Malam sudah sangat larut, semilir angin di luar sana pun telah memainkan senandung tidur, agar mata mata yang lelah seharian terlelap di peristirahatannya. Hingga kota ini sunyi seperti kota tanpa penghuni. Tapi kenapa tidak denganku? Dua kelereng hitam ini masih saja bergelinding kesana kemari padahal sedikitpun aku tak menjentiknya. Telah aku coba memejamkannya tapi tetap tak bisa, kelopak mataku seolah ada benda kecil yang menahan agar dia tetap kembali terbuka. Kegelisahan inilah yang mengatur otakku, untuk tidak mengirim pesan istirahat ke mataku. Kegelisahan ini juga menghentakkan hati ku menjadi sebuah pemikiran hinggaku dihinggapi insomnia akut malam ini. Duduk, berdiri telah ku lakukan sekian kali tapi tetap tak menenangkanku. Mataku mencari apa saja yang dapat membawaku ke alam bawah sadarku. Hingga akhirnya mata ku berhenti tepat pada sebuah tulisan di atas tempat tidur. Bermimpilah! Maka Allah akan memeluk mimpi-mimpimu. Bukankah Dia mengisyaratkan dalam firman-Nya: “berdo’alah, maka Aku akan mengabulkannya”
Ku pandangi lagi, ku baca satu persatu kata. Tepat di bawah kata tersebut tertata rapi tulisan tentang mimpi mimpiku yang ditulis berurutan nomor. Ada coretan merah pada beberapa nomor, itu pertanda bahwa mimpi itu telah terjadi, terus ku baca dan tepat di nomor 33 air mata ku berlinang. Bukan karena angka itu ganjil atau angka itu aneh tapi karena di sana tertulis sebuah mimpi besarku. Rasanya mimpi itu tidak akan terwujud. Dan semua sekarang sudah ku genggam. Kertas mimpi yang ku tulis beberapa tahun yang lalu itu telah kusam memamerkan dirinya terpajang di dinding kamarku hingga ku kembali lagi hari ini ke kamar ini.
33. Melanjutkan Kuliah Di Universitas Negeri di Solo dengan beasiswa.
“Kenapa harus di Solo Yan?” Tanya Uni Fenti yang tiba tiba bangun dan mengagetkan ku. “Uni kan tahu sejak kecil Yanti suka sekali mendengar kota Solo, kotanya indah, asri, ramai tapi ramah indak seperti kota gadang lainnyo” Kuceritakan semua kekagumanku akan kota itu. “Itu kan yang kau dengar sajo Yan, sedangkan kau dulunyo indak pernah ke sana” Uni Venti seolah menyindirku. “Benar Uni, tapi Yanti suko bana samo kota itu. Indah, bagus dan asri. Dan buktinyo memang benar seperti itu uni” Jelasku lagi “Tapi apa kau tidak tahu adat desa kito Yan? Anak gadisnyo indak boleh menuntut ilmu terlalu jauh dari desanyo. Karena bagi mereka itu masih tabu. Makonyo uni kuliah hanyo di sekitar Sumbar sajo. Sedangkan begini sudah salah juo bagi orang orang itu. Perempuan tugasnya hanya di dapur sajo kato mereka. Lihatlah, Upik, Dewi, Puti, Nilam dan Hani teman SD kau dahulu. Sekarang mereka telah sibuk mengurus anak dan suaminya. Tamat SMP pun indak mereka itu.” Uni Venti mulai bercerita padaku. “Akh tapi Yanti ingin melanjutkan kuliah, perempuan itu harus mendapat ilmu dan pendidikan yang samo dengan laki laki agar hidup perempuan itu indak di injak injak kaum laki laki ni.” Kata ku bak kata seorang ibu kartini, emansipasi. Ya benar, emansipasi dibutuhkan di desa ku ini. Karena di desa ku perempuan dilarang