Bermimpilah! Sungguh, Tuhan tak akan pernah alpa dengan mimpi-mimpimu. Rangkaian kata itu menggetarkan gendang telingaku. Rangkaian kata yang telah berhasil menyihir pikiran, perasaan dan tindakanku. Rangkaian kata itu yang membuatku yakin bahwa semua impian dalam hidup ini pasti akan terwujud. Rangkaian kata itu pula yang menimbulkan keberanianku untuk bermimpi indah meraih asa.
Mimpi-mimpi itu kini kukumpulkan, kucatat rapi di atas lembaran kertas dalam buku. Ribuan impian hidup dari masa kanak-kanak tertulis manis disana. Dari sekian banyak asa itu, ada satu yang selalu menggoda untuk segera kuwujudkan. Masih kuingat, asa-impian- ini terikrarkan saat aku masih berkostum merah putih. Saat sekolah dasar? Ya, sesaat setelah guru ilmu alam memperkenalkan padaku tentang savana.
“Savana adalah padang rumput yang diselingi oleh gerombolan pepohonan…” begitu permulaan perempuan berkerudung rapi- guru IPA itu menjelaskan savana padaku, muridnya suatu pagi. Caranya mengurai detail savana membuat imajinasiku meronta-ronta, penasaranku membara, aku mulai berangan agar suatu hari nanti dapat berlarian, menunggangi kuda memuaskan hati di lapangan hijau nan luas, sedikit diselingi perdu dan pohon itu.
Padang. 2012. “Kalau dapat, kau lanjutkanlah profesimu di konsultan lingkungan itu, Yuang!” pesan bapak saat kelam menyelimuti malam, malam setelah ku memasang toga. Ya, hari ketika aku usai mengantongi ijazah sarjana dari kampus hijau, Andalas.
“Sepertinya tidak, Pak!” suaraku hampir tak terdengar. Mukaku menekuk, tak memandang rupa bapak yang mendadak berubah di depan.
“Tak ada kebahagian yang datang padaku lewat pekerjaan itu. Saban hari duduk di kantor, pagi datang dan menjelang sinar surya padam baru pulang. Hidupku tak ada warna, malah perasaan jenuh yang menghampiriku, Pak!” jabarku tanpa diminta. Rupa bapak menyiratkan ketersinggungannya sebab ucapanku. Tapi, aku tak peduli, karena pekerjaan tersebut bukan muncul atas keinginanku. Itu hanya demi membahagiakan hati bapak semata.
“Gajinya, Buyuang! Kau pikirlah itu kembali. Apalagi yang dicari dari kerja kalau bukan uang, hah!” bapak bangkit dari duduknya bersitatap dengan dinding, membelakangiku. Bapak selalu sukar diajak kompromi bila telah menyinggung soal uang. Seolah akan berhenti bumi berputar tanpa adanya uang, seolah dengan uang apapun bisa didapat. Padahal bukan begitu adanya.
“Aku ingin jadi guru” akuku. Bapak tersentak, diputarnya badan menatapku tajam. Mak menghentikan jemari dari sulamannya dan turut pula menoleh padaku seolah mengawasi.
“Apa?! Jadi guru? Tak salah dengarkah pendengaran bapakmu ini?” intonasinya meninggi dengan mimik yang mudah dimaknai, tak setuju.
“Apa yang akan kau dapat bila jadi guru itu, hah! Hanya susah payah, Yuang! Sudah butakah matamu tak mampu melihat nasib para guru di luar sana?! Mereka dilecehkan dan tak dianggap! Ingin pula tampaknya kau seperti mereka yang tak sedikitpun beruang” napasnya naik turun. Tanpa jeda aku membela diri. Perang mulut berkecamuk.
“Sudahlah..!” mak membuka lisan yang sedari tadi terkunci, melerai pertengkaran kami, lamat-lamat terdengar untaian kalimat penyejuk sanubari.
