Kumainkan pena yang ada di tanganku. Sesekali aku membuka kamus, mencoba merangkai kata dalam bahasa inggris.
“Kamu lagi buat apa?” tanya Ajun yang sedang duduk membelakangiku. “Lagi buat cerpen.” jawabku. “Gilee… ana kira antum lagi buat compose.” “Sama aja sih.”
Ajun mengganti posisi duduknya, sekarang dia duduk membelakangiku.
“Mau kuliah dimana?” tanyanya lagi. “Pilihan pertamanya sih Kyoto Jepang, yang keduanya Amikom Yogyakarta.” “Trus tuh compose buat apa?” “Buat kelayakan menerima beasiswa ke Jepang. Do’ain aja semoga ana berhasil.” “Antum seriusan mau ke Jepang?” “Enggak lihat usaha apa yang udah ana lakukan agar bisa pergi ke Jepang. Tekad ana udah bulat buat pergi ke Jepang.” “Iya dah, ana do’ain.”
Tak lama, terdengar bel berbunyi. Pelajaran akan dimulai. Langkah kaki Ust. Harliana terdengar menggema di ruang kelas. Aku yang duduk paling belakang segera memfokuskan pandanganku pada beliau. Saat ucapannya terdengar, semua penghuni kelas termasuk diriku menghentikan segala aktivitas. Pelajaran, pun dimulai.
Hening malam bersama hembusan angin dingin menemaniku dalam ruang kelas yang hanya tinggal aku seorang. Sendirian terkadang bisa membuatku merasa nyaman dan tenang. Mencoba berulang kali mengingat-ingat kanji. Mempelajari sastra Jepang. Setidaknya aku harus menguasai tiga ratus kanji untuk mendapatkan beasiswa paling rendah ke Jepang.
Kehangatan segelas kopi menyegarkanku yang sudah mulai mengantuk. Tapi, jika aku tidur sekarang, aku akan merasa kalah jika belum bisa menguasai sepuluh kanji malam ini. Anggukan kelelahan beberapa kali aku rasakan. Aku tak membantahnya lagi. Pada dasarnya manusia itu punya titik kelemahan dan rasa lelah. Kubiarkan saja diriku terlelap dalam mimpi. Tertidur di atas kursi.
Pagi menyongsong hari. Kurasakan diriku kedinginan. Cahaya mentari menyilaukan mataku dan membuatku reflek berlari keluar kelas. Aku bangun kesiangan. Kulihat sekarang sudah jam enam pagi. Buru-buru aku melaksanakan shalat Subuh. Biarpun aku terlambat, tak akan kubiarkan diriku lalai akan shalat.
Aku kembali ke kelas. Bel bertanda masuk kelas sudah terdengar sejak tadi. Aku tak bisa membuatku terus terlambat di pagi ini. Dengan hanya bermodalkan sarapan beberapa suap nasi, tak akan melemahkanku dalam menuntu ilmu.
Nampaknya perkiraanku salah. Aku lupa akan penyakit maag yang kuderita. Aku merasakan tanganku bergetar lemas kedinginan. Sulit bagiku untuk memfokuskan ke pelajaran yang sedang Ustadz jelaskan. Ini membuatku tersiksa. Beberapa kali aku meringis kesakitan. Pada akhirnya, aku hanya bisa terlelap di pojok kelas.
Sore hari yang sangat cerah. Aku merasa senang setelah sebelumnya sempat kecewa. Biarpun aku belum bisa mendapatkan beasiswa ke Jepang, setidaknya aku sudah terdaftar sebagai peserta calon mahasiswa Amikom dengan urutan ke sembilan puluh lima. Bagiku, Amikom adalah jalan untukku agar bisa mencapai tujuanku. Aku sangat suka Anime Jepang dan Amikom mampu membuatku merasa dekat dengan pembuatan Animasi. Kesempatan ini tak akan kubiarkan saja. Aku harus bisa memantaskan diriku agar bisa kuliah disana.
Kabar itu membuatku terus memacu adrenalinku untuk memecahkan rumus-rumus yang sebelumnya ku anggap sulit. Berulang kali aku melatih diriku untuk menguasai matematika. Aku sudah membayar biaya registrasi. Aku tidak boleh sampai gagal dalam penyeleksian. Kegagalan hanya akan membuat orangtuaku kecewa.
