Waktu itu, menjelang penerimaan siswa baru. Aku yang baru saja lulus Sekolah Dasar (SD) tentu saja ingin sekali melanjutkan sekolahku ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP. Sungguh tak sabar rasanya untuk segera mengetahui bagaimana berada pada sekolah baru dengan seragam baru, sepatu baru, tas baru, dan tentunya teman-teman baru. Aku yakin setiap anak ingin melanjutkan sekolahnya pada sekolah favorit yang ada termasuk aku. Itu sebabnya aku memilih salah satu sekolah paling favorit di kotaku.
Yaa, ketika aku mendaftarkan diri, terlihat banyak sekali anak-anak lain yang sedang mendaftar pada sekolah yang sama. Ada yang bersama orangtuanya, ada juga yang bersama kakaknya, atau mungkin pamannya. Namun aku hanya pergi bersama adik kandungku yang juga satu angkatan denganku.
Setelah pendaftaran ditutup, ada sekitar lebih dari 500 orang yang mendaftar pada sekolah itu dengan tampungan sekitar 250 orang siswa baru. Artinya setengah dari jumlah pendaftar akan tersisih atau tidak diterima sebagai siswa pada sekolah paling favorit di kotaku itu. Persaingan akan sangat ketat hanya untuk bisa mendapatkan satu dari 250 bangku yang disediakan. Hal ini tidak membuat semangatku dan adikku memudar. Kami justru menanggapi hal ini sebagai ajang adu kecerdasan juga keberuntungan.
Tiga hari menjelang test, aku dan adikku tanpa henti belajar bersama. Mulai dari membaca buku-buku berisi latihan soal sampai kumpulan soal ujian yang dibelikan oleh kakak kami tidak satu pun terlewatkan. Alhasil, setelah hari pertama test telah tiba, meski berada pada ruangan yang berbeda, aku dan adikku dapat melewatinya dengan biasa saja. Begitupun hari kedua dan hari ketiga sampai pada akhirnya surat pengumuman atas penerimaan siswa baru dikirimkan pada orangtua calon siswa. Dan yaa, usaha dan pengorbanan yang aku dan adikku lakukan berbuah manis. “LULUS” adalah inti dari surat yang diterima oleh orangtuaku. Hal itu tentu membuat kami sangat senang, betapa tidak, 250 anak tersingkir oleh kami dan kami siap melewati hari-hari di sekolah baru juga favorit dengan status Sekolah Standar Nasional (SSN) pertama pada saat itu.
Disinilah awalnya aku mengenal pemilik nama Ricky Ferdian. Seorang anak yang terlahir dari rahim ibu penjual pisang goreng dengan ayah yang bekerja sebagai buruh bangunan. Ia tidak lain adalah teman kelas sekaligus teman sebangkuku. Ia tidak seperti anak lainnya yang menggunakan perlengkapan sekolah serba baru. Tidak seperti teman-teman yang lain, tidak juga seperti aku. Dia hanya mengenakan sepatu baru berwarna hitam polos.
Hari itu kami mulai saling cerita tentang pribadi masing-masing. Hari demi hari semakin mendekatkan hubungan kami berdua, sampai akhirnya aku tahu seluk beluk keluarganya. Apa yang tidak pernah diceritakan kepada teman sebaya lainnya diceritakan kepadaku. Setidaknya itulah kejujurannya padaku saat itu. Segala hal yang diceritakan Ricky kepadaku selalu kusampaikan kepada orangtuaku. Aku meceritakan semuanya dengan harapan agar orangtuaku dapat sedikit membantunya dalam meringankan setiap beban yang ia dan keluarganya tanggung. Cerita dan terus mengulang cerita yang sama tentang dia.
Suatu malam, ketika aku kembali mengulang cerita yang sama tentang kehidupan Ricky dan keluarganya dimana ceritaku masih disertai dengan harapan yang sama agar orangtuaku menerimanya sebagai saudara angkatku yang nantinya tinggal bersama kami. Entah karena bosan atau kasihan, orangtuaku mengabulkan harapanku untuk menjadikan Ricky sebagai saudara angkatku dan tinggal bersamaku. Saat itu, aku tidak sabar menantikan pergantian malam menjadi pagi karena hanya pagi lah yang akan mempertemukan aku dengannya. Betapa tidak, tempat tinggalku dan Ricky berjarak sekitar 6 km, jarak yang lumayan jauh untuk ditempuh oleh anak seusiaku terlebih ditempuh dengan berjalan kaki. Kenyataan itulah yang membuatku hanya bisa bertemu dengannya pada saat pagi, dan itu terjadi ketika jam sekolah telah tiba.
