Terik mentari di siang hari itu tak pernah dirasakannya, meski teriknya terasa sejengkal di atas kepala namun terasa sejuk baginya, peluh yang menetes tak digubrisnya, yang dipikirannya hanyalah agar anak tunggalnya bisa terus melanjutkan kuliahnya. Untuk aku, Umiku mati-matian mencari nafkah.
Namaku Zahirah, aku adalah seorang keturunan Arab, aku berasal dari Kediri dan kini aku berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Surakarta. Ini kisahku, kisah yang akan selalu aku ingat seumur hidupku, kisah betapa Umiku tersayang berusaha membesarkan aku sendirian, tanpa didampingi sosok Ayah, sendiri meski berpeluh darah dan air mata. Untukku dan Umi melakukannya demi aku, demi anak semata wayangnya ini, Umi untuk aku.
Sekitar 20 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya terdengar tangisanku, tangisan kebahagiaan untuk Umiku namun tidak bagi Eyang kakung dan putriku. Aku dilahirkan di dunia ini, berharap akan tumbuh dan dibesarkan di keluarga yang utuh, yang punya kedua orangtua yang lengkap namun dunia tak pernah adil karena Tuhan tak akan pernah memberi keadilan agar manusianya tetap berusaha berjuang dalam hidupnya untuk memperjuangkan keadilan sebagai haknya. Dan aku tak pernah mengutuk ketidakadilan Tuhan ini, keadilan yang tak kunjung aku dapat.
“Seharusnya kamu gugurin saja anak ini sejak dulu Sondah, ini anak haram, Umi dan Abi mu malu!” “Tidak Umi, aku tak akan menyesal melahirkan anak ini, ini anakku, dosa besar Umi berkata seperti itu, ini cucu Umi” Umi menangis sambil memelukku. “Umi dan Abimu tak akan pernah menganggap anak ini cucu, sejak awal Umi sudah tak setuju hubunganmu dengan Zakaria, benar saja kan! dia meninggalkanmu kembali ke negaranya di Arab sana!” “Dia ada tugas di sana Umi, dia harus kembali ke negaranya, dia akan kembali, melihat anaknya, Umi tolong Sondah!” Umi menjerit sambil menangis menarik tangan Eyangku yang hendak pergi meninggalkannnya. Aku hanya terdiam tak tahu apa-apa, oh andai saja ketika itu aku dapat ikut membantu Umi. Maafkan Zahirah Umi, maaf.
Dan aku pun tumbuh menjadi anak yang cukup pintar dan sehat, ini berkat Umi yang merawatku dengan penuh kasih sayang, yang mengajarkan aku tentang arti ketulusan. Dan tiba saatnya aku melanjutkan pendidikan ke SMA, aku tahu Umi pasti sudah lelah mencari nafkah untuk membiayai hidup dan sekolahku, hingga tak kau rasakan penyakit mu Umi, penyakit yang kau simpan sendiri.
Dan Umi memilihkan sekolah Farmasi untukku karena Umi ingin aku bersekolah di tempat yang bagus. Meskipun banyak saudara-saudara Umi yang menentang dan mencemooh Umi namun Umi hanya bisa diam dan sok acuh namun aku tahu Umi menangis di dalam batin.
“Beneran Mbak mau menyekolahkan Zahirah ke sekolah Farmasi?” “Iya, memangnya kenapa?” “Ya gak kenapa-kenapa sih Mbak, tapi ya disesuaikan kemampuan dong Mbak, Mbak kan gak punya suami, memangnya mampu bayar, mahal loh Mbak!” “Kalau diniatin pasti juga mampu kok, Mbak mau Zahirah jadi orang sukses” “Alaaahh, terserah Mbak aja deh, dibilangin ngeyel, kalau ada apa-apa jangan ngemis minta bantuan loh ya” Sindir tanteku yang membuat hati Umiku semakin tercabik-cabik.
Aku yang sedari tadi duduk di pojokan kamar, yang diam-diam mendengarkan semua pembicaraan itu, aku yang sedari tadi hanya bisa diam menangis betapa tak ada yang peduli akan keadaan aku dan Umiku, baik itu saudara-saudara maupun Eyangku. Kami merasa sendirian, benar-benar sendirian. Aku benar-benar merindukan sosok Ayah, sosok yang tak pernah aku rasakan hangat kasih sayangnya. Dan setiap kali aku bertanya pada Umi, Umi hanya berkata “Ayah sedang bertugas di Arab, dia seorang tentara Arab, dia ganteng dan wajahnya menghanyutkan hati Umi” Begitulah candaan Umi setiap kali aku tanya tentang sosok Ayah.
Sudah 3 tahun berlalu dan tibalah hari kelulusanku. Dengan wajah bangga dan bahagia Umi mengambil ijazah sekolahku. Umi telah membuktikan pada saudara-saudara Umi bahwa Umi telah mampu melakukannya. Aku pun ikut bangga pada Umi. Oh Umiku, aku sayang Umi, Umi untuk aku.
Kemudian Umi mendaftarkan aku ke sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Surakarta, Umi memilihkan Perguruan Tinggi yang prodi Farmasinya berakreditasi bagus dan dipilihlah kampus ini sebagai tempat aku menuntut ilmu selanjutnya, untuk membahagiakan Umi. Umi masih tetap bersemangat berwirausaha, apapun Umi lakukan, dari menyewakan truk hingga bisnis lainnya.
Umi menjadi ibu sekaligus Ayah untukku. Namun suatu hari, terjadilah peristiwa yang membuat raga dan batinku benar-benar hancur dan tak berdaya. Umi tak mampu lagi menahan penyakit yang Umi sembunyikan dariku, dokter mendiagnosis Umi mengidap penyakit kanker payudara dan sudah stadium tinggi. Aku pun menangis memeluk Umi, menyesal dan merasa bodoh kenapa tak pernah aku ketahui penyakit Umi ini, Umi terlalu pintar menyembunyikannya dariku.
Umi pun masih saja terus saja bekerja mencari nafkah sendiri untuk biaya kuliahku dan untuk biaya pengobatan penyakit Umi. Aku ingin membantu Umi namun Umi terus saja melarangku untuk ikut bekerja membantu Umi.
“Sudahlah Zah, kamu mikirin kuliahmu saja ya, kamu boleh bantu Umi tapi setelah lulus saja ya, Umi masih mampu kok” Itu yang selalu Umi katakan padaku.
Mulai sekarang aku berjanji pada Umi, aku berjanji akan membahagiakan Umi. Aku akan terus belajar agar bisa membantu Umi suatu saat nanti. Doaku menyertai Umi, bertahanlah Umiku sayang, tetap bertahan dan jangan dengarkan omongan orang lain pada kita. Mereka hanya iri dan dengki pada kita. Iri karena Umi mampu menyekolahkan aku hingga seperti sekarang ini, menyekolahkan dan menguliahkan aku di jurusan Farmasi yang bukan jurusan yang murah biayanya. Bertahanlah Umi, engkaulah semangat hidupku, engkaulah pahlawanku, yang selalu memperjuangkan hidupku.
Cerpen Karangan: Tami Nur Cahyani Blog: pussycatsdiary.blogspot.com