Matahari mulai menyingsing di ufuk barat. Tanda sore telah usai. Gadis kecil itu hanya diam terpaku sambil menekuk lututnya di atas tempat tidur dalam kamar yang cukup nyaman itu. Jam telah menunjukkan pukul 05.30 nyatanya yang ditunggu-tunggu juga belum datang. Tok.. tok.. tok.. “Non Bita ayo diminum susunya dulu sudah malam.”. Ujar seseorang sambil mengetuk pintu kamar Bita. Dengan sigap ia turun dari tempat tidurnya. Kriek.. “Terimakasih Mbak Tini!”. Ucapnya sambil meraih segelas susu yang dibawakan oleh pembantunya. Sambil mengeluarkan senyum yang nakal ia meneguk segelas susu tadi dengan cepat. “Mbak masuk kamar Bita dulu yuk. Sebentar saja!”. “Kenapa non? Takut sendirian di kamar?”. Tanya Mbak Tini. “Buat apa takut? Bukannya rumah ini aman-aman saja?”. Bita bertanya dengan gayanya yang khas. Senyum manisnya selalu menjadi make up alami wajahnya. Tanpa basa-basi Mbak Tini memasuki kamar Bita. Awalnya sedikit sungkan. Bita mempersilahkan Mbak Tini turut duduk di kasurnya yang empuk. Ia meraih remote AC yang diletakkan di meja riasnya. Tiiit.. AC pun nyala. “Mbak. Kenapa ya Bapak, Ibu sama Kak Satya belum juga datang?”. Goresan wajah khawatir mulai muncul di raut muka Bita. “Oh, jadi ini penyebabnya. Bapak dan Ibu masih banyak kerjaan di kantor kali Non.”. Ucap Mbak Tini. “Bener juga tuh Mbak!”. Bita tersenyum kembali mendengar jawaban Mbak Tini. “Tapi Kak Satya… Bita khawatir dengan keadaannya Mbak. Semenjak diperbolehkan membawa mobil sendiri, dia jadi sering pulang malam. Eh bukan deh semenjak pindah dari Denpasar lalu ke kota ini. Padahal juga baru aja kelas 2 SMA”. “Non iri ya?”. Tanya Mbak Tini ceplas-ceplos. “Ngapain juga iri Mbak Tini!”. Ting.. Tong.. Ting.. Tong.. “Nah itu dia. Ayah sama Ibu pulang! Atau Kak Satya ya?”. Ujar Bita lekas-lekas beranjak dari tempat tidurnya. “Sebentar non. Mbak bukakan dulu pintunya!”. Ujar Mbak Tini. Bita mengangguk perlahan. Tiga sosok orang dewasa memasuki rumah Bita. “Bapak! Ibu!”. Teriak Bita sambil meletakkan tabloid milik Ibunya yang ditaruh di atas meja ruang tamu. “Gimana tadi sekolahnya?”. Tanya Ibu pada Bita penuh dengan kasih sayang. Di belakangnya ada Mbak Tini yang tadi membukakan pintu. “Baik Bu. Oh ya tadi ada pengumuman remedial Ulangan Bahasa Indonesia. Cuma Bita yang tidak diremidi di kelas 4A!”. Ujar Bita senang. “Hebatnya anak Bapak.”. Bapak mengusap rambut Bita sehingga terlihat berantakan. “Ngomong-ngomong Setya mana yang Mbak? Apa dia lagi tidur di kamarnya? Atau main PS di lantai atas? Kok dari tadi nggak kelihatan sama sekali batang hidungnya?”. Tiba-tiba Ibu kembali membahas tentang Setya. “Atau jangan-jangan dia belum pulang?”. “Ah sudah lah Bu. Setya itu laki-laki. Berapa menit lagi dia akan pulang!”. Ujar ayah tenang. Mata lebar Bita seketika melirik ke arah ayahnya. “Justru karena dia anak laki-laki pak! Kita harus protektif sama Setya. Bapak tahu kan kita ini tinggal di Kota Metropolitan, kalau Setya bergaul dengan temannya yang nggak benar mau jadi apa dia?”. “Sudah lah Bu, Bapak capek habis pulang kerja!”. Ujar bapak sambil melepas Jas kerjanya dan berlari ke arah kamar tidurnya. “Emang cuma bapak yang kerja!”. Jawab Ibu ketus. Bita hanya terdiam sedih melihat orangtuanya bertengkar.
—
Jarum pendek jam dinding kamar Bita sudah menunjuk ke angka 10. Sudah cukup malam rupanya. Bita terbangun akibat suara teriakan seseorang. “Satya! Kenapa jam segini baru pulang?”. Suara teriakan Bapak terdengar sampai ke kamar Bita. Hati Bita rasanya seperti disayat mendengar kakak semata wayangnya diamuk seperti itu. Namun kenapa jam segini Kak Satya baru pulang. Karena rasa ingin tahunya sangat tinggi. Perlahan ia membuka pintu kamarnya. Menguping pembicaraan dari balik pintu. “Eh, itu Pak. Satya baru saja selesai kerja kelompok di rumah teman.”. Ucap Kak Setya terbata-bata. “Sudahlah Pak. Satya ini capek. Satya mau tidur”. Bapak sudah mulai kewalahan dengan Kak Satya. Tiba-tiba bapak melirik ke arah pintu kamar Bita. Ia tahu sepasang bola mata sedang memperhatikannya dari pintu itu. “Siapa pun yang menguping besok tidak akan bapak antarkan ke sekolah!”. Ujar Bapak tegas. Bita hanya dapat terdiam menutup pintu kamarnya lalu menggeletakkan tubuhnya di atas tempat tidur.