Malam semakin larut, suara hewan malam dan detik jam semakin jelas terdengar namun mataku sepertinya enggan tertutup. Mungkin karena penantianku akan datangnya pagi menjadi penyebab utama atas apa yang kurasa. Seperti yang aku tahu bahwa segala yang kita nantikan selama menyangkut hal membahagiakan, pasti akan lama terasa. Sementara jika kita tak mengharapkan datangnya satu hari yang kiranya tidak baik untuk kita jalani, itu sepertinya terasa sangat cepat berganti. Senyum.. senyum.. dan senyumlah yang aku lakukan sambil menantikan diriku larut dalam lelapnya tidur.
“Nak.. Nak.. Bangun.. kamu harus sekolah!!”. Kata itu terdengar sekaligus menyadarkan aku bahwa semalam aku telah tertidur dalam senyuman. Tanpa berlama-lama, aku bergegas angkat badan dari kasur dan merapikan tempat tidurku lalu mandi. Setelah itu, aku kenakan seragam sekolah dan di luar sudah ada kakakku yang siap mengantarkan aku dan adikku menuju sekolah. Setelah pamit pada orangtuaku, kami berangkat bersama kakaku. Dalam perjalanan, aku selalu berharap untuk segera tiba di sekolah agar bisa langsung menyampaikan kabar bahagia kepada Ricky.
10 menit kemudian, sampailah aku dan adikku di sekolah. Tanpa banyak bicara, aku dan adikku pamit kepada kakakku lalu bergegas menuju kelas. Sesampai di kelas, aku tidak melihat Ricky ada disana. Awalnya aku berfikir kalau ia sedang berada di luar kelas tapi setelah aku periksa bangkunya, aku tidak melihat tas yang sering dipakainya. Apakah Ricky tidak masuk sekolah ataukah ia memang belum datang?. Pertanyaan itu selalu menjadi satu-satunya hal yang terlintas dalam benakku. “Teeeet… Teeeet…” sampai bel sekolah pertanda masuk kelas berbunyi, Ricky belum juga terlihat. Kini aku sudah di dalam kelas, hari ini sepertinya aku duduk seorang diri tanpa Ricky di sampingku. Sedih rasaya karena harus menunda penyampaian kabar baik yang aku bawakan kepadanya. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak, hanya mencoba menerima ketidakpastian yang ada. Seperti biasa, sebelum pelajaran pertama dimulai, terlebih dahulu para siswa dibiasakan berdoa secara bersama-sama. Doa selesai kami baca, para siswa dan siswi akan segera di absen oleh guru sementara Ricky belum juga terlihat.
Satu per satu nama mulai dibacakan. Dan seingatku, namaku berada pada urutan 26 dan Ricky berada pada urutan 34 dari keselurahan murid yang ada di kelasku yaitu 39 orang. Sebentar lagi giliran namaku disebutkan oleh guru, tetap saja Ricky belum terlihat. Hal itu membuatku beranggapan bahwa Ricky tidak masuk sekolah hari ini. Tiba-tiba, sebelum namaku disebutkan, suara salam terdengar dari balik pintu kelasku. Suara itu tidak asing bagiku, dan ternyata memang iya. Suara salam itu berasal dari Ricky. Hari itu ia terlambat masuk kelas dengan alasan terlambat bangun. Alasan yang biasa diungkapkan oleh siswa siswi pada umumnya. Guruku tidak mempermasalahkan itu dan segera mempersilahkan Ricky duduk di bangkunya yang berada tepat di sampingku. Hati yang gelisah kita tidak lagi gelisah, rasa khawatir kini tersingkir dan kabar baik dariku akan segera diketahui oleh Ricky.
