Pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk Hamdah kejar karena ia tahu kalau masa depan seseorang ditentukan oleh sejauh mana pendidikan mereka. Perasaan senang terus membanjiri jiwa Hamdah dan gelisah pun bergebu, dilihat dari raut wajahnya gelisah itu bukan karena rindu pada seseorang yang ia cintai melainkan karena Hamdah ingin segera menyambut pagi karena pada pagi itu adalah hari pertama ia akan merasakan suasana ruangan kelas barunya (X SMA) selepas dari kelulusan dari kelas sebelumnya (IX MTS). Matanya yang indah terus memercikkan cahaya semangat, Hamdah semakin merasa tidak sabar dia pun terus-terusan memprotes malam yang tak kunjung berlalu. Benaknya tak sedikitpun melepaskan suasana yang memang ia tunggu dan ia cita-citakan yaitu mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tidak hanya cukup sampai disitu, ia juga ingin mengenyam pendidikan sampai di perguruan tinggi. Segala cara untuk melangkap waktu agar pagi tiba terus ia lakukan walau hal itu percuma kecuali matanya terlelap. Semua buku dan seragam sekolahnya yang baru telah ia persiapkan harapnya agar tidak tergesa-gesa bila waktu yang ia nanti telah tiba. Hamdah pun mulai pasrah dengan memejamkan matanya dan ia pun terlelap menemui taman mimpi dalam tidurnya yang sama sekali tak pernah ia percaya karena mimpi baginya hanya merupakan bunga tidur belaka.
Pagi pun benar-benar menyambutnya diawali dengan lukisan fajar yang begitu indah beserta ranting harapan yang baru, mentari pagi membawa bermacam kisah yang tidak boleh tidak harus dilalui agar tidak terjebak oleh perjalanan waktu. Setelah shalat subuh tanpa membuang banyak waktu dengan percuma Hamdah pun segera bergegas mempersiapkan diri jam di dinding kamarnya menunjukkan angka 06.30 dan setelah Hamdah berpamitan pada Abah dan Uminya ia pun berangkat. Semilir angin pagi dan kicau nyanyian burung temani langkah kakinya yang menghentakkan semangat besar bahwa pendidikan merupakan hal yang paling utama yang harus ia kejar ia sadar kalau seseorang yang mencari ilmu malaikat telah membentangkan sayapnya sebagai alas.
Sudah satu minggu Hamdah menjalani kehidupannya sebagai siswi kelas X SMA dengan semangat yang tetap berkobar membakar rasa jenuh dan rasa bosan yang menghantuinya setiap hari. Sore itu Hamdah baru pulang seekolah, tiba-tiba sebelum ia sempat masuk ke kamar untuk ganti baju, shalat dzuhur dan istirahat siang Hamda dikagetkan oleh panggilan Abahnya di ruang tamu. Ruangan itu hening karena selain ucapan salam darinya Abahnya hanya diam memperhatikan Hamdah yang duduk menunduk di hadapannya. Hamdah menunggu Abahnya memulai pembicaraan karena ia sendiri tak mungkin melalkukan hal itu ia terus menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat kepada Abahnya sedikit pertanyan besar terlintas dalam benak Hamdah karena baru kali itu ia dipanggil oleh Abahnya untuk seserius itu dan sekali lagi ia juga tidak mungkin mempertanyakannya.
Setelah beberapa menit kemudian Abahnya mulai membubarkan hening yang menyelimuti mereka dalam ruangan itu. “Begini nduk, kamu itu sudah besar Abah sekarang ingin membicarakan tentang masa depan kamu yang jelas kamu sudah paham dengan apa yang Abah maksudkan. Abah dan Umi sudah tua sebenarnya Abah tidak ingin memaksakan hal ini kepadamu namun menurut Abah ini merupak keputusan yang tepat bukahkah kamu sudah tahu kalu Abah sering sakit-sakitan dan sudahlah, kamu turuti saja kemauan Abah”. Tutur Abahnya. “Kenapa hal ini harus terjadi bah, aku masih belum bisa melakukan hal itu semua aku masih ingin mengejar cita-cita yang Hamdah impikan dari kecil”. Jawab Hamdah, dengan mata yang berkaca-kaca ia tak menyangka bahwa Abahnya memanggilnya ke ruang tamu hanya untuk merampas kehidupan dan cita-citanya. “Buang jauh-jauh cita-citamu nduk kamu itu perempuan dan perempuan itu tempatnya hanya di kasur, sumur dan dapur sudah banyak perempuan di lingkungan kita yang melanjutkan pendidikannya namun apa yang mereka dapat, tidak ada kan? Kamu harus sadar agar tidak terjebak seperti mereka yang hanya membuang-buang waktu.” Bantah Abahnya dengan nada keras sembari memukulkan tangannya ke meja entah setan apa yang merasuki Abahnya siang itu mungkin karena melihat putrinya yang terlalu keras kepala. “Abah sudah menemukan calon yang cocok untukmu dan Abah pun sudah menyepakati kalau pernikahan kamu dengan putra H. Bakri akan dilangsungkan satu minggu lagi kamu harus siap dengan kehidupan barumu itu suamimu akan menanggung kehidupanmu nanti”. “Apakah Umi sudah mengetahui hal ini Bah?” tanya Hamdah karena merasa tidak puas dengan keputusan yang Abahnya buat. ”Umimu belum mengetahui hal ini tapi Abah yakin dia pasti menyetujui hal ini semua”. Jawab Abahnya. Mendengar pemaksaan Abahnya serentak dada Hamdah sesak wajahnya pucat tanpa terasa matanya mengeluarkan airmata yang tak ia inginkan. “Maafkan Hamdah Bah bukannya aku tidak ingin berbakti pada Abah tapi aku tidak bisa memenuhi permintaan Abah walaupun Abah memaksaku sekalipun aku tetap pada pendirianku, kenapa Abah tega melakukan semua ini”. “Ini untuk masa depanmu nduk”. “Hamdah tahu itu bah, Abah juga tahu kan kalau pernikahan itu harus didasari dengan cinta tanpa cinta pernikahan itu tidak pernah akan Bahagia”. “Cinta? Kamu bicara cinta…! Abah dan Umimu dulu menikah bukan karena sebuah cinta melainkan karena proses perjodohan dan pada ujung-ujungnya cinta itu tumbuh secara perlahan” Jawab Abahnya dengan menguatkan pendapatnya. “Tidak bah tanpa cinta kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan” Jawab Hamdah sembari menahan tangis. “Hamdah ke kamar dulu ingin shalat dzuhur”. Pamit Hamdah dengan membawa kesedihan dan pilihan yang harus ia tentukan antara membahagiakan kedua orangtuanya dan cita-cita yang memang ia tanam sejak kecil beban di pundaknya begitu besar untuk ia pikul sendirian. Dalam kamarnya Hamdah meratapi luka itu sendirian Uminya sebagai tempat ia mengadu sore itu sedang tidak ada di rumah karena belum pulang dari pasar.
