Pagi itu, angin berdesir melambaikan dedaunan. Mentari tampak memancarkan cahayanya ke bumi. Seorang gadis remaja mengayuh sepedanya menyusuri jalan. Digendongnya tas berwarna biru. Ia menuju tempat di mana ia menuntut ilmu. SMAN Bumi Pertiwi. Jarak dari rumah ke sekolahnya yang cukup jauh tak menyurutkan langkah Eli untuk meraih cita-citanya. Meskipun dalam keterbatasan ekonomi, Eli yakin pendidikanlah hal penting bagi masa depannya.
Sekolah mewah bercat hijau dengan pepohonan yang rindang dan asri berdiri megah di depannya. Ia selalu tersenyum ramah kepada siapa saja meski banyak yang mencemooh dan menghinanya. Namun tak sedikit juga yang masih bersimpati padanya. Meskipun bukan orang yang berada, tapi Eli mempunyai otak yang cemerlang. Dia selalu mendapat peringkat 1. Jadi walaupun ibunya adalah penjual kue dan ayahnya hanya petani biasa, ia masih bisa sekolah berkat beasiswa yang dia raih.
“El, PR Fisikamu sudah?” tanya Marissa, sahabat sekaligus teman sebangkunya. “Sudah. Ini, oh ya itu di papan mading ada pengumuman apa ya? Rame banget,” tanya Eli. “ASEAN scholarship. Di Singapura. Kamu ikut saja, siapa tahu dapat. Ini peluang besar loh,” jawab Marissa yang tengah sibuk menyalin PR. “Ya ampun, lulus SMA ini saja aku sudah sangat bersyukur. Mimpiku tidak muluk-muluk kok. Membuat orangtuaku bahagia saja aku sudah senang,” Eli bergegas membuka bukunya. “Elisa, kalau kamu ikut tesnya, kamu pasti lolos. Tanya saja pada orangtuamu, pasti mereka mendukung.”
Terlintas di pikirannya, Negeri yang terkenal dengan patung singanya itu. Itu hanya mimpi baginya. Sekolah di sana? Sekolah di negeri sendiri saja masih serba kurang. Ia jadi ingat kata-kata ibunya tempo itu. “Eli, kita ini orang miskin. Lihat! adikmu juga harus sekolah Nak. Tidak apa kan kalau kamu hanya lulus SMA?” kata ibu. Eli hanya tersenyum dan mengangguk. “El! Malah ngelamun. Sudah, dipikir nanti saja. Sudah bel!” Kata Marissa.
Pulang sekolah, Elisa bimbang di rumahnya. Ia ingin memberitahu orangtuanya tapi tidak tega. Apakah nanti orangtuanya akan menolak. Namun akhirnya ia sampai hati juga menyampaikan hal itu sewaktu makan malam. “Ya, kalau kamu mau ya akan kami usahakan. Pendidikan itu sangat penting, El. Nanti Ayah dan Ibu akan berusaha. Yang penting kamu sukses. Biar hidupmu tidak seperti kami,” kata ayah. “Jadi, kalian mengizinkan?” tanya Eli ragu. Ayah dan ibu mengangguk.
Esoknya, Eli memberitahukan ini kepada Marissa. Mereka berdua sangat senang dan saling mendukung. Kepala sekolah dan guru mereka juga mendukung. Dari sekolah Eli sendiri, ada 10 anak yang ikut seleksi. Mendekati hari H, mereka berangkat ke kota. Menyelesaikan berbagai tes. Eli menyelesaikan berbagai tes dengan penuh keyakinan. Namun ia sedikit ragu. Seleksinya begitu ketat dan hanya akan dipilih 5 orang dari ratusan orang. Seraya menunggu Eli pulang, keluarga Eli terus mendoakannya. Akhirnya tak lama, Eli pulang. Wajahnya masam.
“Sudah tidak apa-apa itu mungkin bukan rezeki kamu,” kata ibu membelai rambut Elisa. “Ibu, Ayah, aku lolos!”
Cerpen Karangan: Evi Herniyati Facebook: Evi Herniyati