mendapat pendidikan yang tinggi. Melanggar adat namanya jika membiarkan anak gadis di desa itu pergi ke luar kota apalagi keluar provinsi. Hanya kakak dan aku saja anak gadis di sini yang melanjutkan ke bangku Universitas, kakak sudah semester akhir mengambil magister di salah satu Universitas Negeri di sini. Dan aku semester akhir juga di Universitas kebanggaanku. “Tapi, Yan?” Kata Uni Venti lagi. “Sudahlah uni, biar sajo lah kata mereka. Yang penting aku bisa mendapat ilmu, agar bisa seperti perempuan perempuan di kota kota lain Uni. Alasan mereka melarang anak gadisnyo keluar kota agar terhindar dari pergaulan yang menyesatkan seperti saat sekarang ini. Itu memang baik Uni, tapi jika hal tersebut ikut mematikan ilmu di kalangan perempuan tentu salah. Agama kito sajo menyuruh untuk menuntut ilmu, bahkan Hadist Nabi saja Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri Cina. Jadi indak ado salahnyo kan?” Jelasku lugas, membuat Uni Venti terdiam. “Iyo. Lanjutkanlah mimpi kamu Yan. Sudahlah ayo kito tidur. Sudah malam, besok kau harus kemas kemas barang dan uni juga kuliah. Yang penting sekarang kito belajar sajo yang rajin dan kau hati hati di rantau orang” Kata Uni Venti sebelum ia beranjak untuk tidur. “Ini semua karena seseorang yang telah membangun motivasi yang kuat dalam diri ku, ni” Gumamku pelan. Memoriku kembali berputar beberapa tahun yang lalu
—
“Kamu nak lanjut kuliah kamano Van?” Ujarku saat melihat Yovan sibuk mengerjakan soal UN tahun sebelumnya di rumahku sore itu. “Aku mau lanjut ke ITB, Yan seperti bapak Habibie. Nanti setelah itu aku mau kerja dan lanjut kuliah di luar negeri.” Ucap Yovan optimis tanpa memandangku. Kemudian ia sibuk lagi dengan soal di tangannya. “Apa kau indak takut misalnya kalau di larang abak samo amak kau? Kan di keluarga kau lah anak laki laki bungsu. Yang nantinya akan mengurus ladang dan ternak orangtua kau?” Tanya ku semakin ingin tahu. “Ndak Yan, bukankah guru kito bilang pendidikan itu untuk semua golongan dan seperti Hadist Nabi Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri Cina?. Nah jadi untuk apo aku takut. Lagian aku ni anak laki laki minang. Urang bujang minang indak boleh duduk duduk sajo di rumah. Tapi hendaknya merantau ke negeri orang, agar bisa mambangkik batang tarandam, manghapus arang di kaniang.” Lagi lagi ucapan Yovan penuh optimis, itu terlihat dari otot wajah dan tangannya menegang bak memberi semangat, sosok mata yang tajam dan ada sedikit guratan senyum halus di wajahnya juga membuktikan ia siap. Kemudian ia hanyut lagi dalam soal soal itu. “Ternyata mimpimu lebih indah dari aku Van” Ucapku pelan agar kekagumanku padanya tak terlihat.
Sejak hari itu aku suka dengan kata kata motivasi yang di ucapkannya, entahlah dia dapat darimana semua kata kata itu. Albert Enstein, Bejamin Franklin, Barac, Mario Teguh, Andrie Wongso, alm Uje, orang besar lainnya yang aku lupa namanya dan tak ketinggalan kata kata Bapak Penjaga Sekolah kami di jadikannya sebagai kereta pendorong saat ia kesusahan mendaki lembah lembah yang sulit.