“Buyuang, bolehlah kau jadi apapun. Nak jadi konsultan-kah atau guru, atau apapun lah itu namanya, tasarah (terserah). Tapi, ada pesan mak yang harus kau ingat, Jagalah shalatmu terus, usahlah mer*kok dulu, tetaplah berakhlak baik, dan bermanfaat untuk orang lain jangan sekali-kali kau tinggalkan” aku tertunduk malu, malu pada diri sendiri. Mak seolah tahu perangai dan apa yang selama ini kujalani. Namun, aku berusaha mengangguk, tersenyum menyetujui ucapan mak. Kulirik bapak, tak bereaksi. Tanpa aba-aba, Bapak meninggalkan kami di ruang tamu pergi membawa amarahnya.
Begitulah bapak, selalu kalah dan mengalah bila mak telah membuka suara. Seolah ada dorongan gaib yang menyertai tiap lontaran kata yang meluncur lewat lisan perempuan yang kucinta itu. Aku pun mafhum, bapak sepertinya tak ingin kejadian beberapa tahun silam terulang lagi menimpa mak. Sewaktu penyakit jantung mak mendadak kambuh dan hampir merenggut nyawanya usai berdebat panjang dengan bapak.
Pesan mak itu tergiang terus, Aku mesti berakhlak baik dan bermanfaat untuk orang lain dengan profesiku nanti? Caranya bagaimana? Jadi guru, impianku.
Bogor. Maret 2013. Memanglah, tak ada yang kebetulan di dunia ini, semuanya sudah ada sekenarionya dari Sang Pengatur. Usai perdebatan panjang dengan bapak malam itu, esoknya aku langsung resign dari posisiku di konsultan lingkungan yang tak membawa dampak buat ceria di air mukaku. Setelah beroleh restu mak dan bapak (meski terpaksa). Kudayung cadik ke tanah Jao.
Kini, diriku berada di Kota Hujan, kuputuskan untuk bergabung dengan Sekolah Guru Indonesia (SGI)1, menjadi pejuang pendidikan. Aku percaya bahwa menjadi guru merupakan pekerjaan mulia yang dapat menjadi jalan menuju surga dan langsung menebar manfaat untuk semua.
Keinginanku menjelajahi savana masih bersemayam kuat dalam jiwa. Apalagi saat kutahu bahwa SGI akan menerjunkan relawan guru ke daerah eksotik- terdepan, terluar, dan tertinggal- di seluruh pelosok nusantara, termasuk negeri yang selama ini ada dalam anganku, savana. Hatiku girang. Sebentar lagi mimpi itu akan nampak wujudnya.
Enam purnama terlalui sempurna. Hari yang kutunggu itu tiba juga. Jantung berdebar tak konstan. Hari ini adalah detik-detik penentuan tempat pengabdian yang akan segera diumumkan oleh SGI. Harapanku masih sama seperti sediakala, pada savana. Savana yang lama kuimpikan. Savana yang selalu setia menemani bunga tidurku saat mata ini mulai menutup kelopaknya. Tapi malang, Lampung adalah tempat (pengabdian) dimana diri ini ditakdirkan. Kecewaku meradang.
“Aih, Lampung” otak mengejek, hati membenarkan dan sikapku mengikuti. Aku terdiam, muka bermuram durja, tertunduk lesu. Tampaknya setan bersuka cita telah berhasil merenggut optimis dalam hidupku. Impianku pada savana pupus sudah.
Keputusan yang telah ditentukan SGI tak bisa diganggu gugat. Ikhlas berat kuamalkan. Kucoba singkirkan ego demi kedamaian hati. Walau berat, akhirnya ikhlas berhasil bertengger dalam dada. Senyumku sedikit merekah. Semangat, ya, mesti semangat meski terpaksa.
Lampung. Oktober 2013. Bumi tetap berputar pada porosnya, merubah siang jadi malam dan malam jadi siang, kucoba menjalani masa-masa pengabdian di bagian barat nusantara ini.
Sekolah pengabdianku berada di pedalaman sumatra, tepat diperbatasan Bumi Ramik Ragom dan Bumi Sriwijaya. 50 meter di depan tempat tinggalku sudah memasuki kawasan Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumatra Selatan. Tak jauh dari sana, berdirilah Bukit Punggur, bukit tertinggi di kawasan ini. Permukaannya ditumbuhi hutan karet dan kopi. Beberapa bagiannya dipenuhi oleh semak belukar. Bila dilihat dari puncaknya, sepanjang mata memandang akan terlihat laksana permadani hijau nan luas (mirip savana yang pernah diceritakan bu Laela, guru ilmu alamku dulu).