—
Pagi ini benar-benar kacau. Baru saja selesai sarapan bapak sudah mulai lagi memarahi Kak Satya. Sebagai hukuman akibat kejadian pulang larut malam kemarin, Kak Setya wajib mengantarkanku ke sekolah. Awalnya Bita menolak takut Kakak menyetir dengan ugal-ugalan. Namun apa salahnya memberi kesempatan pada Kak Setya walaupun sekali saja.
—
“Kak awas kalau nanti nyetirnya kencang!”. Ancam Bita pada Kak Setya. “Santai aja Bit. Lagian ini juga baru jam setengah enam. Masuknya juga masih lama. Ngapain harus buru-buru.”. Jawab Setya santai sambil mengenakan sabuk pengaman. Kak Setya mulai menyalakan mesin mobil. Baru saja menginjak gas. Bremm… “Bisa nginjak gas dengan benar nggak sih?”. Bentak Bita. Tiba-tiba Kak Setya malah menambah kecepatan laju mobilnya. Ketika Bita berhenti mengomel ia mulai memperlambat laju kendaraannya. Cittt.. Mobil Ford Fiesta berhenti di depan pintu gerbang sekolah dasar swasta internasional. Gadis kecil bertubuh mungil itu keluar dari mobil milik Kakaknya. “Terimakasih tumpangannya. Lain kali kau tak perlu mengantarku.”. Amuk Bita pada kakaknya. Kak Setya hanya tersenyum sinis lalu melajukan mobilnya dan meninggalkan Bita.
—
Di sebuah warung kopi di pinggir kota. “Jam segini belum pulang bro. Emang bokap sama nyokap lo nggak curiga?”. Tanya seorang pemuda bertubuh kekar. “Santai aja bro. Mereka mah nggak peduli sama gue. Orang kerjaannya berangkat pagi, pulang malam.”. “Lagian lo juga nggak pulang-pulang?”. Tanya Setya yang masih berseragam SMA lengkap itu pada pemuda tadi sambil menyedot rok*k. “Orangtua gue udah meninggal semenjak gue masih 2 tahun. Ya gini deh gue jadi gelandangan nggak jelas. Seandainya orangtua gue masih hidup. Mungkin gue nggak bakalan jadi kayak gini Set.”. Pemuda itu meratapi nasibnya sambil memandang bintang di atas langit. Setya terdiam tak menjawab.
5 Bulan setelah kejadian… Akhir-akhir ini perubahan sifat Setya semakin menjadi-jadi. Pulang malam menjadi kebiasaan rutin. Keluarga hampir putus asa dalam mengatasi sikap Setya. Panggilan pihak BK sekolah sudah menjadi rapat sehari-hari antara pembimbing konseling dengan Bapak atau Ibu Setya. Sampai pada akhirnya… “Maaf, anak ibu harus tinggal di kelas 11. Dalam arti anak ibu tidak dapat naik kelas.”. Ujar wali kelas Setya saat pengambilan rapor. Awalnya ibu tak percaya. Sedikit demi sedikit butiran air mata keluar dari mata bulatnya. Ibu tak dapat menahan amarahnya. Ketika sampai di rumah ibu melemparkan buku rapot di atas meja ruang tamu. Tiba-tiba Bita datang. “Ibu! Lihat rapotku. Tadi Bapak yang mengambilnya!”. Dengan sigap Ibu membuka rapot milik Bita. Ibu tersenyum sambil menangis haru. Jejeran angka 9 berbaris rapi. Di dalam buku rapor itu juga terselip penghargaan Peringkat I paralel. Dengan cepat ibu memeluk Bita. “Ibu?”. “Apa nak?”. Tanya ibu lembut sambil merapikan rambut Bita yang acak-acakan. “Boleh Bita lihat rapor milik Kakak?”. Ibu yang masih menangis mengangguk perlahan. Bita memegang rapot kakaknya. Dibuka lembarannya satu persatu. Mata anak kecil itu terbelalak. Seketika air matanya turun dengan derasnya. Lalu ibu kembali memeluk Bita. “Ibu merasa gagal mendidik Kak Setya nak.”. Ibu menatap mata Bita dalam-dalam. “Tapi, ibu bangga sekali dengan Bita. Pertahankan prestasimu ya nak, semoga besar nanti kamu lebih sukses dari Bapak dan Ibu. Jangan lupa rajin sembahyang ya sayang. Tolong doakan agar kakakmu segera sadar.”. Tanpa Ibu dan Bita sadarai sepasang bola mata menatap mereka dari lantai atas. Seseorang yang hatinya baru terketuk. Menyesali perbuatannya. Sebut saja dia Setya.
Aryasetya atau begitu akrab di sapa Kak Setya, begitu terpukul atas kejadian ini. Kali ini dia mulai sadar kesibukan-kesibukan yang dilakukannya selama ini sama sekali tak berguna. Penyesalan memang datangnya di belakang. Namun masih ada kesempatan bagi Setya untuk mengubah sifatnya dan menjadi pribadi yang lebih mulia. Menjadi orang yang berbudi luhur, sukses dan berguna bagi orang banyak. Seperti namanya “Aryasetya” yang memiliki arti kemuliaan.
Cerpen Karangan: Ni Wayan Gitaputri Facebook: Ni Wayan Gitaputri