Hari Minggu kemarin aku ikut orangtuaku ke Solo. Ada undangan dari bulik Sri. Ini untuk kesekian kalinya aku ke Solo. Tetapi ini untuk yang pertama kalinya aku pergi dengan kakek. Biasanya hanya dengan orangtuaku saja. Di dalam bis, kakek banyak bercerita tentang Solo, kota tempat kelahirannya. Keraton Solo, Pasar Klewer, Kleco tempat bermainnya dan beberapa tempat yang asing di telingaku mengalir tanpa henti. Aku hanya mengangguk-angguk sambil menahan kantuk. Perjalanan yang menyenangkan.
Walaupun tidak bersekolah, kakek Dullah, itu nama kakekku, pengetahuannya sangat luas. Beliau banyak mengamati peristiwa-peristiwa di sekitarnya. Dulu, saat aku kelas II SD, ada surat dari pakde Sastro di Jambi. Aku yang sedang tiduran sehabis pulang dari sekolah, dibangunkan kakek.
“Inilah akibatnya kalau tidak mau belajar. Membaca surat dari anaknya saja tidak bisa. Kamu yang belum terlambat, jangan meniru kakekmu dulu. Kakek kalau disuruh belajar malah bermain. Beginilah akibatnya,” katanya saat aku sudah berada di depannya. Aku kemudian disuruh membacakan surat itu. Saat itu aku belum bisa membaca lancar. Dengan terbata-bata akhirnya aku selesai juga membacanya. Dan aku pula yang menulis surat balasannya dengan didikte oleh kakek.
Sejak itu, aku jadi suka membaca dan menulis. Saat ada surat dari pakde Mirun, yang di Balikpapan, aku sudah lancar membaca dan menulis. Kakek terkejut melihat kemajuan kemampuan membaca dan menulisku. Hanya dalam tempo dua bulan aku sudah sangat mahir membaca dan menulis.
Bis yang aku tumpangi melaju dengan cepatnya. Penumpangnya makin penuh saja. Di daerah Delanggu beberapa pedagang asongan naik. “Penumpang bis Yogya–Solo yang saya hormati. Saya akan menawarkan buku IPS Terbaru.” Tiba-tiba seorang pedagang asongan menawarkan barangnya. Tangan kanan memperlihatkan barang pada para penumpang. Tangan yang kiri menenteng kardus berisi buku-buku. “Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Saudara-saudara yang saya hormati. Buku ini sangat pas untuk anak-anak kelas I, II, III, IV, V dan IV bahkan sampai tamat SMP. Setelah tamat SMP, berikan buku ini pada adiknya. Setelah adiknya tamat SMP. Berikan lagi pada adiknya lagi.” Aku lirik kakek. Tampaknya beliau antusias sekali mendengar kata-kata perkenalan dari pedagang asongan tersebut. “Banyak pengetahuan yang bermanfaat dari buku ini. Tujuh keajaiban dunia, propinsi-propinsi yang terbaru di Indonesia, nama raja-raja yang terkenal dan bangsa yang mendirikannya. Rakai Samaratungga yang mendirikan Candi Borobudur, Rakai Pancapana yang mendirikan candi Kalasan, dan lain-lain. Buku ini sangat murah. Kalau di toko buku dijual RP 15.000,00, di sini cukup Rp 10.000,00. Sayang anak, sayang adik. Silakan buku dibawa pulang!!” katanya mengakhiri pidato sambil memberi kesempatan pada para penumpang mengamati buku dagangannya.
Aku mengamati buku tersebut. Isinya tidak banyak berbeda dengan buku-buku di rumah. Aku lihat kakek juga membuka-buka buku tersebut. “Andi, mau buku ini. Kakek belikan ya.” kata kakek bersemangat sambil terus mengambil uang. Sebenarnya aku tidak tertarik dengan buku tersebut. Aku sudah memiliki buku-buku yang memuat hal-hal seperti itu. Orangtuaku juga tidak menawariku untuk membeli buku tersebut. Untuk menjaga perasaannya aku mau saja dibelikan buku tersebut. Akan sangat kecewa apabila aku sampai menolak pemberian kakek terutama buku. Untuk pemberian yang lain beliau tidak masalah. Dulu aku pernah mengalaminya. Aku ditawari kakek sebuah buku. Kakek tidak salah. Buku itu buku cerita petualangan. Karena menurutku harganya cukup mahal aku menolak pemberiannya. Beberapa hari kakek menjadi lebih diam dari biasanya. Tidak banyak bercerita dan bergurau. Aku tidak akan menyakiti hati kakek untuk kesekian kalinya. Mumpung harganya murah. Lumayan juga buat menambah koleksi buku-bukuku.
Itulah kakekku. Walau tidak bisa membaca dan menulis, beliau setiap ada kesempatan selalu memberikan hadiah buku pada cucu-cucunya. “Andi, buta ilmu itu lebih berbahaya daripada buta mata. Orang yang buta ilmu bisa merusak atuan-aturan yang berlaku tetapi orang yang buta mata sedang ia tidak buta ilmu dia tidak akan merusak, Bahkan dia akan bisa bermanfaat bagi sesamanya,” kata kakek pada suatu sore sambil menunggu adzan Magrib berkumandang.
Bis terus melaju ke Solo. Sambil menikmati laju bis, aku membaca buku hadiah kakek. “Terima kasih kakek.”
Cerpen Karangan: Dwiyanto S Facebook: Dwiyanto Susilo