Senja datang peralahan menggoreskan oretan indah dengan warna kuning kemerahan di kaki langit burung-burung pulang beterbangan setelah seharian mengasah pengalaman. Hujan turun membasahi seluruh desa menawarkan beragam harapan. Hamdah masih saja menagis, wajahnya murung tak seceria sebelum adanya kabar pernikahannya siang itu. Sore itu Uminya baru saja pulang sesampainya di depan pintu kamar Hamdah wajahnya terkejut melihat keadaan Hamdah yang terlihat mulai putus asa namun Uminya masih belum tahu tentang apa yang telah terjadi dengan putrinya, dengan segera Uminya menghampiri Hamdah karena ingin segera menghapus kebingungan yang membanjiri benaknya. “Kamu kenapa nduk? Ada apa, kenapa kamu menangis ayo cerita sama Umi”. Tanya Umi Hamdah sembari memeluk Hamdah dan membelai rambut hitamnya yang tak pernah tersentuh oleh cahaya mentari karena selalu tertutup kerungnya. Perlahan Hamdah bangkit dari pelukan ibunya dengan suara yang tersendak-sendak Hamdah pun mulai menceritakan tentang semua yang telah terjadi di siang itu, walau Hamdah sudah mengadukan semuanya namun airmatanya masih dan terus membasahi pipinya yang belia. “Aku tidak bisa melakukan itu aku masih ingin mengejar cita-citaku Umi tahu itu kan?”. “Sudahlah nduk jangan menangis lagi Umi akan mencoba bicara dengan Abahmu agar pernikahan itu dibatalkan”. Tutur Umi Hamdah dengan niat ingin menenangkan jiwa putrinya padahal ia belum yakin kalau Abah Hamdah akan membatalkan pernikahan itu. Mata Umi Hamdah juga ikut mengeluarkan airmata lantaran tidak kuat melihat penderitaan yang dihadapi putrinya padahal ia sudah mencoba untuk tidak menangis di depan putrinya airmata itu ia sembunyikan di balik senyumnya. “Umi menangis?” tanya Hamdah. “Umi tidak menangis, nduk Umi sangat menyayangimu umi juga ingin melihatmu mencapai cita-cita yang kau inginkan. Sudahlah hentikan tangisan itu Umi shalat dulu” jawab Umi hamdah sembari menghapus airmatanya untuk menyembunyikan airmatanya dari Hamdah dan meniggalkan Hamdah karena ia tidak ingin Hamdah tahu kalau ia juga menangis.
Hamdah sudah satu minggu tenggelam dalam luka dan Abahnya terus-menerus memaksanya untuk memilih sebuah pilihan yang amat sukar untuk ia pilih. Segala cara telah ia lakukan agar pernikahan itu dibatalkan namun hanya kesia-siaan yang ia dapatkan, cita-cita yang ia agungkan rata dengan tanah menjadi debu hanya menyisakan kenangan pernikahan itu benar-benar datang menjadi sebilah pedang yang siap merenggut semua kehidunnya. Senyum rembulan malam itu menghiasi pesta yang sudah digelar hiasan bunga-bunga mawar tampak sebagai penyempurna, ruangan tamu sudah penuh dengan para undangan waktu Hamdah untuk menjalani kehidupan yang baru sudah di depan mata hanya menunggu lentingan ijab qabul dibacakan. “Selamat ya pak semoga pernikahan putri bapak nanti bisa langgeng” ucap salah satu undangan kepada Abah Hamdah. “Amein, amein terimakasih atas kehadirannya monggo silahkan”. Sambut Abah Hamdah kepada tamunya yang datang untuk turut merayakan pernikahan itu. Dengan gaun pengantin serta hiasan bunga melati ia tampak anggun, namun matanya masih berkaca-kaca membawa luka yang terus membunuhnya dengan perlahan Uminya mengiring Hamdah ke tempat pelaminan tempat yang akan merenggut semua cita-cita yang sudah ia tata. Hamdah tak dapat berbuat apa-apa ia hanya pasrah pada nasib yang telah menjemputnya, ijab qabul sudah dibaca semua undangan mengamini agar pernikahan mereka dapat membina keluarga sakinah mawaddah warohmah.
Cerpen Karangan: Mas’usdi Facebook: Mas’udi Putra Panagan asal madura mahasiswa unitri malang program studi administrasi negara