“Tulislah mimpimu nak, maka allah akan memeluk mimpimu. Bukankah Allah telah berfirman “berdo’alah, maka Aku akan mengabulkannya” Jangan sampai kau menyesal nantinyo” Begitu lah gayanya siang itu sepulang sekolah saat menirukan kata kata Pak Jon, penjaga sekolah kami. “Kau lucu Van, sungguh pandai kau menirukan Pak Jon tapi sayang kau terlalu jangkung untuk di samakan samo Pak Jon” Ledekku sambil tertawa cekikikan membayangkan wajah pak Jon di adaptasi Yovan. Sungguh menggelikan, Yovan yang jangkung, berhidung mancung, berpotongan rambut cepak dan berkulit lumayan putih untuk ukuran laki laki pada umumnya diadaptasikan dengan Pak Jon yang bertubuh bantet, hitam manis dan berambut gondrong. Hm.. kolaborasi yang aneh. Aku tertawa lepas memikirkannya. “Hush.. kau ini anak gadis Yan, indak boleh galak begitu. Indak baik pandangan orang” Ujarnya memandangku tajam. Dan membuat tawaku jadi tertahan. “Maaf, habisnyo lucu sajo kalau membayangkan kau jadi Pak Jon” Jawabku sambil tersenyum simpul. “Kau ini ado ado sajo, Yanti. Kau tahu ndak? Aku sangat terkesima sekali mendengarkan nasehat Pak Jon tadi.” Katanya mulai dengan semangat yang seolah melebihi panas matahari saat ini. “Tentang mimpi mimpi itu? Akh percaya sajo kau,. Hanya dengan menulis mimpi mimpi itu menurut kau bisa terwujud?” Sanggahku karena mustahil bagiku menulis impian dan nanti akan terwujud. “Jika kita menulis mimpi mimpi kita dan menempelkannya pada tempat yang mudah terlihat tentu akan menjadi penyemangat kita untuk meraihnya. Karena Allah saja menyuruh kita untuk melakukan yang terbaik dan jangan jadi remaja islam yang pemalas. Orang sukses punya semangat seganas gelombang lautan dan tekad sekeras baja. Sebelum sukses tidak akan mundur! ~ Andrie Wongso” Jawaban Yovan membawa semangat baru untukku. Aku masih saja tertegun menyaksikan sendiri semangat yang membakar dirinya. “Ayo kita tulis impian kita!” Teriaknya optimis dan mulai berjalan ke atas bukit di samping rumahku. Ku ikuti saja langkahnya. “Hal gila apalagi yang akan dilakukannya” Gumamku dalam hati. “Yan.. ayo cepat” Ujarnya saat langkahku mulai kendor mendaki bukit yang cukup tinggi “Iya,” Jawabku dengan tarikan nafas cepat. “Ini pena, ini kertas.. Ayo ambil, Tulislah impianmu” Kata Yovan sesaat sampai di puncak bukit itu. “Akh kau punyo berapa nyawa? Atau kau mau membunuhku.. Aku ingin berhenti sejenak. sekali aku. Capek sekali aku. Belum sempat aku istirahat sudah kau suguhkan dengan imajinasimu” Ku buang pena dan kertas yang di beri. Ini benar benar menjengkelkan. Belum lepas penatku, belum beraturan nafasku. Sudah di suruhnya ikut ide gila itu. Untuk mengikutinya naik ke bukit ini sudah lebih bagus, daripada membiarkan dia naik sendiri. Tapi sekarang malah dia menyuruhku untuk menulis hal yang mustahil itu. “Maaf Yan. Aku bukan bermaksud begitu, tidak kau lihat matahari sudah mulai redup, mendung sudah terlihat. Takutnya kita kehujanan di sini. Apa kata orang nanti.” Yovan mencoba menenangkanku. “Ya sudah, kau istirahatlah dulu. Aku sajo yang menulis dahulu” Ucapnya memungut kertas dan pena yang ku buang itu. Tangannya mulai asyik mencoret kertas itu, memadupadakan huruf demi huruf yang dirangkainya menjadi kata bahkan kalimat. “Desa kita indah ya Van kalau dilihat dari sini. Baru kali ini aku kesini” Ucapku padanya yang tengah berkutat pada mimpi mimpinya. “Iyo, aku kalau lagi bosan menghabiskan waktu di sini” Jawabnya terus menulis tanpa menatapku.
