Hujan deras yang tak kunjung reda saat itu membuat Evendi sedikit terlambat berangkat ke kampus, setelah semua jalan mulai mengering, dengan motor jupiter mx ia berangkat ke kampus tercintanya. Waktu itu sedang jadwal mata kuliah Matematika. Evendi tidak sadar bahwa dosennya telah berang setengah mati menunggu mahasiswanya banyak yang belum hadir. Tik-tok tik-tok suara sepatu sepatu menyentuh lantai, dengan nada pelan.
“Assalamualaikum, Bu,” Evendi memberi salam dengan hati deg-degan. “Waalaikumsalam, kenapa kamu terlambat?” Tanya dosen matematika itu dengan geram. “Maaf Bu tadi terjebak hujan,” sahut Evendi seraya melihat ke arah lantai. “Oh ya sudah kamu pulang saja, ini sudah terlambat tidak bisa masuk lagi, kamu jangan seenaknya saja ya?” Tegas dosennya dengan nada tinggi. “Kok Ibu gitu sih, Ibu kan bisa lihat keadaan saya yang sudah basah kuyup seperti ini, kenapa harus menyuruh saya pulang?” Tambah Evendi dengan nada loyo dan sedikit takut. “Alam sedang tidak mendukung, tadinya di daerah saya hujan, mana mungkin saya datang tepat waktu,” tandas Evendi.
Dosen matematika yang juga bernama Lasmini itu tidak lagi menjawab, ia langsung memasang wajah muram, apalagi saat itu hanya ada tiga mahasiswa yang hadir. Evendi dengan wajah pucat dan penuh keringat bercampur air hujan tetap masuk mengikuti mata kuliah itu, Ibu Lasmini tetap memberi alpa di absen, wajah pucat dan lutut gemetar nampak dari tubuh Evendi, ia mulai tidak tenang saat duduk di kursi, matanya sesekali melihat ke luar jendela ruangan, entah apa yang dilihatnya.
Tiga bulan berlalu, dia dan kawan-kawan mengikuti ujian tertulis, kertas jawaban Evendi terisi dengan penuh, tidak ada halaman yang tersisa dari dua lembar kertas jawaban yang diberikan. Evendi mulai melangkah ke luar dari ruangan, wajahnya terlihat sangat ceria karena bisa menyelesaikan semua soal tanpa lagi mengingat insiden perdebatannya dulu. Selang satu minggu, akhirnya hasil ujian sudah bisa dinikmati.
Evendi sudah tidak sabar untuk melihatnya, wajahnya kaget dan matanya terbelalak saat melihat nilai ujian yang didapatinya adalah ‘D’ sudut ruangan yang kumuh dan tak terawat di samping jurusannya menjadi tempat renungan bagi Evendi. Paras putihnya penuh dengan linangan air mata, ia hanya tertunduk lesu diam seribu bahasa. Tidak ada kata-kata yang ke luar dari mulutnya, hatinya hancur berkeping-keping saat melihat mading yang berisikan nilai hasil usaha satu semesternya.
Kondisi fisiknya pucat, sedikit rasa penyesalan datang, kenapa ia memilih jurusan FKIP Ekonomi di Universitas Serambi Mekkah itu. Satu jam ia habiskan waktu untuk meratapi nasibnya, kemudian Evendi menghidupkan motornya dan kembali pulang ke rumah. Dia larut dalam keadaan, Evendi mencoba untuk melupakan semua apa yang baru saja terjadi. Tidak pernah patah arang, semangat untuk mencoba lagi selalu tumbuh dalam dirinya.
Semester selanjutnya ia kembali mendaftar mata pelajaran Ibu Lasmini itu, semester baru berjalan lancar, dia mulai bertegur sapa lagi dengan dosennya itu. Suasana sudah kondusif, saat ujian tiba, pulpen Evendi menari bebas di atas lembar jawaban yang diberikan, semua diisi penuh oleh Evendi tanpa tersisa sedikit pun. Besok Senin tanggal 15 Oktober 2014 nilai akan ditempelkan di mading (majalah dinding) jurusan.
Perasaan senang mengalahkan rasa dingin yang menusuk sampai ke dalam tulang, jam enam subuh Evendi bangun, merapikan tempat tidur sebentar, dan langsung menyalakan motornya. Sebelum matahari ke luar dari peraduannya dia bergegas menuju kampus, walaupun agak jauh dari tempat kediamannya. Dia begitu semangat untuk melihat hasil kerja kerasnya. Evendi sudah tiba di tempat tujuan.