Kaki bukit itu terselonjor hingga ke posisiku berada. Nah, di kakinya itu ada suatu tempat yang selalu kudatangi. Seringnya aku mampir bukannya tanpa alasan. Setiap senja kuberada disana, dan tiap itu pula ketenangan merasuki jiwa, lapang dada kurasa, beban hidup sirna seketika. Damai, ya, yang ada hanya kedamaian. Kunamai-lah tempat itu sebagai “Bukit Kedamaian”
Tak berbeda dengan senja-senja sebelumnya. Senja kali ini, kunikmati kedamaian yang ada, yang mulai bergerilya bersama aliran darah menjelajahi seluruh badan dan berhasil melapangkan dada. Pikiranku tenang, segar kembali saat perlahan sepoi angin menggelitik mesra kulit sawoku. Aku tertawa. Bahagia. Kutarik garis bibir. Wajahku ceria.
Namun, keceriaanku tak bertahan lama. Aku yang setia duduk di pokok karet ini mulai terusik. Bola mataku menangkap bayangan tergopoh-gopoh mengarah padaku. Pikiranku risau. Kuamati siapakah pemilik bayangan itu. Astaga, Pindai! Duda kampung beranak satu, bertato hobi mabuk-mabukan. Tersinggung sedikit hatinya, tiada segan dia menghabisi nyawa. Cuma beberapa kali aku berpapasan dengannya. Dan itu pun membuat romaku berdiri saking takut dengan sangar mukanya.
Reflek anggota badan siaga. Kakiku bersiap lari. Tapi urung. Teriakkannya menghentikan langkahku. Daripada mati ditikam belati di jemarinya, baiknya kuberhenti. Gemetar sekujur tubuh, kaku. Dia makin mendekat.
“Duduklah, Kak!” pintanya lembut. Aku tak percaya pendengaranku. Bukan suara kasar Pindai yang biasa menyapa gendang telinga. Kubalikan badan. Mataku melihat, memang Pindai di hadapan. Dia telah duduk di atas rerumputan kering tak jauh di depanku. Aku masih berdiri mematung, kaku. Gemetar di tubuh belumlah pergi.
“Duduklah, Kak!” pintanya sekali lagi. Kali ini diiringi senyum. Melihat belati di kirinya membuatku ragu. Apa maunya? Akan dimusnahkannya nyawa ini? Memutasi anggota tubuhku dan mengambil organ dalamku seperti yang terjadi di Dusun Gajah Sakti pekan lalu? Atau hendak merampok isi dompetku yang teramat kering ini? Atau jangan-jangan…
Berbagai kata ngeri berputar mengitari kepala. Sedang, di ufuk barat sana, tampak sang surya bersiap ke peraduan. Perlahan gelap wujud. Penuh waspada, kukabulkan pinta preman itu.
“Kakak tide ngerok*k keh?” dia menanyaiku lewat dialek Ogannya. Pertanyaan aneh dan asing (singgah di telinga) kurasa. Apa guna dia menanyaiku perihal tidak merok*k?. Takut makin membara. Tak ada jawabanku. “Nape kakak jadi guru?” pertanyaan aneh (lainnya) meluncur dari lisannya. Lagi-lagi aku diam tanpa jawaban. Ada sesuatu yang ganjil kurasa. Dia menatapku tajam. Bola matanya beradu pandang dengan indra penglihatanku. Berbagai pertanyaan aneh dan asing disemprotkannya. Tak satu pun kujawab. Ketakutan membuat kelu lidahku mengutarakan jawaban.
Dia mulai kesal tampaknya. Kesal ulah diamku yang tiada memberi jawaban atas pertanyaannya. Dia berdiri, marah. Dipegangnya pisau belati kuat-kuat. Dan…
“Nape kakak tide jawab tanyaku!” Pindai geram. Gerahamnya beradu terdengar. Mata merah melotot. Belati ditujukan pada leherku. Kilatannya menyilaukan mata. Kurasakan kulitku disentuh tajamnya. Ketakutanku menjadi-jadi. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuh. Kucoba berteriak mencari pertolongan, tapi pekikanku ditelan angin ribut yang datang tiba-tiba.
