“Dan juara pertama kita adalah… Aldi Saputro.” tepuk tangan begitu meriah, tapi aku hanya terbengong. Namaku? “Saudara Aldi dipersilahkan naik ke podium.” ucap juri sekali lagi. Aku menatap Pak Aleo dan kemudian dengan rasa haru dan bangga aku naik ke podium. Di sanalah kebahagiaan dan kebanggaanku bermunculan. Dikalungkannya medali emas di leherku dan sebuah piagam mendara di jemari tanganku. Semua mengalir seperti mimpi. Banyak cahaya tersorot padaku. “Saudara Aldi, apakah ada pesan yang ingin Anda sampaikan?” tanya juri padaku. Aku tersenyum haru dan mengangguk. Kemudian mereka menyodoriku mikrofon. “Aku di sini bukan karena diriku sendiri. Sebuah buku peninggalan guru tersayangku yang menjadikanku dapat berdiri di sini.” aku menjeda.
“Aku di sini juga karena seorang Ibuku, dan dua orang temanku. Rasa syukur dan cintaku pun tidak lepas dari guruku yang bisa membawaku ke kota.” tak lama beberapa suara gaduh bertanya-tanya di ruangan pun mulai meningkat. Aku pun segera mengakhiri kata-kataku. “Terakhir aku ucapkan terima kasih pada Tuhan yang bisa memberi kesempatan ini.” ucapku. Sambutan tepuk tangan menutup perkataanku. “Saudara Aldi bisakah Anda membacakan puisi Anda?” tanya juri lagi sebelum aku mengembalikkan mikrofon yang seakan cepat memanas karena genggamanku. Aku pun mengangguk.
“Tanah airku Indonesia Merah putihku berkibar dengan gagah Bulu-bulu garuda terhembus angin yang kencang Namun tetap berdiri tegar Nyatanya tanah ini sudah dimakan usia Namun tiada sedikit pun usang Wahai pemuda bangsa Di manakah semangatmu
Apakah hanya darah mengering yang dapat terlihat Apakah hanya merdeka yang dapat tersebut mudah Wahai anak muda Inikah generasi muda Bukan ini yang pejuang maksud Wahai anak muda tunjukkan gagahmu Bangunlah generasi muda Semangatmu berkibarlah..”
Beberapa dari penonton menatapku dan mereka bertepuk tangan meriah aku pun menundukkan kepala, berterima kasih. Hari itu pun menjadi hari terindah yang tak akan terlupakan.
—
Akhir dari perlombaan itu tidak cepat-cepat membawaku dan kedua temanku sebuah kebanggaan di depan orangtua kita. Pak Aleo mengajak kami ke tempat penginapan yang namanya hotel. Lidahku sedikit kaku menyebut nama-nama tempat dan barang yang ada di kota. Seperti ponsel, hotel, dan gedung. Di desa tidak ada kata-kata seperti itu, walaupun kata-kata itu menunjukkan barang-barang yang unik.
“Ini namanya hotel. ” jelas Pak Aleo. Sekali lagi aku kagum. “Bangunan pencakar langit,” gumamku. “Kalian akan bermalam di sini, satu kamar bertiga.” jelas Pak Aleo.
Pertama kami diberikan kunci ruangan dan Pak Aleo mengajariku cara kerja kunci. Bukan hanya itu saja, ruangan kamar kami di desain dengan amat luar biasa. Kamar mandi yang bersih dan ada air hangatnya, amat berbeda dengan mandi di desaku. Biasanya aku, Jay, dan Rey mandi di sungai dengan air yang dingin. Kemudian ruangan ini juga ada pendingin ruangan, ada layar bergerak… televisi maksudnya, dan juga di sini ada penerangan ruangan… lampu. Kalau di desa aku menggunakan lilin dan cempor. Malam ini menjadi malam yang tak akan terlupakan.
“Bapak di kamar sebelah.” ucap Pak Aleo sebelum meninggalkan aku, Jay, dan Rey. “Horeee!!!” kami bertiga berpelukan. “kita berhasil.” Namun ada yang aneh hari ini. Pak Aleo lebih pendiam daripada sebelumnya.
—
Keesokan paginya tak jauh dari jam 6-an aku, Jay, dan Rey sudah bangun. Wajah bangun tidur kami dihapus bersih dengan mandi pagi bertiga. Agak sedikit aneh sih dengan cara mandi baru kami. Memutar-mutar keran mandi. Maklum juga karena di desa tidak ada yang seperti ini. Usai mandi kurang lebih setengah jam kami mengunjungi kamar Pak Aleo dan siap makan pagi. Rasanya ada yang berbeda dari santapan pagiku. Aku menatap kedua temanku. “Apa rasanya ya makanan ini?” tanyaku bingung.
Beberapa dari makanan itu ada yang nampak seperti masakan ibu, ada juga yang berupa cairan kental bercampur ikan. Entahlah akhirnya aku dan Jay hanya meneguk air putih. Rey yang tadinya ingin makan juga tak jadi menyentuh apa pun. Ujung-ujungnya kami hanya minum air putih dan segelas susu paksaan Pak Aleo. Tak lama kami menuju mobil dan berangkat lagi ke tempat lain. “Kita akan ke sebuah tempat, kemudian kita kembali ke rumah kalian.” ucap Pak Aleo.
