Hatiku merasakan benci sedalam-dalamnya, momok yang paling pahit jika kuingat. Berceramah dengan bodohnya di depan teman-teman sekelasku. Tak tahu apa yang akan kulontarkan lagi, padahal teks ini sudah kuhafal seminggu yang lalu. Setiap hari senin, aku adalah sarapan pagi yang empuk untuk dilumat-lumat dengan gelak tawa terbahak-bahak oleh liliput di kelasku.
“Lagi-lagi pelajaran ini!”, apa tak ada lagi pelajaran lain yang bisa membuat jiwaku tenang. Aku tak ingin lagi menjadi domba bodoh jika berdiri di depan kelas sambil melipat-lipat teks karanganku. Senin, minggu keempat aku di kelas dua. Aku paling takut dengan nomor urut tiga puluh enam, Zaki Zaman. Jika Bu Zaskia sudah menyebut nama Yolanda, teman-teman akan menyambut gembira karena ada penampilan yang ditunggu dan disiarkan langsung melalui satelit-satelit bola mata mereka tampa sensor sedikitpun. “Selanjutnya, Zaki Zaman”. Bu Asnah memanggil namaku. Jantungku berdentum kencang. Semua ruas mata menatap wajahku yang sudah memerah duluan, karena karanganku selalu paling jelek. “Tem… teman!”. Dengan suara parau terbata-bata. Belum saja kumulai mereka sudah tertawa dengan girangnya mendegar suaraku seperti ceracau bebek sekandang. “Sang Raja memesuki singasana kerajaan”. Ujarnya dengan pongah sambil berdiri di tempat duduknya. Belum sempat mulutnya tertutup rapat, penghapus papan tulis sudah mendarat di bibirnya yang tak pernah berhenti berkicau. Ari Murai, julukan yang diberikan padanya karena tak pernah berhenti berkicau seperti Burung Murai saja. Semuanya tertawa lepas, melihat lipstik putih berdebu mengempul di bibirnya. Tono teman sebangkunya paling benci jika ia sudah berisik akan merusak konsentrasinya. Aku pun tertawa dalam hati. “Selamat pagi teman-teman”, sambil membuka lipatan kertas, membacakan judul karanganku.
Jika Aku seorang presiden Suasana semakin riuh, “Si Zaman menjadi presiden?”. Ari bersorak kegirangan menertawaiku. Semua mulut tersulut tertawa luar biasa. Buk Asnah hanya diam. Semuanya langsung terdiam tanpa kata menyaksikan paras Buk Asnah yang sedih bercampur marah. Matanya berkaca-kaca “Kalian tak pandai menghargai teman se-kelas, apa ini yang Ibu ajarkan kepada kalian?” Suasana kelas terasa seperti di tengah hutan belantara. diam. Begitu pandainya bu Asnah menaklukan kelas kami, ujarku dalam hati.
Semua raut wajah tertekuk layu mendengar suara Buk asnah yang lembut memindahkan karakter seorang guru kepada kami. Lututku yang semula gugur berdiri sekarang sudah berdiri tegak membusungkan dada dengan penuh semangat seperti foto duo proklamator negeri ini yang menempel di dinding kelas.
Suasana kelas masih ribut kandang ayam, suara cempreng dengan nafas lepas. Aku mulai membacakan rentetan kalimat yang telah kuhafalkan itu. Aku masih ingat desah nafas Bapak menuntunku untuk mengerjakan tugas ini. “Tatap kedua bola mataku”, ujarnya sambil memegang bahuku agar kau berani untuk berbicara di depan teman-temanmu. “Patahkan mereka dengan pandangmu”, lepaskan tepat di sela kedua bola mata mereka, dan bungkam mereka dengan perasaan ingin tahu di setiap kalimat yang akan kau lontarkan, jangan kau seperti pemimpin yang ada saat ini, hanyalah pembual yang bertopengkan paras wajah yang elok, membidik pandanganku lurus.
Sepatah dua patah kata mulai berhamburan keluar menggema keras di kelas 2B.. Semuanya melongo membuka mulutnya antusias mendengarkan tugasku kali ini. Tak ada lagi yang berbisik-bisik apalagi berbicara, aku pun bingung mengapa semua teman-teman dan Buk Asnah diam tampa suara.
Alinia kedua, kulontarkan tajam meninggikan suara dan mengangkat selembar kertas yang ku genggam itu. Aku ingin mengangkat martabat teman-teman sekelasku, karena kami sering dicemoohkan teman-teman lain yang sekolah di kota, sekolah di kampung meridnya cupu-cupu alias gak gaul dan ndeso.
Sekarang kita adalah generasi yang harus merubah negeri ini, negeri kita sedang dilanda krisis besar. Apakah kita nanti akan menjadi buruh di negeri sendiri? Kata demi kata kukuakan ke gendang telinga teman-temanku, “inilah kita, bangsa yang terluka karena tersandung batu di negeri sendiri. Rangkaian kata terlalap sudah oleh teman-temanku yang belum pantas terusik oleh sebuah animasi politik yang akan mengangu keasikan bermain mereka. Tapi aku tak memperdulikan apa tanggapan mereka setelah ini, sekarang aku puas karena aku telah menjadi presiden di kelas ini, aku tak ingin dianggap kambing congek yang akan dijadikan tumbal setiap hari Senin. Sekarang tinggal alinea terakir, tatapan ku masih tajam membelunggu pandangan mereka, “teman-teman mari kita berfikir dan merenung dalam-dalam”. Akan jadi apa kita jika kita belajar seperti ini terus. nlo
Cerpen Karangan: Nala Orida Facebook: Brove Volgen