“Beginilah nasib tanah subur itu. Daerah yang berkembang akan menjadi maju, dan daerah yang tertinggal akan menjadi melarat.” ucap Pak Aleo, guru baru kami. Beberapa kali ia menatap papan tulis di belakangnya seraya memutar-mutar kapur dengan sebelah tangan. “Baiklah pelajaran selesai. Tugas! Hafalkan peta.” lanjutnya kemudian ke luar meninggalkan kelas kami.
Aku membalikkan wajahku ke belakang menatap teman-teman seumuranku. Beberapa dari mereka kian lesu. Wajah dan kulit yang berwarna gelap karena tersengat panas mentari itu kini tidak menyinarkan ketegarannya. Beginilah kondisi kami, anak desa yang terpinggirkan. Bersekolah di satu kelas dengan dinding yang berupa anyaman bambu, juga lantai yang beralaskan tanah. Bila hujan melanda, maka kelas kami akan kebocoran. Namun setidaknya kami masih bersyukur memiliki gubuk ilmu ini. Anak di desaku selalu senang dengan yang namanya menuntut ilmu. Namun sejak kepergian Pak Santoso teman-temanku memilih untuk bermain di sawah. Motivasi mereka telah hilang.
Pak Santoso adalah sosok guru yang amat kami rindukan. Kami merindukan tubuh jangkung itu, kamu merindukan decitan kapurnya, kami merindukan suasana yang khas, dan juga pelajaran-pelajaran berharganya. Beliau selalu menghormati pendapat kami, walau kami lebih muda darinya. Juga walaupun kami hanya sebatas anak desa, anak petani. “Anak desa, juga anak manusia. Anak dari tanah air tumpah darah Indonesia. Sebagai anak generasi muda yang layak memajukan negara! Jadilah generasi muda yang baru. Indonesia baru!” salah satu ujaran Pak Aleo.
Dalam tiap pengajarannya selalu ada pekikan motivasi untuk kami. Bagiku tiap detik bersamanya adalah sebuah kesempatan besar untuk menimba banyak ilmu. Di mataku beliau sudah lebih dari guruku, sahabatku, bahkan kakakku. Beliau seperti keluargaku tersayang. Satu-satunya peninggalan beliau adalah buku sastra yang beliau banggakan yang diberikan padaku. Buku tebal seperti kamus Bahasa Indonesia. “Sastra Indonesia adalah kebanggaan bangsa kita. Bahasa Indonesia adalah harta terbesar negara kita.” Satu lagi kutipan Pak Aleo yang ku ingat. Bila senja tiba, aku, Jay, Rey, dan Pak Aleo biasanya bermain di lapangan. Terkadang kami bermain sepak bola, belajar bersama, bermain layang-layang, seperti sekarang ini. Namun kini salah seorang dari kami tidak lagi bermain bersama kami. Pak Aleo.
“Jay jika senja tiba, akankah mentari lupa terbit esok hari?” tanya Rey tiba-tiba, seraya kami membuka peta. “Aku juga tidak tahu, Rey.” jawab Jay singkat seakan ingin fokus dengan tugas Pak Aleo. “Lantas untuk apa kita belajar seperti ini kalau kita akan tetap saja menjadi seorang petani?” tanya Rey kembali seakan ingin mendapat jawaban.
Sementara Rey dan Jay asyik berdebat, aku memilih diam dan duduk manis dengan petaku, agar cepat menyelesaikan tugas Pak Santoso dan kemudian membaca buku sastra Pak Santoso. Tak lama suara perdebatan kedua temanku tak terdengar lagi. Aku pun menengok ke arah kedua temanku yang sedang mendongak ke arah belakang punggungku. Refleks aku mengikuti tatapan kedua temanku.
“Pak Aleo, selamat sore.” ucap kami serempak. Beliau mengangguk dan sejenak menatap kami bertiga, kemudian tatapannya menjurus ke arah tiga buah peta yang terpaparkan di tanah, terakhir beliau menatap buku tua itu. “Sastra Indonesia.” gumam Pak Aleo. Beliau pun bergabung duduk bersama kami. “Kalian suka sastra, Nak? Ini peninggalannya?” tanyanya. Kami bertiga mengangguk. Lalu aku berpikir sejenak. “Bapak kenal dengan Pak Santoso?” tanyaku.