Seorang panitia Niha’i kulihat menempelkan selembar kertas di papan pengumuman. Segera aku memeriksanya. Pengumuman tentang agenda khusus kelas akhir. Aku kaget, bagaimana bisa jadwal Rihlah Ashabul Maimanah bersamaan dengan tes masuk Amikom…
Aku dihadapkan dengan dua pilihan yang menurutku seperti dilema. Antara tes seleksi Amikom atau Rihlah Ashabul Maimanah?. Aku ingin mengikuti keduanya. Tapi sepertinya aku hanya boleh memilih satu. Aku mencoba meminta saran kepada teman-temanku tentang apa yang sebaiknya aku pilih. bagiku keduanya sangat penting.
Dalam masjid luas yang hanya tinggal beberapa orang saja di dalamnya. Aku menenangkan diriku dengan shalat malam. Semoga Allah memberikan jawaban yang terbaik untukku. Ucapan do’a yang keluar dari bibir biru kedinginan terasa penuh makna dalam kesendirian. Sajadah yang menjadi alas seakan percuma. Lantai granit yang dingin menembus rajutan benang-benang hingga menusuk-nusuk kulit. Pada malam gelap berbintang yang dingin. Pada malam itu Allah memberi jawaban yang paling tepat. Pilihan terbaik bagi diriku.
Seiring berlanjutnya hari, Hari inilah yang ditunggu-tunggu. Rasa penat setelah berjuang keras dalam menghadapi UN-TP seakan tergantikan. Aku dan teman-temanku mengemasi pakaian-pakaian ke dalam tas masing-masing. Kamu tahu hari apa ini? Hari ini adalah hari keberangkatan Rihlah Ashabul Maimanah. Aku merasa terharu dan senang akan hari ini. Kupastikan kalau pilihan ini tidaklah salah. Allah-lah yang memberikan pilihan ini kepadaku. Kupasrahkan sepenuh hidupku hanya kepada Allah.
“Tasnya sudah pada dimasukin ke dalam bus?” Tanyaku kepada Diaz. “Sudah” Jawab Diaz sambil menunjuk tas hitam kepadaku. “Akhirnya hari ini datang juga.” Kata Natsu seraya menepak pundakku dari belakang. “Bawaan antum enggak kurang?” Tanya Diaz kepadaku. Aku memperhatikan diriku yang hanya membawa tas berisikan bekal seperlunya dan tiga pasang baju bersih. “Cukuplah.”
Suara klakson bus nyaring terdengar. Para panitia segera mengkomandoi agar semuanya memasuki bus. Aku duduk di samping Komara. Aku memeluk tasku erat-erat. Seakan masih ada secercah penyesalan. Aku berusaha untuk tetap tegar menerima semua ini.
Kulihat Diaz, Natsu, Rivan dan Gilang duduk dibarisan depan. Seperti biasa. Canda dan tawa terlihat menunjukkan betapa senangnya perasaan mereka. Diaz menoleh ke belakang. “Semangat, Ganbatte.” Diaz menyemangatiku. Aku mencoba tersenyum meskipun kupaksakan. Aku terus duduk, menggigiti bibirku. Memeluk erat-erat tasku. Memperhatikan mereka yang tersenyum menyemangatiku.
“Enggak perlu disesali.” Kata Komara yang duduk di sebelahku. “Aku tahu.” Aku sulit untuk menerima semua ini. Aku mencoba mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan kejanggalan ini. “Hanya saja, aku seperti melewatkan momen yang penting.” lanjutku.
Lima bus melaju keluar dari komplek Pm Ummul Quro. Aku masih memeluk tas. Canda tawa mereka sudah tidak terlihat lagi. Lambaian tangan dari mereka seakan mengisyaratkan perpisahan. “Semoga kalian selamat sampai tujuan.” Teriakku kepada bus-bus itu. Samar-samar kudengar kata “Kamu juga.” “Sekarang giliran kita untuk pergi.”
Aku dan Komara menaiki Taxi yang sejak tadi sudah menunggu. Inilah perjalanan baru yang akan aku hadapi. Terkadang kesempatan itu tak datang dua kali dan kita semua tahu akan hal itu. Hanya saja, ketika kesempatan itu kita lewatkan tentunya hanya akan membuat penyesalan.
“…untuk daun-daun yang berguguran di taman Uqi,” “ku goreskan kata-kata yang akan selalu ku ingat,” “yang akan ikut terbawa bersama aliran air…”
Cerpen Karangan: Adil Mudhoffar Blog: http://adehaze.blogspot.com Adil Mudhoffar, Biarpun banyak cerpenku yang seakan-akan seperti sampah, tapi aku akan tetap berusaha