Dusun Pilanggeneng di pagi hari tampak sepi. Hanya sesekali terlihat beberapa orang petani atau pedagang dengan keranjang yang hendak menjual dagangannya ke pasar desa. Sementara aku, seorang gadis kecil harus berjalan sendirian sepagi ini pasti menjadi pertanyaan bagi mereka yang tidak mengenal siapa aku. “Mau berangkat sekolah, Neng Bulan…”, Sapa salah seorang petani yang kebetulan berpapasan denganku.
Ya… Bulan adalah namaku. Aku tinggal di Dusun Pilanggeneng. Sebuah dusun terpencil yang terletak di lereng Lawu. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Saat ini aku duduk di kelas VI Sekolah Dasar Negeri Wonoasih. Seperti siswa kelas enam lainnya, saat ini aku sedang disibukkan dengan persiapan menghadapi Ujian Nasional.
“Awas! Hati-hati Nak Bulan,” Kata Pak Mo. Tanpa aku sadari aku berjalan terlalu ke pinggir sebuah sungai beraliran deras yang oleh penduduk desa dinamakan sungai Tirto Wening. “Huuuft… hampir saja. Matur suwun, Pak Mo,” Kataku ketika tersadar dari lamunan. Rupanya aku kurang hati-hati tadi. Kalau sampai terjatuh bisa kotor bajuku, dan itu berarti aku harus berjalan kembali sejauh 5 kilometer ke rumah dan aku tidak akan sempat lagi mengejar bel masuk sekolah.
“Oalah… Nduk…nduk… Mau sekolah aja kok harus susah-susah jalan jauh-jauh. Nyebrang kali, lewat tegalan orang. Nanti ujung-ujungnya ya harus ngurus dapur sama sawah”, Kata Ibuku. Sudah puluhan kali atau bahkan ratusan kali ku dengar kata-kata itu. Aku rasa Ibuku khawatir setiap kali aku berangkat ke sekolah. Hal ini wajar karena jarak sekolah ku cukup jauh. Diperlukan waktu satu jam dengan jalan kaki menuju ke sekolah. Karena tidak ada jalan raya penghubung antara dusun ku dengan desa tempat sekolahku berada.
“Gimana Bulan, sudah dapat ijin dari orangtua?” Tanya Bu Karni, guru wali kelasku. “Masih dipikirkan, Bu” Jawabku. “Lha kok aneh, anaknya diterima di sekolah favorit kok masih harus dipikir-pikir dulu”. Bu Karni merasa heran akan keluargaku. Aku terdiam memikirkan ucapan Bu Karni. Aku jadi teringat dengan percakapan tiga hari yang lalu dengan Pak’e dan Bu’e di rumah.
“Memangnya harus ya, Nduk”, Kata Pa’e sambil meniup cangkir kopinya. “Tak kiro yo habis SD ya sudah cukup. Iso moco karo nulis, yo wis. Kamu ini kan anak perempuan. Tiga adhi mu itu laki-laki semua. Mereka yang harus sekolah sing duwur. Supoyo jadi orang pinter lan bisa menafkahi anak istrinya kelak”, Terang Bapakku panjang lebar. “Lha iyo to Nduk. SMP-mu itu nanti kan jauh dari rumah. Lha wong dari sini aja jaraknya ada dua puluh kiloan. Gak mungkin to kamu harus jalan kaki sejauh itu”, Kata Ibuku yang sedang menggendong adikku yang paling kecil. “Tapi kan bisa kos to Bu”, Jawabku dengan pelan. “Duwit teko ngendi buat bayar kos mu”, Bapakku menyahut. “Buat makan sehari-hari saja kadang susah, lha kok harus buat bayar kos!”, Kata Bapak dengan gusar. “E… yo wis to Pak, gak usah marahi anak kayak gitu”, Ibu menenangkan Bapak dengan sabar. “Gini lho Nduk, meskipun nantinya sekolahmu itu dibayari sama pemerintah, tapi masih butuh biaya to buat beli seragam, kosmu, belum sangu buat sekolah. Pa’e lan Bu’e ora sanggup, Nduk…” Kata Ibuku sambil mengelus rambutku. “Di rumah saja ya, bantu Pa’e karo Bu’e”, Pinta Ibuku.