Beliau menghela napas panjang dan seakan udara tersebut dihembuskan dengan kian beratnya. “Ia sahabat saya.” ucapnya. “Kalian suka sastra apa?” tanyanya mengubah topik pembicaraan. “Puisi.” Ucap kami serempak seakan tak mau ketinggalan. “Kalian ikutlah bersama Bapak lusa, kita berangkat ke kota. Di sana kalian akan ikut lomba menulis puisi.” ajaknya. Kami menatap satu sama lain dengan takjub. Kota? Lomba? Itu dua hal yang tak pernah kami lihat dan lakukan. Sungguh luar biasa. Tapi sejenak kemudian aku diserang berbagai pertanyaan.
“Tapi bagaimana caranya kita ke kota, Pak?” tanyaku. “Kita naik mobil. Nanti juga Bapak buatkan surat untuk orangtua kalian.” katanya. “Mobil? Itu benda?” tanya Jay. “Mobil… itu… benda, eh kendaraan bermesin, memiliki 4 buah pintu, dan bergerak dengan 4 buah roda.” jelasnya kaku dan sedikit kesulitan.
“Hah?!” tanya kami serempak dan lagi-lagi kami saling bertatap mata. Bingung. Pak Aleo pun menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, mungkin ini kali pertama dia menemukan orang sebegini desanya emm tepatnya sebegini kampungannya hingga tak tahu yang namanya mobil. “Mungkin benda itu terkenal di kota.” aku membatin. “Kalian lihat sajalah nanti.” katanya sambil tersenyum kaku.
Sungguh berbeda dengan Pak Santoso yang selalu ceria bila berada di dekat kami. Beliau pasti akan menceritakan hal yang tak kami mengerti dengan detail tanpa lelah. Ah, sungguh aneh. Katanya mereka sahabat tapi sifat mereka seperti bumi dan langit. Kami pun mengangguk dengan hati sumbringah. Tiga orang anak desa akan ke kota. “Tapi bagaimana dengan ibu, ya? Akankah Ibu setuju?” aku membatin.
—
Benar nyatanya, esok paginya kami mendapat surat dari Pak Aleo. Ketika jam pelajaran usai, aku buru-buru kembali ke gubuk kecil di mana aku, ibu, dan adikku tinggal. Di hadapan ibuku aku tersenyum riang seraya menyodorkan surat berwarna putih tak beramplop itu.
“Apa ini?” tanya ibuku yang sedikit menghapuskan wajah riangku. “Surat.” Jawabku. “Surat? Untuk dan dari siapa?” tanya Ibu SPJ, singkat, padat, dan jelas. Sepertinya Ibu benar-benar tak menginginkan ini cepat selesai. “Dari guru baruku dan untuk Ibu.” jawabku singkat. Kemudian kini surat itu sudah mendarat tepat di tangan ibuku. Dibacanya surat itu dengan hati-hati. “Lomba di kota?” tanya ibuku sambil menutup kembali surat itu dan kini menatapku. “Jauhnya.”
Sejenak ada sebuah bayangan yang menyeramkan yang tumbuh di hatiku. Makin lama makin menjadi-jadi dan mengkhawatirkanku. Ibu menggelengkan kepala. “Gurumu itu terlalu berlebihan. Ibu tidak setuju.” jawabnya. Benar, tidak setuju. Sepercik asa di ubun-ubunku menguap. Rasa sedih tumbuh di batinku, namun mau tak mau aku tetap harus menemui teman-temanku di lapang seperti biasa. Aku mendekati kedua temanku yang berseri-seri dengan percakapan mereka. Sepertinya surat itu disetujui oleh orangtua mereka. Aku menatap Jay, dengan rambut ikalnya, kemudian berganti pada sosok Rey dengan tubuh jangkungnya.