Aku melihat wajah Ricky terlihat sedikit memerah sesaat sebelum ia duduk di bangkunya, mungkin karena ia malu dengan keterlambatan dirinya masuk kelas. Belum sempat aku sampaikan kabar baik dariku kepadanya, ia terlebih dahulu menceritakan alasan keterlambatanya yang sebenarnya. Mendengar alasan itu, aku tanpa sadar tertawa lantang sementara ada guru yang sedang menyampaikan pelajaran. Betapa tidak, Ricky bercerita kepadaku bahwa ia terlambat masuk kelas bukan karena ia telat bangun, tapi karena di tengah perjalanan ia tiba-tiba sakit perut dan memilih kembali ke rumah untuk membuang “sesuatu” yang menjadi penyebab sakit perutnya itu. Aku masih saja tertawa membayangkan apa yang dilakukan Ricky, dan “Nicky, maju kamu!!”. terdengar nada sedikit keras dari guruku. Serentak suasana kelas menjadi sunyi bagaikan kuburan di malam hari. Aku yang merasa takut dengan jantung berdetak kencang akhirnya melangkahkan kaki memenuhi permintaan guruku.
Setelah aku berada tepat di hadapannya, aku langsung ditanya tentang alasanku tertawa. Setiap pertanyaan dari guruku itu aku jawab dengan apa adanya. Ternyata guruku pun ikut tertawa setelah mendengar jawaban dariku, kemudian ia berkata kepada Ricky untuk tidak lagi berbohong dan menghargai keberanianku untuk berkata jujur kepadanya meski berada di bawah tekanan. Aku pun dipersilahkan kembali ke tempat dudukku. Tak lama berselang bel tanda istirahat pun berbunyi.
Inilah saatnya menyampaikan kabar baik kepada Ricky. Sambil berjalan menuju kantin sekolah, aku dan Ricky kembali membahas kejadian di dalam kelas tadi. Canda tawa dan lebihnya cerita membuat kami semakin menggila. Dan tiba sudah kami di kantin sekolah, aku memesan beberapa makanan dan minuman. Aku sengaja memesan cukup banyak agar bisa kunikmati bersama Ricky. Makanan dan minuman sudah di tangan, ku ajak Ricky duduk di taman dekat ruang BP sekolahku. Disana kami makan berdua, disana aku mulai bercerita tentang kabar yang kubawa. Ricky hanya terdiam ketika ia mengetahui kabar dariku. Ia termenung, ia menghentikan mulutnya yang sedang mengunyah makanan. “Kenapa Rick?” tanyaku kepadanya. “Kamu nggak mau?”, tanyaku lagi. “Bukan Nick, aku bukannya nggak mau. Tapi aku tidak terbiasa merepotkan orang lain”, jawabnya. “Kamu nggak merepotkan siapapun Rick, ini permintaanku dan orangtuaku tidak keberatan atas semua ini”, ucapku meyakinkan Ricky. Perbincangan singkat antara aku dan Ricky tidak merubah apapun. Ricky tetap memilih tinggal bersama keluarganya dan aku tetap dengan harapanku. Yaa, aku maklumi semuanya, sebab sehijau dan sesegar apapun rumput tetangga, jauh lebih enak rumput sendiri.
Bel tanda jam istirahat berakhir dan kami semua bergegas masuk ke dalam kelas masing-masing. Di dalam kelas, meskipun sedang dalam kegiatan belajar mengajar amun fikiranku melayang pada percakapan yang kami lakukan tadi. Sampai bel pertanda waktunya pulang berbunyi, percakapanku denga Ricky sepertinya masih melekat di kepala. Jalur rumah yang berbeda arah mengharuskan aku dan Ricky berpisah. Aku pulang bersama adikku menggunakan bemo, Ricky pulang bersama temanku yang kebetulan di jemput oleh orangtuanya dan rumah mereka pun searah.