Kata-kata Ibuku tadi meskipun halus tapi membuatku sangat kecewa. “Apakah aku harus berhenti sampai disini? Apakah aku harus seperti anak-anak perempuan yang lain di desa ini yang setelah tamat SD harus tinggal di rumah karena jauhnya SMP dari dusunku ini? Lalu untuk apa aku harus susah-susah belajar untuk menghadapi ujian? Lha wong nanti nilainya tidak bisa digunakan untuk melanjutkan sekolah?” pikirku saat itu.
Bel sekolah tanda istirahat selesai membuyarkan lamunanku. “Yakinkan Bapak sama Ibumu, ya Bulan. Kamu anak pintar. Kamu tidak boleh berhenti bersekolah”, Kata Bu Karni sebelum aku kembali ke kelas.
“Awas, belutnya jangan sampai lepas, Sar!” Teriakku. Minggu pagi seperti ini, sawah dipenuhi oleh anak-anak desa yang sedang berburu belut. “Tenang Lan…, nih lihat! Aku dapat yang besar…” Sahut Sari sambil memasukkan belut yang entah ke berapa dalam botol plastik. Sahabatku ini memang jago dalam menangkap belut. “Sudah ah, pulang yuk… Nanti dicari sama Bu’e,” Ajakku. “Ayo, tapi kita bersihkan badan dulu di sungai ya… Makku bisa marah, kalau aku pulang dengan badan penuh lumpur seperti ini.” Kata Sari sambil berjalan di atas pematang sawah menuju ke sungai kecil tak jauh dari sawah ini.
“Kamu jadi sekolah di kota, Lan?” Tanya Sari sambil membasuh tangan dan kakinya dengan air sungai yang bening dan sejuk. “Entahlah, Sar.” Jawabku sambil menarik napas panjang. “Kalau aku wis pasrah, Lan. SMP terlalu jauh dari sini. Aku gak boleh sama Mak dan Bapakku.” Kata Sari tanpa beban. “Aku sih pinginnya bisa sekolah yang tinggi, Sar. Aku pingin jadi guru, terus bikin sekolah di sini. Supaya anak-anak di dusun kita ini bisa sekolah dengan mudah. Ndak perlu lagi jalan ke desa sebelah atau gak bisa lanjut sekolah karena gak ada SMP.” Kataku sambil duduk di atas batu sungai yang besar. “Tapi… rasané kok gak mungkin. Pak’e sama Buk’e ndak kasih ijin untuk melanjutkan sekolah di kota… Kalau sudah begini, rasanya nggak semangat lagi ikut ujian nasional.” Mataku mulai basah oleh air mata. “Lha yo sabar, tho Nduk…” Sahut Pak Mo. Tanpa kita sadari Pak Mo yang sedang memandikan kerbaunya memperhatikan percakapan aku dan Sari. “Gusti Allah mboten Saré. Allah itu Maha mendengar. Ndak boleh putus asa. Berdo’a… minta supaya dikasih jalan keluar.” Kata Pak Mo dengan bijak. Kata-kata beliau membuatku tersadar bahwa masih ada harapan, meski tidak tahu dari mana datangnya, kesempatan itu masih ada. Pak Mo benar, Gusti Allah mboten Saré. Allah itu tidak pernah tidur dan selalu memperhatikan semua permintaan hambanya.
Ujian Nasional akhirnya datang juga. Dengan langkah pasti, aku tapaki lembar demi lembar soal dengan sungguh-sungguh demi sebuah keyakinan bahwa saya bisa melanjutkan sekolah sesuai dengan harapan. Meskipun sampai saat ini jawaban Bapak sama Ibu masih sama, namun setidaknya saya harus terus mencoba meyakinkan mereka. Salah satunya yaitu dengan mempersembahkan nilai yang terbaik bukti dari kesungguhan niat.
