Banyak orangtua waktu itu yang bilang bahasa Inggris belum perlu untuk anak-anak kecil siswa TK sampai SD 1-3. Kata mereka “ngomong bahasa Indonesia aja belum bener”. “gimana anak sekecil itu ngomong Inggris?”. Aku bingung waktu itu harus jawab apa, soalnya aku bukan mengajar di sekolah tapi buka kelas di ruang tamu rumahku. Waktu itu tahun 1994. Aku memang tidak punya latar belakang pendidikan guru. Aku hanya punya keinginan dan semangat untuk mengajar bahasa Inggris anak-anak.
Di antara pro dan kontra aku tetap buka kelas yang aku kasih nama Kelompok Belajar Rainbow. Siswaku teman sekolah anakku, Lutfi, yang waktu itu TK-A. Nyatanya, siswaku senang belajar bahasa Ingris walau hanya berupa kata-kata. “Apple” kataku, “apple” kata mereka sambil aku tunjukan gambar apel segar sambil menari-nari. Karpet dan meja kecil juga kursi belajar mereka jadi berantakan. Wah, senangnya aku walau harus terus merapikan ruang kelas setiap belajar kata baru.
Anakku Lutfi sudah kelas 1 SD ketika ada teman yang mengajak aku kelola Akademi Bahasa Asing. Jurusan yang dibuka bahasa Inggris tambahannya bahasa Jepang. Aku tidak lanjutkan Rainbow walau siswaku sudah ada yang SD 1-3. Siswa kecilku sudah tidak ada lagi berganti dengan Mahasiswa. Pernah Lutfi aku ajak ke kampus, aku bilang “ini murid-murid mama”, kata Lutfi “kenapa murid mama besar?” sambil kebingungan memandangi siswaku yang sibuk konsultasi, “hai dek” kata mereka dan Lutfi cuma diam terus merapat di sampingku.
Suatu hari mahasiswiku, Hasanah, datang ke ruang Dosen. “Bu, sepertinya ibu cocok ngajar SD. Lagi ada penerimaan bu di sekolah saya ngajar” kata Hasanah. “Ah, anda pasti becanda” kataku waktu itu, tahun 2002. Penasaran, aku melamar di sekolah tersebut. Aku datang pagi hari sebelum ke kampus. Surprise.. siang jam 12 di hari yang sama aku sudah dihubungi pihak sekolah. Besok datang untuk tes dan interview. Aku lulus, berikutnya Micro Teaching. Tes apa lagi? Sebutan itu terasa asing di telingaku. Aku diberi penjelasan tentang micro teaching oleh Ibu Ambar yang belakangan aku tau beliau guru Sejarah SMA di Perguruan itu. Aku bilang, “bu saya hanya mencoba saja. Informasi ini dari Mahasiswi saya yang mengajar di sini. Saya tidak punya pengalaman mengajar SD”. “Nyatanya ibu yang dipilih dari 12 pelamar yang lain”. Kata ibu Ambar tersenyum.
Tahun ajaran baru dan untuk pertama kali aku mengajar. Sangat jauh berbeda suasana mengajar di sekolah dan di tempat kursusku dulu. Di sekolah anak-anak sudah harus disiplin, tidak bisa menari-nari atau bernyanyi-nyanyi lagi sesuka hati. Mereka sudah harus patuh pada peraturan kelas. Aku mengajar dengan suka cita. Aku tau bahasa Inggris bukan pelajaran mudah untuk mereka. Selain pakai gambar, aku juga pakai tape recorder supaya mereka bisa mendengarkan bahasa Inggris melalui lagu. Mereka happy dan aku juga senang. Karena aku hanya mengajar kelas seminggu sekali, maka setiap aku mengajar kelas yang lain siswa kecilku dari kelas yang sudah aku ajar atau yang belum aku ajar akan memanggil namaku di jendela setiap aku lewat kelas mereka, “Ibu lita… ibu lita…” Bahkan kalau mereka sedang olahraga akan berhamburan menghampiriku. Aku tau mereka rindu untuk belajar denganku seperti aku juga rindu untuk mengajar mereka. Wah.. Ibu lita guru favorit kata ibu Aisyah rekan guruku.
Cerpen Karangan: D. Miranita