“Sudah selesai” Ucapnya 5 menit kemudian. Ku pandangi kertas putih tadi sudah penuh dengan coretan gilanya, entahlah itu apa. Diberikannya padaku. Mulai ku baca satu per satu, banyak mimpi yang ku temukan di sana. Ada mimpi yang mencolok dari tulisan itu. Kuliah di ITB jurusan pertambangan, mimpi dan tinggi mimpi itu menurutku. “Yakinkah kau akan mimpi kau ini?” Tanyaku ragu akan hal ini. “Ya aku yakin Yan.. Sekarang ayo kau tulislah mimpi kau di kertas ini” Kata Yovan meyakinkan aku dengan memberikan kertas kosong padaku.
Dengan ragu ragu ku ambil kertas itu, mulai ku tulis beberapa mimpi yang aku anggap itu hanya lah bagian dari imajinasi. Universitas Negeri Surakarta itu impian terbesarku. “Cukup” Teriakku setelah kata terakhir dari lukisan mimpiku. Lalu ku perlihatkan pada sosok laki laki remaja tanggung yang duduk di depanku. “Mimpi mu.. bagus.. Kuliah di Universitas Surakarta.. Wahh aku mendukung kau Yan, tetaplah jadi seorang pemimpi dan raih mimpi kau.” Kata Yovan dengan wajah berbinar binar membaca mimpiku kala itu. Tapi itu rekaman memoriku setahun yang lalu, kini aku sudah meraih mimpiku itu. Sudah 6 semester aku mengecap manisnya kuliah di Rantau orang. Dan tentang Yovan, aku mendengar dia telah meraih mimpinya, kuliah di ITB dengan semester ini menjadi pemegang IP terbaik di Jurusannya. Selama itu aku tak pernah berkomunikasi dengan dia, jangankan tahu nomor Handphonenya, tahu kabarnya saja aku kutip kutip dari orang yangs tahu tentang dia. Aku rasa kehilangan jika tanpa dia, tapi aku gengsi untuk mengakuinya. Malam ini ku lewatkan dalam bayangan dirinya. Berharap esok hari aku dapat memandangnya.
“Yan.. kesini lah kau sebentar ada Etek Lin, nak ketemu dengan kau.” Teriak ibu mengejutkanku. Ku tinggalkan pakaian yang sedang aku kemas. Mendengar nama Tek Lin jantungku berdegup kencang, apakah gerangan ibu Yovan ini datang ke rumahku. “Hey sudah besar kau ruponyo Yan, tambah cantik pulo. Kata Ibu kau nak balik ke Solo hari ko Yan?” Kata Tek Lin sambil menyentuh hangat kepalaku. “Iyo rencananyo Tek, gimana kabar etek dan keluarga? Sehat sehat sajo kan?” Tanyaku pada Tek Lin. Padahal maksud ku ingin mendengar kabar tentang Yovan. “Alhamdulillah etek dan keluarga sehat. Senang sekali rasanya melihat kau sudah berjilbab sekarang Yan.” Kata Tek Lin tanpa berhenti memandangku. “Alhamdulillah Tek, nyaman sajo rasonyo dengan memakai jilbab ini Tek” Jawab ku. Ingin sekali rasanya bertanya kabar Yovan tapi lidahku terasa kelu. “Oh iya Sar, maksud ambo kemari ingin mengasih kau bingkisan ini. Ini dari Yovan” Sahut tek Lin tiba tiba sambil menyerahkan bingkisan yang di bungkus plastik merah. “Terimakasih yo Ni Lin dan sampaikan juga terimakasih ambo samo Yovan yo uni. Kapan Yovan pulang dari Bandung Ni?” Tanya Ibu mewakili perasaanku. “Kemarin Sar, minggu depan dia akan balik ke Bandung lagi. Kalau si Yovan tahu Yanti juga pulang pasti ia bakal main kesini. Katanya dia takana samo Yanti.” Jelas Tek Lin. “Takana? Yovan ingat sama aku?” Denyut jantungku tak beraturan, benar benar tak menentu. Mukaku terasa panas, rasanya darahku tak mengalir