itu karena kamu tahu aku mencintaimu atau kamu hanya bermain-main denganku? Aku tidak tahu apakah kamu mengetahui perasaanku, tapi perhatianmu membuatku berpikir kamu juga menyukaiku. Aku tidak ingin kehilanganmu sebagai sahabatku, tapi aku juga tidak ingin kamu menjadi milik orang lain.” Begitulah pikirku.
Setelah hari itu tak ada kabar darinya lagi, aku mulai berpikir bahwa dia gagal dengan pertunangannya, tapi faktanya Dimas datang dengan hadiah “Undangan” atas perasaanku. Sekarang aku menemukan jawaban atas pertanyaanku. Rasanya hatiku seperti tersayat sembilu, tapi aku tahu saat dia datang sendiri dengan kakinya mengharapkan kehadiranku di pesta indahnya adalah kesungguhan dari dirinya. Lalu bagaimana bisa kuacuhkan dirinya dengan dalih dia tidak memahami perasaanku. Kini tangisku adalah tangis bahagia untuknya, maka dari itu kuucapkan…
“Selamat atas pernikahanmu dan maaf atas keegoisanku karena ingin memilikimu. Biarlah sakit ini jadi bebanku dan bukan dirimu, semoga kita masih bisa berteman baik seperti dulu.” Begitulah kalimat terakhir dariku sebagai akhir dari kisah cinta tak bertuan dan rasa terimakasihku padanya karena pernah hadir dalam hidupku.
Cerpen Karangan: Anggie Yunita Putrie Blog / Facebook: anggie yunita putrie