Pada saat pengumuman kelulusan, saya benar-benar bersyukur kepada Allah, bahwa saya menjadi lulusan yang terbaik di Kecamatan Wonoasih. Ini berarti harapan bagiku supaya Pak’e dan Bu’e mau merubah keputusan.
Selepas Ashar, kulihat orangtuaku itu sedang duduk beristirahat sepulang dari sawah. Dengan hati-hati ku dekati mereka untuk mengungkapkan maksudku. “Masalah ini kan sudah diputuskan, Nduk. Meskipun nilaimu bagus, tapi Pak’e gak bisa. Bukannya ndak mau… tapi biaya untuk sehari-hari di sana mau dicarikan uang dari mana? Ingat… adik-adikmu itu masih kecil.” Sekali lagi ucapan Pek’e membuatku tertunduk. Dengan lirih aku berusaha untuk menjelaskan keinginanku, “Tapi… saya masih kepingin sekolah…” “Lha ini bocah dikandhani kok gak ngerti-ngerti. Sekali gak bisa… ya gak bisa, Titik! Awas yen mbantah lagi!” Pak’e mulai marah.
Dalam bantal tempat tidurku yang usang, aku hanya bisa menangis meratapi diri. Duh Gusti Allah… apakah saya harus menerima kenyataan ini. Apakah aku harus seperti anak-anak Dusun Pilanggeneng yang lain, yang harus puas dengan bekal ijasah SD? Apakah aku harus mengubur impianku? Tidak! Rasanya hati ini tidak bisa menerima.
“Assalamu’alaikum…” Sayup-sayup kudengar suara orang mengetuk pintu. “Wa’alaikum salam…” Jawab Bu’e dan Pa’e. Rupanya Pak Mo yang datang dengan seseorang yang tidak kukenal. Setelah dipersilahkan duduk, tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting. Sayang aku tidak bisa mendengar dengan jelas, karena letak kamarku yang berada di belakang. “Bulan…, dicari sama Pak Mo Nak…” Kata Bu’e mengetuk pintu kamarku. Dengan cepat kuhapus airmataku dan berjalan keluar kamar. “Bulan, ini Bapak Harun, adik saya. Beliau ini tinggal di kota.” Kata Pak Mo memperkenalkan adiknya. “Bulan, kedatangan saya disini dengan maksud untuk memintamu menjadi anak asuh kami. Terus terang anak kami satu-satunya, Diana, sudah kuliah di Bandung. Jadi kami sering merasa kesepian di rumah. Bagaimana Bulan, mau kan?” Jelas Pak Harun. “Ya Allah, inikah pertolongan-Mu?” Kataku dalam hati. “Tadi kami sudah minta ijin sama Bapak dan Ibumu. Sekarang tinggal kamu, mau apa tidak?” Tanya Pak Mo. “Bagaimana Pak’e… Bu’e… Boleh apa tidak?” Tanyaku hati-hati. “Pak’e sama Bu’e ijinkan kamu untuk sekolah di kota, Nduk. Asalkan kamu bisa jaga diri disana.” Kata Pak’e. “Dan jangan lupa untuk sering-sering pulang ke rumah, ya.” Sambung Bu’e sambil memelukku. Alhamdulillah ya Allah… Pak Mo benar. Gusti Allah tidak pernah tidur. Asalkan kita mau berusaha dan berdo’a, pasti impian kita akan berhasil.
Impian sudah terbayang di pelupuk mata. Dengan tekad belajar sungguh-sungguh, suatu hari nanti, saya akan mengabdikan ilmu yang didapat untuk dusun tempat kelahiranku. Supaya lebih banyak anak yang bisa menggapai impiannya untuk bersekolah dan menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Cerpen Karangan: Arlina Safitri Facebook: Arlina Haryanto