Sesampai di rumah, aku dan adikku langsung makan tanpa mengganti pakaian seragam terlebih dahulu. Jawaban atas penawaranku terhadap Ricky belum aku sampaikan kepada orangtuaku. Aku memilih menyampaikannya nanti setelah aku menghabiskan makanan yang disediakan oleh ibuku. Tak sampai sepuluh menit lamanya, makaan yang disediakan ibu habis olehku. Aku dan adikku duduk sejenak setelah makan lalu ganti seragam. Jam dinding yang terpasang di ruang tamu menunjukkan jam 2 siang. Kulihat ayahku sedang duduk di teras depan sambil menghisap rok*k di tangannya. Perlahan aku mencoba mendekatinya, tujuanku jelas untuk mengabarkan jawaban Ricky atas tawaranku tadi pagi. “Yah, panas ya”, ucapku membuka percakapan. “Iya, kayaknya mau hujan” jawab ayahku. “Begini Yah, tadi aku sudah sampaikan ke Ricky tentang apa yang aku minta ke Ayah kemarin. Tapi Ricky lebih memilih tetap tinggal bersama keluarganya”, ucapku lagi dengan kata sedikit terbata. “Oww, kalau itu yang menjadi pilihannya dia, biarkan saja. Yang penting kamu sudah menyampaikan keinginanmu kepadanya” jawab ayah dengan sangat tenang.
Sejujurnya aku sangat ingin meminta satu hal lagi kepada ayah, tapi di sisi lain aku takut natinya ayah tidak mengabulkan permintaanku. Aku bingung dan semakin bingung. Di tengah kebingungan yang kurasa, entah apa yang membuat aku berani mengucapkan satu permintaan itu kepada ayah. Keberaniaan dan mental bicaraku pada saat itu muncul dengan sendirinya. Aku minta kepada ayahku untuk membantu Ricky agar ia bisa menyelesaikan sekolahnya bersamaku dan adikku. Kebingungan yang kurasakan sepertinya hilang dalam sejenak ketika ayah menyanggupi permintaanku. Satu syarat yang diminta ayah sebagai balasannya adalah aku harus rajin belajar. Aku pun berjanji padanya untuk selalu rajin belajar bahkan tanpa ragu aku berjanji untuk mencatatkan namaku pada 10 siswa dengan prestasi terbaik. Ayah hanya tersenyum mendengar setiap janjiku sambil ia mengelus rambutku.
Keesokan harinya, aku kembali bertemu Ricky di sekolah. Hari itu Ricky tidak lagi terlambat, justru ia datang lebih awal daripada aku dan adikku. Aku tidak mengabarkan tentang kesanggupan ayahku membantu Ricky untuk menyelesaikan sekolahnya. Aku memilih diam agar tidak ada yang kecewa dan dikecewakan kalau seandainya terjadi suatu yang tidak diharapkan kedatangannya. Tapi sesungguhnya ayahku lah yang membayar seluruh biaya sekolahnya.
Hari terus berganti, Juni berganti Juli, sampai waktu ujian semester I tiba, kabar itu masih aku simpan dalam hati. Aku melewati semester I dengan biasa saja dengan hasil yang cukup memuaskan bagiku dan orangtuaku. Ternyata, orang yang selama ini aku perjuangkan untuk dibantu oleh ayahku adalah sainganku. Ketika hasil belajar selama semester I telah dibagikan, aku yang berada pada perigkat 2 di bawah temanku Alfian disusul Ricky sebagai peringkat 3 di kelasku. Wow, 3 peringkat teratas yang biasanya didominasi oleh siswi kini menjadi milik kami para siswa. Hasilku ternyata juga disaingi oleh adikku, ia mendapatkan peringkat 4 di kelasnya. Dengan bangga, kami pulang membawa harapan sekaligus jawaban atas janji yang aku ucapkan kepada ayah sebelumnya. Ayah bangga kepada kami, ayah juga bangga atas pencapaian Ricky. “Kalaupun kamu tidak bisa meningkatkan prestasi belajarmu, setidaknya kamu bisa mempertahankanya”. kata-kata ayah itu tetap aku ingat dan menjadi semangat untukku.