dengan baik setelah mendengar kabar itu. Sadar akan sikapku yang berubah, takut akan salah tingkah di depan Ibu dan Tek Lin mulai ku coba untuk kendalikan. “Iyo Tek, Yanti sudah lamo sekali ndak jumpa dengan Yovan. Lah takana pulo rasonyo, nak main main samo Yovan tek. Tapi nanti sore jam 4 Yanti lah berangkat ke Solo tek. Tolong sampaikan salam Yanti samo Yovan yo Tek.” Jawabku menutupi kerinduanku yang sangat besar itu. “Ya sudah, nanti etek sampaikan samo Yovan. Etek nak balik pulang dulu, hati hati lah Yanti di rantau orang, pandai pandai lah Yanti menjaga diri. Jangan lupo shalat ya nak” Tek Lin menasehati ku. “Nah dengar tu kato Tek Lin Yan.” Ujar ibu menambahkan. “Iya tek, insyaallah Yanti pegang amanat Etek dan Ibu.” Tekadku dengan air mata berlinang karena begitu diperhatikan oleh orang orang terdekatku. “Sar ambo pulang dulu yo, Yanti etek pulang yo” Tek Lin berpamitan padaku dan ibu. Terpaku ku menatap langkah gontai perempuan paruh baya itu. Melihat sudut senyumnya mengingatkan ku pada seorang pemuda yang diam diam telah lama mengisi kekosongan hatiku. “Nak, sudah jam 11 ayo kau berkemas kemaslah. Nanti jam 12 kita akan berangkat menuju bandara. Takutnya kalau kita tidak bergegas bisa bisa kita terjebak macet panjang karena ada perbaikan jalan, arah Solok ke Padang.” Kata Ibu mengusik lamunanaku. “Iya Ibu” Jawabku lalu bergegas membereskan pakaian serta barang barang yang hendak aku bawa. Tapi pikiran ku melayang pada sosok mata elang itu. Menerka nerka wajahnya apakah masih sama seperti dulu atau adakah perubahan perubahan kecil yang aku tak tahu.
Bandara, “Nak hati hati yo kau di rantau orang, jaga diri baik baik. Kalau sudah sampai jangan lupa kabari Ibu. Ibu dan Ayah selalu doaakan kau nak.” Kata ibu tersedu sedu memelukku. Terasa suasana saat itu haru biru. “Iya Bu. Insyaallah Yanti tidak akan sia siakan nasehat ibu dan ayah.” Jawabku dengan tekad aku kuliah di rantau orang untuk membahagiakan ayah, ibu dan Uni Fenti suatu hari nanti. Teng.. Terdengar panggilan suara bahwa pesawat yang hendak aku tumpangi akan segera berangkat. “Ayah, Ibu, Uni.. Yanti berangkat dulu yo” Ujarku sambil memeluk dan menyalami orang orang tersayang dan terpenting yang ku miliki dalam hidupku. “Iya hati hati lah nak” Ucap ayah. Kubalikkan badan lalu mulai ku langkahkan kaki menuju sumber suara yang menyuruhku sebentar lagi meninggalkan ranah minang tercinta. “Jangan cengeng, adik manis” Sorak Uni Fenti dari kejauhan. Aku hanya tersenyum sambil melambaikan tangan untuk membalas ledekan Uni Fenti. Air mataku tertumpah sudah rasanya meninggalkan keluargaku untuk beberapa waktu demi ilmuku. “Yantiii… yantiii… ” Terdengar suara lain memanggilku. Suara itu sepertinya bukan suara dari ayah, ibu atau uni Fenti. Suara itu sama sekali tak asing bagiku. Tapi aku tetap melangkah mungkin hanya ilusiku sejenak. “Yantii… yan.. tungguuu…” Suara itu terus mendekat, aku hentikan langkah. Ku dengarkan baik baik, sepertinya itu suara dari seseorang yang ku damba. Ya, suara Yovan. Tapi tak mungkin dia datang kesini, jarak tempuh dari Solok ke Padang saja cukup memakan