Keberanianku muncul disaat-saat terdesak seperti ini. Tanpa pikir panjang, kaki kiri menendang selangkang si brewok. Dia terlonjak kaget. Teriakannya histeris. Tangannya memegang organ vitalnya. Belati lepas dari genggemannya, jatuh menabrak tanah. Kesempatan itu kugunakan untuk menyelamatkan diri. Aku berlari sekencang-kencangnya. Seketika angin makin ribut mengobrak-abrik rimbunan hutan karet.
Di penurunan sana, lariku makin cepat bagai kilat. Aku tak peduli sekitar, tak ada lagi kedamaian, angan pada savana pudar, di benak hanya ada dua kata, selamatkan diri. Namun naas, kakiku tersandung akar semak membuat tubuh ini terguling-guling bak bola salju hingga berakhir di lembah karet. Kepalaku terbentur keras di batu cadas. Aku merintih. Jemari menyentuh darah yang muncrat, kepalaku bocor. Oh, tidak!
Pindai menuruni bukit mengejarku. Tampangnya makin marah. Kucoba bangkit, berdiri, dan lari. Terhuyung-huyung. Napasku tinggal satu-satu. Aku tak kuasa lagi membawa langkah ini. Mataku perlahan berkunang-kunang. Tampak Pindai dengan belatinya dekat dan mendekat. Tak terkira, secepat kilat dihujamkannya pisau itu tepat di ulu hati. Lolonganku memecah alam, menghalau angin yang semakin ribut. Bergetar bumi terasa. Penglihatanku kabur. Sayup-sayup pendengaranku sirna. Dunia gelap, hening.
Lama kegelapan menyertai penglihatanku, tiba-tiba kupingku mengumpulkan suara. Semakin lama sayupan suara itu makin jelas. “Bapak..! Bangun, Pak!” suara murid-muridku membuatku tersentak. Sontak berdiri dan melirik jam di tangan. Sudah pagi. Ramai murid mengedor pintu menyadarkanku dari mimpi. Mimpi buruk yang baru kualami.
—
Kududuk diam di belakang meja kerja di kantor sekolah. Badanku lesu. Mimpi semalam masih membayang. Beberapa guru telah berusaha menggodaku untuk tertawa. Tak berhasil. Karena candaannya yang tidak lucu. Hanya siswa yang bisa hadirkan kembali senyumku.
Pukul 12.00 WIB, pelajaran usai. Satu per satu siswa mulai meninggalkan sekolah. Satu jam berlalu, aku masih setia di atas bangku. Aku merenungkan dan mereka-reka arti mimpi itu.
“Permisi, Kak!” lamunanku buyar, kucari sumber suara. Milik Pindai. Benar, suara Pindai.
“Ya, masuk. Silahkan duduk” senyumku mencoba menyembunyikan keterkejutan yang barusan menghinggapiku. Pindai menghias wajahnya dengan senyum, persis seperti dalam mimpi. Takutku timbul kembali. Dikeluarkannya pisau belati yang (selalu) bersarang dekat pinggangnya. Tampak berkilat-kilat diterpa cahaya. Bulir keringat menganak sungai di kulitku. Tangan kirinya menaruh belati di atas meja di depanku. Lalu dia duduk di sisiku.
“Ade ape, Kak?” dialek melayu meluncur dari lisanku memecah kesunyian.
“Nape kakak tide ngerok*k?” deg, pertanyaan dalam mimpi, persis. Aku salah tingkah, membayang lagi mimpi itu. Segera kubuang kekikukan yang melanda.
“Merok*k membuatku sulit berhemat” jawabku tegas.
“Maksud kakak?!” rautnya bingung.
“Auw2, rok*k membuatku sukar berhemat. Coba ngan3 bayangkan, rata-rata seorang perok*k bisa menghabiskan Rp. 300-500 ribu setiap bulannya hanya untuk membeli rok*k. Dengan semakin membumbungnya harga rok*k setiap hari, tentu ini akan berbahaya bagi keuangan ngan” Pindai menekur, menerima kelogisan ucapanku. Matanya mengelus kulitnya yang dihiasi tato.
“Asak tato? Mak mane menuhut kakak?4” Sejenak aku terdiam dengan pertanyaannya. Berhati-hati, kuberikan jawaban pamungkas.