Pelajaran baru menunggu di depan. Aku sadar, semakin tinggi tingkatan seorang siswa maka semakin tinggi pula tingkat kesulitan yang akan dihadapi. Tapi hal itu tidak membuatku takut, semangatku untuk bisa membuktikan bahwa aku pantas menjadi yang terbaik di kelas adalah pengusir rasa takut. Hari baru datang, persaingan kembali dimulai. Hari itu juga, aku dan Ricky mengadakan perjanjian sederhana antara aku dan dia. Dia bejanji akan mengalahkan prestasiku pada semester berikutnya. Aku hanya menanggapinya dengan senyum sedikit meremehkan tapi sejujurnya aku sedikit khawatir akan janjinya itu. Setahuku, Ricky adalah anak yang pantas diwaspadai karena kecerdasan otaknya diimbangi dengan semangat yang membara. Walaupun aku dan Ricky duduk bersebelahan, ketika ujian atau latihan diberikan oleh guru kami tidak pernah bekerjasama. Justru disanalah ajang untuk membuktikan siapa yang memang sepantasnya menjadi yang terbaik di kelas. Senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, dan minggu terus seperti itu. Hari-hari itu menghadirkan perbedaan momentum dalam setiap pergantiannya. Dan pergantian hari-hari itu membawa kami pada ujian semester II. Hari dimana telah tiba saatnya membuktikan setiap perkataan akan pencapaian prestasi terbaik. Aku da Ricky yang awalnya duduk berdampingan kini terpisah karena masing-masing duduk sendiri-sendiri. Itu tidak masalah buatku dan aku yakin Ricky pun begitu.
Akhirnya, setelah ujian semester II berakhir dan pembagian nilai sebagai hasil ujian dibagikan. Tidak ada perubahan pada 3 peringkat teratas di kelasku. Alfian masih tetap yang terbaik, disusul olehku dan Ricky. Peningkatan terjadi pada kelas adikku dimana adikku yang semula peringkat 4 menjadi peringkat 2 di kelasnya. Peringkat yang sama denganku sekaligus membuatku seakan tanpa perubahan selama menjalani semester II. Tapi itu sama sekali tidak kami dan orangtuaku permasalahkan.
Kini kami duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku pisah kelas dengan Ricky namun satu kelas dengan adikku. meskipun pisah kelas, persaingan tetap kami lakukan. Hasilnya selalu berdekatan sampai kelas 3 dan ujian nasional tiba. Sebulan sebelum ujian nasional tiba, keluargaku mendapat musibah. Ayahku diharuskan operasi karena terdapat cairan pada paru-paru yang mengganggu pernafasannya. Hal itu tentu membuat fikiranku tidak lagi fokus hanya pada ujian nasional saja melainkan juga pada keadaan ayahku walau ibu terus menyuruh kami untuk tetap fokus pada ujian nasional yang datangnya sebentar lagi. Aku, adikku dan Ricky akhirnya harus belajar di sebuah rumah sakit umum (RSU) guna menghadapi ujian nasional. Airmata tidak jarang membasahi pipi kami, putus asa sepertinya menghantui datangnya masa depan kami. Bahkan kami sempat berfikir bahwa takkan ada tingkat pendidikan yang lebih tinggi buat kami. Saat ujian nasional tiba, aku, adikku dan Ricky menyelesaikannya dengan lumayan baik. Tidak ada lagi persaingan, tidak ada lagi prestasi maksimal, dan tidak ada lagi siswa dengan peringkat 3 besar. Aku, adikku dan Ricky lulus SMP tanpa mencatatkan nama pada 10 siswa dengan prestasi terbaik di sekolah kami. Saat itu, kesembuhan ayah adalah satu-satunya hal terpenting. Namun sayang, kenyataan berkata lain. Perjuangan kami menjadi siswa dengan prestasi terbaik menempuh batas akhir yaitu SMP. Harapan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMA harus terkubur seiring dengan dikuburkanya ayahku tercinta.
Aku, adikku dan Ricky tidak menyesali apa yang terjadi. Kami sadar bahwa ilmu pengetahuan itu tidak harus didapatkan di bangku sekolah saja. Kami bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dimana saja selagi semangat kami terus berkobar. Buktinya, Ricky kini telah menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah dasar di kotaku, adikku telah berhasil menjadi penerus usaha ayahku sebagai penjahit pakaian dan aku menjadi humas di sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat.
Cerpen Karangan: Nicki R. Alpanchori Facebook: Nicky Fals ( Untukmu Negeri )