Hatinya yang penuh tanda tanya dalam sekejap berubah, tidak ada senyum terlihat dari bibirnya, dalam sekejap wajahnya menjadi pucat pasi. Matanya melotot saat melihat namanya menerima nilai ‘D’ lagi. Tidak ingin berlama-lama, dia langsung menyalakan motornya untuk kembali pulang. Kasur yang empuk menjadi tempat ia mengadu, “kenapa nasibku seperti ini, akankah ada keberuntungan menghampiriku?” Keluh Evendi dengan matanya sedikit berkaca-kaca.
Tahun depan ia kembali mencoba untuk yang terakhir kali, siapa tahu nasib baik ada bersamanya. Masuk kuliah Evendi datang tepat waktu, patuh, taat, dan semua perintah dosen iya kerjakan, hampir tidak ada hari ia datang lebih cepat dari kawan-kawannya yang lain. Ternyata setelah selesai mengikuti mata kuliah itu lagi, nasib mujur masih belum bersahabat dengannya, dia kembali menerima nilai seperti pertama mengikuti pelajaran itu.
Tiga hari mengurung diri di rumah, Evendi seperti orang kehilangan istri, seakan ia tidak sanggup menerima kenyataan pahit itu. Segala cara telah dilakukan, namun semuanya tidak ada arti, tiga jeriken bensin iya habiskan hanya untuk mencari nilai ‘A,’ tapi entah mengapa dosennya itu tidak pernah mengerti.
Tiga malam Evendi tidur tidak nyenyak makan tak enak, ia harus memutar otak tujuh kali lipat untuk mencari solusi agar ia bisa mendapatkan nilai bagus. Ia sudah mulai senyum-senyum sendiri. Pagi buta itu Evendi menghidupkan tunggangannya, ia memacu kuda besinya 120 Kmj demi berangkat ke rumah dosen yang telah memberikan tiga kali nilai jelek kepadanya itu. Evendi sudah sampai di depan pintu rumah dosennya.
“Tok-tok-tok,” bunyi suara ketukan pintu. “Iya, siapa di luar?” Tanya Ibu Lasmini. “Oeh…. kamu Evendi, ngapain kamu ke sini, siapa suruh pagi-pagi ke rumah saya?” Lanjut dosennya itu. “Aku heran Bu, kenapa Ibu terus menyiksa saya, tiga kali saya ikut mata kuliah Ibu, tapi kenapa Ibu memberikan nilai itu terus kepadaku, apa salahku? Tolong aku Bu, nilai yang Ibu berikan tidak cukup membuat hati ini bahagia,” mohon Evendi sedih.
“Sudah-sudah, aku tidak suka melihat orang seperti kamu, minta saja nilai A di rumahmu nanti, saya lagi sibuk jangan kamu ganggu.” Jawab dosen Matematika itu tegas. “Ya sudah bu kalau begitu, boleh saya pinjam parangnya sebentar?” pinta Evendi. “Mau kamu bawa ke mana parang saya?” Gumam dosen itu.
Evendi hanya membisu, melihat ada pohon kelapa janda merana di halaman rumah Ibu Lasmini, mahasiswa itu langsung memanjatnya, dahan-dahan kelapa yang sudah kering ia tebas semua. Kelapa muda dan tua dipetik semua, pohon kelapa itu yang dulu tidak terawat, sekarang tidak lagi berantakan, semua buah kelapa selesai dikupasnya.
“Segala cara telah aku lakukan, tapi Ibu masih saja tidak berbaik hati, hanya ini yang terakhir bisa saya lakukan Bu,” mohon Evendi dengan jantung berdebar kencang. Melihat kenyataan yang baru dilakukan anak muridnya, dosen Serambi Mekkah itu seperti terkunci mulutnya, hanya senyum lebar yang menghiasi paras cantik itu. “Aduh kamu Evendi, kamu sudah Ibu izinkan pulang, oya ini ada sedikit jajan dari saya untukmu Nak, tolong gunakan untuk mengisi bensinmu.”
Cerpen Karangan: Teuku Mukhlis Facebook: Teuku Mukhlisin Helg Alumnus Sekolah Hamzah Fansuri, Banda Aceh.