Indonesia tanah air beta Pusaka abadi nan jaya Indonesia sejak dulu kala tetap dipuja-puja bangsa
Serentak puluhan suara menggemakan sebuah ruangan dari sudun ke sudut, ribuan tepuk tangan pun membuat seluruh para pendengar harus merinding dan terkagum, dan itu semua memiliki sebuah rasa bangga pada wajah pengabdian seorang guru yang sejak tadi menatap penuh senyuman. Aisah soraya, seorang guru sekolah dasar, yang sangat berjasa, di tengah kesibukannya. Ia adalah seorang pahlawan bangsa, dimana banyak anak-anak menggantungkan harapn dan impian nya pada wanita separuh baya tersebut.
Sekolah mentari, dimana sebuah sekolah tanpa seragam, tanpa sepatu, dan bahkan tanpa buku atau alat tulis, dimana alam menjadi sebuah buku cetak, ingatan menjadi sebuah buku tulis dan berbicara menjadi sebuah alat tulis. Inilah mereka, namun mereka memiliki seorang yang mengajarkan banyak tentang arti impian, arti harapan, dan bahwa ada gelap sebelum terang ada ada kehidupan sebelum kematian itu lah ia. Seorang guru dengan semangat yang luar biasa, dengan mimpi yang ia gantungkan pada langit biru.
Dari kejauhan terlihatlah seorang wanita dengn segenap lelahnya yang tergambar pada wajah yang tertunduk, dengan langkah perlahan menuju bangunan yang rapuh termakan usia, namun senyumya kembali membawa semangat baru ketika ia melihat semangat yang tergambar pada canda tawa anak-anaknya. “Sore anak-anak!!” Sapanya dengan senyum yang mengembang. “Sore bu..” serentak jawab sekumpulan anak-anak di pojok bangunan buruk ini. “mari kita masuk untuk belajar..”
Langkah nan penuh harapan pun mulai menyongsong kepingan-kepingan mimpi lewat jendela khayalan yang tergambar dari cerita-cerita bu Aisah tentang indonesia. Perjuangannya, mimpinya, kekayaannya, dan semua tentang indonesia membangun sebuah mimpi pada benak mereka. Di tengah cerita seketika pandangannya tertuju pada wajah kusam di sebuah pojok bangunan, baju yang kini memudar dengan debu-debu yang menempel di tubuh kurus kering dengan segenap lamunannya ia tertunduk.
Pahlawan cilik ia adalah anak yang luar biasa Bintang namanya, berharap ia akan terang seperti bintang, terang dengan cahayanya sendiri, itulah harapan akan namanya. Dan kini ia telah menjadi penerang untuk keluarganya. “Bintang sedang apa di situ, mari masuk!!!” sambil menepuk pundak anak tersebut. “aku tak mau belajar.” dengan logat khas bataknya. “Belajar itu untuk kau juga nantinya.. biar kelak kau bisa membaca, menghitung, jadi jika kau kaya nanti tidak ditipu orang.” “Ahh, aku mau kerja saja, gak perlu lah, gara-gara belajar tak makan pulak adik awak nanti. Tak mungkin ku suruh makan pelajaran. Mana kenyang, sembari melangkahkan kakinya meninggalkan bu Aisah yang berdiri memandanginya dengan senyum di bibirnya. “hati-hati Bintang, kalau kau mau belajar, kami di sini selalu membuka pintu untuk kau.” sedekit berteriak.
Senja berganti malam, wanita separuh baya ini, duduk di depan lampu cuplik memandangi sebuah buku dengan kacamatanya yang bulat, dan jaket tebal yang dikenakannya. Pikirannya melayang matanya berkaca, dalam lubuk hatinya yang dalam ia berpikir, siapa yang akan membawa nasib-nasib putra putri bangsa. Siapa yang akan menuntunnya menuju impian mereka. Negeri ini memang kaya. Kaya akan alamnya, budayanya, orangnya. Namun lihat putra-putri bangsa menangis di pojok malam.
Merah putih Termenung. Terurai berdebu di pojok gedung bekas penjajah. Pancasila meronta, garuda terkasih melayang perih menyaksikan indonesia. “Inikah negeriku?” Air matanya berlinang bersama sepercik harapan dalam dirinya, dalam doa-doa yang ia panjatkan untuk negeri ini. Namun malam pun berlalu begitu saja seperti rIbuan malam-malam sebelumnya hingga matahari pagi pun mengintip dari sela-sela kecil membangunkan indonesia yang masih tertidur.