“Jelaslah haram hukumnya!” Pindai tersengat mendengar jawabanku. Lama dia membisu.
“Sape yang ngajarin kakak semonye?” dia menyelidiki. Apa perlu pula kuceritakan nasehat mak dulu? Ah, tak usah.
“Mak aku lah!” Tanggapku singkat. Dia manggut-manggut semacam ada sesuatu yang hendak diucapnya. Ternyata betul.
“Aku nak behenti dai semoa ni, Kak!” ujarnya tiba-tiba bagai kanak-kanak, polos. Keningku mengerut. Tak paham maksud ucapannya.
“Tiap hari, sehabis pulang sekolah, Sangkut menyampaikan salam, katanya salam dari kakak” seolah paham pola wajahku Pindai memulai cerita.
“Di rumah, dia memintaku agar berhenti merok*k dan tak minum-minum lagi, tatoku diminta pula untuk dihilangkan. Semula aku urung mendengar kata-kata bocahku itu. Tapi, tiap hari diingatkan terus. Bila bosanku datang dengan ucapannya, tak pelak tamparan kulayangkan di pipinya. Semakin kutampilkan kebengisanku, makin berkobar dia mengataiku sebagai bapak yang tak patut ditiru. Mendengar itu luluh juga aku dibuatnya, apalagi saat disela isak tangisnya dikenang lagi maknya yang sudah tiada” aku diam menyimak tutur kata Pindai.
“Dia kata, akulah penyebab mati maknya itu; Karena tak kuat lagi menjalani hidup dan menghadapi perangaiku” lanjut Pindai menjabarkan. Matanya berkaca.
“Sekarang, keyakinanku penuh, Kak! aku ingin merubah semuanya, ingin jadi panutan untuk putriku” jujur Pindai lembut, selembut ucapannya yang memintaku untuk duduk, dalam mimpi, persis.
Aku diam, menarik napas lega. Aku menengadah, menahan manik-manik air mata yang siap berjatuhan. Menari-nari gambaran wajah Sangkut, siswaku, putri semata wayang Pindai di pelupuk mata. Tiada kuduga sedikitpun, pesan (mak dulu) yang selalu kutitipkan (pada siswaku) di tiap akhir pelajaran itu benar-benar disampaikannya pada bapaknya. Sungguh Anak yang pemberani. Gumamku.
—
Senja ini aku masih duduk di puncak Bukit Kedamaian. Benar-benar damai. Ditemani Pindai. Kulitnya melepuh usai disetrika. Untuk menghilangkan tato alasannya. Alunan gitar yang kumainkan mengimbangi gesekan daun-daun hutan Hevea braziliensis. Anganku pada savana belumlah sirna. Sabar dulu ya savana. Kujajaki dirimu suatu ketika, nanti.
—
Telah terang pikiran. Indah tatapan mata. Jelas sudah pendengaran. Terbang jauh sesak di dada. Tercipta sebuah hikmah. Hanya sebab aku tak merok*k Pindai berubah? Atau karena pesanku di akhir pelajaran usai yang sering disampaikan Sangkut padanya itu? Entahlah. Tuhan pengatur segala-galanya. Dan aku merasa ‘ada’ di tempat ini. Ada untuk tetap menebar manfaat buat sesama, seperti kata mak dulu. Dan Bukit Punggur damai bermula. Pengganti savana nun jauh disana.
Catatan: 1. Sekolah Guru Indonesia (SGI) merupakan salah satu jejaring Dompet Dhuafa yang berkomitmen untuk melahirkan guru-guru model berkarakter pemimpin, memiliki kompetensi mengajar dan mendidik, serta berjiwa kepemimpinan sosial. Program ini dilaksanakan selama 17 bulan, yakni 2 bulan Program pendidikan di kelas, 1 bulan program pemberdayaan masyarakat, 2 bulan Program Praktek Lapangan di sekolah, dan 12 bulan mengabdi menjadi guru model di sekolah-sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar di seluruh wilayah Indonesia. 2. Iya 3. Kamu 4. Kalau tato? Bagaimana menurut kakak?
Cerpen Karangan: Danil Gusrianto Blog: danialkampai.blogspot.com Facebook: www.facebook.com/danil.gusrianto Aktivis Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI-DD) angkatan IV