waktu dan dia saja tak tahu kabar aku. Ku balikkan badan ku untuk memastikan siapa pemilik suara itu. Dan kau tahu, siapa sosok yang terengah engah ku temukan di depanku? Benar. itu Yovan, “Yovan?” Aku terkejut atas kedatangannya, antara percaya dan tidak ku amati wajah itu baik baik. “Iya benar Yan, ini aku. Kau pasti tidak percaya, aku tadi diberitahu amak kalau kau mau berangkat sekarang. Bergegaslah aku kesini, karena untuk kali ini aku tak ingin kehilangan kesempatan lagi.” Jawabnya sambil menatapku lalu menunduk. Aku paham, ada gejolak perasaan yang dia rasakan kali ini, mungkin sama seperti aku. Ada keinginan untuk menumpahkan perasaan itu dalam pelukan atau genggaman tangan tapi itu tak akan kami lakukan, sekuat hati untuk melawannya dengan bertawakal pada Yang Maha Kuasa. Karena kami pemuda pemudi minang yang diajarkan tentang bagaimana bersikap antara laki laki dan perempuan dalam islam. “Yan, aku nak memberi kau ini. Kotak ini sudah aku persiapkan dari terkahir kita bertemu. Sebelum aku berangkat ke Bandung untuk pertama kalinya, tapi saat itu mentalku belum cukup kuat untuk memberikan padamu. Dan hari ini lah waktunya, kau baca dan kau simpan lah Yan” Ucap Yovan dengan wajah tertunduk dan memberikan kotak persegi berwarna biru muda itu padaku. Ku ambil kotak itu dengan perasaan yang tak menentukan, ku arahkan pandangan pada ayahn, ibu dan uni fenti yang berdiri 10 langkah di belakang Yovan untuk mengisyaratkan boleh atau tidak aku mengambil kotak ini. Anggukan dan senyum kecil yang ku dapat dari ayah. Teet.. suara itu kembali berkicau menyuruhku benar benar meninggalkan tempat ini. “Yovan, terimakasih untuk ini. Aku pergi dulu pesawat yang aku tumpangi sudah mau berangkat. Salam untuk amak dan abak kau” Kata ku gemetar, saat gejolak perasaan itu meluas. “Ya hati hati kau disana Yan, ku titipkan doa untukmu” Teriak Yovan saat aku telah melangkah pergi, ku lemparkan senyum dan lambaian tangan kepada keluarga dan dia yang ku cinta. Air mata meninggalkan jejaknya di mata ku untuk mereka yang ku sayang yang lama lama menghilang dan mengecil dari pandanganku. Sayap burung besi ini sudah mengapung di udara, bak lukisan dan miniatur kehidupan jika diperhatikan negeri ku yang elok dari ketinggian ini. Ada rindu, cinta dan pengharapan yang ku titipkan di sana. Okh, tersadar aku, ada kotak yang hendak aku buka. Dengan hati hati mulai ku singkirkan tutup kotak itu, ada 2 benda disana yang satu persatu benda tersebut terbungkus ayaman rotan. Pertama, ku buka benda yang digulung tersebut. Ada surat, benar itu sebuah surat. Untuk kau yang hari ini dititipkan Allah di hatiku, Kau pernah pertanyakan padaku bukan, kenapa aku tak pernah punya kekasih? Kau juga pernah tanyakan padaku apa yang membuatku semangat hadapi hidupku? Tapi aku menjawab semua pertanyaan mu dengan ketidakpastian bukan? Baiklah, izinkan aku menjawabnya saat ini. Itu karena kau, Yanti. Kau lah yang membuat aku semangat, kau lah yang membuat aku tak ingin mencari kekasih. Tapi selama ini aku tak pernah katakan itu semua bukan? Karena aku hanya ingin mencintai mu dalam