Dengan harapan yang sama, langkah yang kokoh itu pun mulai menjelajahi jalanan sempit, becek dan berbatu namun semangatnya tak pernah pudar. Perlahan namun pasti, dan kini ia berada di depan pintu sekolah dengan ratusan anak berseragam merah putih, jauh berbeda antara sekolah ini dan anak yang ia didik di sebuah sekolah mentari, namun semangatnya dan pengalamannya ia suka pada sekolah mentari.
Usia yang saat ini ada dalam diri bu Aisah membuat penyakin suka bermain dalam diri wanita separuh baya ini, batuk-batuknya seolah mengambarkan lelah yang mendalam. Selesai mengajar di sekolah negeri ini, ia langsung beranjak menuju sekolah mentari, bertemu dengan anak-anak bengsa mandiri, dan ada yang berbeda di sini, seorang anak yang dikenalnya kini berada di depan pintu masuk yang memang sudah rusak. “Selamat sore Ibu,” “Bintang, sedang apa kau di sini?” “aku mau belajar membaca dan menulis karena nanti aku akan menjadi orang kaya”
Senyumnya pun mengembang dan tangan yang lembut ini pun mengelus rambut kusam Bintang. “Ibu bangga pada kau Bintang.” Canda tawa itu pun terasa semakin lengkap, segenap beban hidup pun kini lenyap bersama canda tawa mereka.
Namun seketika hari-hari ini pun berubah menjadi hari yang mati, sunyi, senyap, tak ada tawa, merenung berjalan kesana-kemari tanpa tujuan. Dua hari sudah wajah pejuang tak kunjung terlihat, nasihatnya tak lagi terdengar dan sapaan hangatnya tak lagi terasa. Kerinduan anak pada sang Ibu kini membuat mereka merasakan kehilangan sang guru yang sangat semangat, mereka pun memutuskan untuk mencari pahlawan tanpa tanda jasa tersebut menyelusuri gang-gang sempit dan becek itu, dan kini mereka sampai pada sebuah rumah kecil yang bersih terlihat dari kejauhan.
“Asalamualaikum. Asalamualaikum.” Tak sedikit pun jawaban itu terdengar, bahkan tanda-tanda kehidupan di dalam pun nyaris tak ada. Tiba-tiba, seorang mengejutkan dari balik gubuk reot berkata. “Cari siapa?” “Ibu Aisah nek, ia adalah guru kami, 2 haru sudah kami tak melihatnya” “ya sudah sejak kemaren pintu ini tak terbuka. Mungkin penghuninya sudah pindah.”
Kekecewaan pun jelas tergambar pada wajah-wajah mereka ketika mendengar pernyataan seorang Nenek, yang seolah mengetahui hal ini, dan mereka hanya diam dengan tundukan kekecewaannya perlahan mereka melangkahkan kaki meninggalkan tempat ini, namun tiba tiba. “Uhuk. Uhuk, uhuk!!” Suara batuk dari dalam terdengar jelas kami pun serentak menoleh dan memandangi lagi rumah itu berharap ada pertanda lainnya. “Uhuk, uhuk!!” suara yang berulang-ulang pun meyakinkan mereka untuk masuk ke rumah tua ini, seketika kami melihat seorang wanita tua terbaring lemah di tempat tidur, matanya yang sayu, bibir yang pucat dan tubuh yang lemah ia menatap mata demi mata muridnya.
“Ibu Aisaaahh!!!” jerit seorang anak memeluk bu Aisah yang terbaring. “Ibuuu!!” susul yang lain memeluk pahlawannya yang kini tak berdaya. Senyum wanita ini pun tak pernah luput dari wajahnya, air mata nya berlinang membasahi pipi yang setengah keriput.
“tetap belajar maskipun Ibu tidak lagi menemani kalian, maski tempat itu akan roboh dengan sendirinya,” dengan terbata-bata kata-kata itu keluar dari bibir bu Aisah.
Seakan tak ingin kehilangan sang pahlawan, dengan erat mereka memeluk sang pahlawan tanpa tanda jasa ini. Beberapa menit kemudian tetangga pun berdatangan melihat jerit tangis dari dalam rumah, dan dengan damai mata sang guru pun terpejam perlahan, menghembuskan napasnya di pelukan sang murid tercintanya. Ribuan cerita telah berhasil membangun mimpi-mimpi di tengah kerasnya hidup. Berawal dari cerita kami mampu menjebol mimpi bersama semangat bu Aisah.
Cerpen Karangan: Via Lusinia Facebook: Chipiul