“Jay, Rey, kalian akan pergi berdua.” ucapku, namun mereka menatapku bingung. “Kenapa?” tanya Jay. “Ibuku tak setuju.” jawabku. Kami saling menatap. Ada seberkas kesedihan terselip di senja ini namun tiba-tiba Jay menatapku dan Rey. “Kita minta tolong saja pada Pak Aeo.” ucapnya. Aku tahu benar, Jay memang anak yang cerdas. Dia banyak ide, sama seperti ayahnya yang sering membantu ibuku untuk menjajakkan makanan buatan ibuku. Katanya masakan ibu selalu enak dan pasti laris, dan benar juga. Aku dan Rey mengangguk setuju.
—
Sesuai rencana kami, Pak Aleo datang ke rumahku dan mereka berdua berbicara. Aku tak ingin menguping karena itu tidak sopan rasanya. Entah apa yang Pak Aleo sampaikan hingga akhirnya Ibu setuju tentang keberangkatan itu. “Besok kita ke kota!” jerit Jay bahagia. “Soal lomba kalian sudah belajar?” tanyaku. “Bukankah soal sastra kita belajar tiap sore dengan buku Pak Santoso?” tanya Rey singkat tapi membuat gelak kami makin menjadi-jadi.
—
“Ini namanya mobil.” kata Pak Aleo seraya tersenyum.
Kami terpukau. Unik juga bentuknya. Pak Aleo menjelaskan sedikit cara kerja mobil. Usai itu kami memulai perjalanan. Katanya jauh juga dari desa ke kota. Tak terasa berapa lama perjalanan kami ini, tahu-tahu sudah sampai lagi di depan sebuah gedung besar. Sepertinya aku tertidur selama perjalanan. Di depan gedung itu terlihat tulisan SMAB (Seni Sastra Anak Bangsa), aku amat terkesan melihat gedung itu. Besar sekali… “Perlombaan dimulai 2 jam lagi kita duduk dulu di aulanya.” jelas Pak Aleo.
Aku dan kedua sahabatku berjalan mengekor di belakang Pak Aleo. Rupanya gedung ini unik sekali. Aku baru melihat ada tangga berjalan… Eskalator, kemudian ada ruang yang melayang… Lift namanya. Juga gedung ini amat hebat, berlantai ubin dan ada pendingin ruangan. Namun semua berubah ketika kita semua sampai di ruangan aula. Terasa ketegangan begitu hebat di dadaku. Dag-dig-dug. Waktu pun seakan mengalir cepat. Ruangan yang tadinya kosong lambat laun terisi penuh. Puluhan peserta seusiaku menjejali ruangan. Kemudian di menit-menit terakhir beberapa juri masuk ke ruangan dan menuliskan sesuatu di papan berawarna putih. Seperti papan tulis di sekolahku.
“Temanya Indonesia, waktunya satu jam.” “Hanya ada sebuah bolpoin dan kertas putih di hadapanku yang bisa membantuku untuk menang.” aku membatin. Usai perlombaan kami diajak berkumpul bersama di ruang aula yang lain seraya menikmati beberapa kue kecil dan meneguk air putih. Namun seakan ketegangan tak mau diusir dari hatiku, usai lomba kami masih harus menunggu hingga pukul 6 malam untuk menunggu pemenang. “Bapak-bapak, dan Ibu-ibu, serta para peserta dipersilahkan masuk ke ruang aula untuk mendengar pengumuman hasil lomba.” ujar seorang pemuda dengan tinggi tak jauh beda dengan Pak Aleo.
Hanya menghitung menit, juri pun sudah siap membacakan hasil perlombaan. Dari 80 orang peserta akan ditarik 10 orang pemenang saja katanya. 5 orang mendapat medali perunggu, 2 orang mendapat medali perak, dan 3 orang mendapat medali emas. Tepuk tangan sudah dimulai ketika juara ke-10 dipanggil ke podium. Suara itu semakin meriah ketika pembacaan juara dilanjutkan. Hingga akhirnya aku mendengar Nama Jar dan Rey dipanggil berurutan kedelapan dan ketujuh. Pengumuman terus berlanjut dan namaku tak disebutkan. Aku sudah pesimis.
Bersambung
Cerpen Karangan: Davina Senjaya Facebook: Davina Senjaya