diam. Karena cintaku bukan di atas lisan maka tak harus aku ucapkan. Cintaku bukan pula di mataku maka tak harus aku menatapmu. Cintaku bukan pula pada jemariku maka tak perlu ku sentuh dirimu. Aku mencintaimu dengan kebenaran. Aku mencintaimu dengan memuliakanmu dan diriku. Aku mencintaimu dengan menjaga kehormatanmu dan kehormatan ku. Dan aku mencintaimu karena ALLAH SWT. Maha suci Allah. Aku tak peduli mereka berkata apa atas kebisuan cintaku.. Tapi aku tetap yakin inilah yang terbaik.. Aku akan tetap rahasiakan rasa hatiku.. Benar, aku Mencintai mu dalam Diam. Bukan membenci hadirmu, tetapi menjaga kesuciannya, bukan untuk menghindari dunia, tetapi meraih SurgaNya. Mencintai mu dari Kejauhan, Karena hadirmu jika saat ini terajut hubungan bersamaku hanya akan menggoyahkan iman dan ketenangan, mungkin sajakan membawa kelalaian hati-hati yang terjaga. Mencintai mu dengan Kesederhanaa. Memupuknya hanya akan menambah penderitaan.. dan menumbuhkan harapan hanya akan membumbui kebahagiaan para syaitan.. Mencintai mu dengan Keikhlasan, karena tentu kisah Sayyidina Ali Bin Abi Talib dan Fatimah r.a yang diingini oleh hati. Wahai calon makmumku, hari ini ku harap kau tahu rahasia besar yang telah ku jaga sekian hari. Percayalah.. Di balik cinta diamku terdapat bukti kesungguhanku.. Di balik cinta diamku, aku selalu menjanjikan kesetiaan. Dan sudah ku buktikan walau cinta belum ku ucapkan.. Takdir rusuk-ku tak tau dengan siapa, namun setidaknya saat ini baru kau yang mampu meluluhkan, aku berharap kaulah sang Rusuk Idaman, dan Sejujurnya aku selalu memintamu untuk mendampingi hidupku, hanya saja aku melakukannya dalam do’a-do’aku.. Karena aku tidak mau gamang untuk mengatakan semua, hanya takut mendahului takdir Allah yang Maha membolak balikkan hati. Dan aku akan menunggu waktu yang tepat. Untukmu sebuah hati yang terangkai dalam untaian do’a, Andai dirimu yang Allah pilihkan untuk diriku… Ingin kubisikkan padamu. Sekarang kau raihlah impian dan gengamlah impianmu itu setinggi tingginya. Jika ada torehan tinta Allah bersamamu. Biarlah aku menjemputmu dalam sebuah ikatan pasti. Aku akan menjadi yang terbaik untukmu. Aku gantungkan impianku bersamamu. Wassalam,
Yovan Tak terasa air mataku jatuh bertumpahan membaca sajak indah yang tertulis disana. Dari seseorang yang aku cinta. Kemudian aku buka benda kedua, kutemukan mukenah dengan kertas kecil yang bertuliskan “Semoga mukenah ini menemanimu dalam merajut do’amu bersama Sang illahi” Tak henti henti ku lafazkan nama allah, ada rasa syukur dan sedih yang menyelinap di dalamnya. Dia yang selama ini aku cinta ternyata juga punya rasa yang sama, tapi rasa itu di jaga untuk dia Sang Pencipta. “Aku gantungkan juga impianku bersamamu Yovan,. Ku tunggu kau menjemputku” Ku tutup surat itu. Ku hanyut dalam doa dan cinta yang ku serahkan akhirnya pada Sang Pencipta sambil memeluk mukenah darinya.
Cerpen Karangan: Ade Zetri Rahman Facebook: Ade Zetri Rahman (ad_iez[-at-]yahoo.co.id) Blog: Http://adezetri.blogspot.com/
Ade Zetri Rahman jurusan keperawatan gigi Poltekkes Kemenkes RI Padang https://twitter.com/ze_zetri