Pertamanya aku dan Jay merasa sedikit sedih karena akan meninggalkan kota mewah ini. Tapi aku juga tak mau meninggalkan ibu dan adikku begitu saja di desa. Lagi pula di kota aku tak bisa makan apa-apa. Susah juga. Gelak tawa kami terus berlanjut hingga Pak Aleo mengisyaratkan kami untuk diam dan bersikap lebih sopan dan serius. Mobil kami memasuki pagar tinggi berwarna putih. Ku pikir akan melewati bangunan-bangunan pencakar langit lagi, ternyata tidak. Di kiri dan kanan dua bola mataku hanya mendapati banyak sekali batu nisan yang kalau tak salah batu itu digunakan untuk orang yang sudah wafat seperti ayahku yang meninggal karena sakit parah. Sejenak ribuan pertanyaan berdatangan dan menyerang otakku dan kedua temanku. Keheningan pun terjadi. Untuk apa Pak Aleo mengantar kami ke sini? Siapakah yang sudah meninggal? Apakah ini hari raya menghargai orang yang sudah meninggal?
Tak lama Pak Aleo mengajak aku, Jay, dan Rey untuk lekas turun dari mobil. Seraya mengekor Pak Aleo kami masih diam seribu bahasa. Akhirnya langkah Pak Aleo berhenti di sebuah nisan yang tertera nama “Santoso Anugroho Lumoyo.” Guru kami tersayang? Mana mungkin?! “Inilah guru kalian tersayang. Beliau begitu tega meninggalkan kita semua.” ucap Pak Aleo dengan beberapa butir air matanya berderai membasahi wajahnya. Aku tak pernah menyangka bahwa Pak Aleo juga bisa menangis seperti ini. Namun aku masih tak percaya Pak Santoso telah wafat. Aku, Jay, dan Rey saling bertatap bertanya-tanya tak mengerti.
“Beliau meninggal bulan lalu. Sakit kanker otak. Beliau pernah meminta saya untuk mengajar kalian. Katanya Aldi … Aldi Saputro adalah murid kesayangannya. Katanya kau murid berbakat.” jelas Pak Aleo seraya memegang pundakku. Kemudian menatap kembali ke pemakaman Pak Santoso. Mendengar penuturan Pak Aleo menghitung detik aku, Jay, dan Rey menangis. Tangis yang tadinya hanya berupa isak menjadi sebuah suara yang kian menyedihkan. Jelas, karena Pak Santoso sosok yang amat kami banggakan. Sungguh tak mungkin ini terjadi. Rasanya beliau masih kian sehat wa’alfiat ketika mengajar di sekolahku. Bahkan terakhir beliau berjanji akan datang lagi ke desaku setelah pergantian pengajar yang selanjutnya. Beliau berdusta.
“Kalian telah membawa kebanggaan di hadapan Pak Santoso. Medali-medali yang kalian pegang kemarin. Itu amat membanggakan hatinya. Beliau juga pernah berkata bahwa kalian bertiga memang berpotensi untuk menjadi juara. Kalian anak-anak cerdas. Kalian generasi muda yang baru.” “Apakah beliau sudah sakit dari lama?” tanyaku berhati-hati, tak mau menyakiti hati Pak Aleo dan membuatnya makin sedih.
“Beliau sudah sakit lama, dari sebelum mengajar kalian namun beliau biarkan sakit itu terus menggerogoti tubuhnya. Hingga akhirnya beliau kembali ke kota karena sakit beliau makin parah. Beliau bilang pada saya, beliau tidak mau membuat warga desa setempat menjadi repot hanya karena keberadaannya. Setelah kepulangannya beliau minta saya untuk mengajar kalian karena tidak tega melihat kalian tertinggal pendidikan.” ceritanya. Kami terdiam.
“Terkadang saya juga merasa bingung, bagaimana bisa seorang guru yang pandai sepertinya bisa membiarkan penyakit seperti itu menggerogoti tubuhnya. Bagaimana bisa ia amat tidak peduli dengan rasa sakitnya dan terus tertawa di hadapan tiap orang termasuk saya dan juga keluarganya. Di manakah rasa sedihnya, apakah dia masih waras?” tanya Pak Aleo yang makin lama menjadi tangis lagi namun kini penuh dengan luapan emosi. Tanpa sadar aku dan dua kawanku memeluk Pak Aleo penuh kasih seakan ingin menguatkannya. Beliau membalas pelukan kami.
“Kalian berjanjilah menjadi anak bangsa yang berguna. Anak desa, juga anak manusia. Kalian layak maju seperti mereka.” jelas Pak Aleo. Kami pun kembali nostalgia dengan pekik motivasi Pak Santoso. “Kami berjanji.” ucapku mendahului, kemudian diikuti Rey dan Jay. Sekali lagi kami saling berpelukan dan kemudian kembali ke mobil dan pulang ke desa. “Bapak akan di desa kalian selamanya. Membimbing kalian.” ucap Pak Aleo dalam mobil. Aku, Jay, dan Rey tersenyum bersama. “Kami ingin jadi generasi yang baru.” ucap Rey dan Jay.
—
Ketika makan malam tiba, aku sudah berkumpul dengan keluargaku, juga sama halnya dengan Rey dan Jay. Mungkin mereka sudah bercerita tentang kejadian hari ini. Namun aku belum bercerita tentang apa pun. Ku tatap mata ibuku sebuah tatapan bangga menyelidik sampai ke hatiku. “Ada apa, Bu?” tanyaku bingung. Dengan cepat ibu memelukku amat erat. Matanya meneteskan air bening. “Anakku tersayang. Kebanggaan Ibu.” ucapnya. Kini semua terarah. Aku yakini Pak Aleo sudah menceritakan segalanya. “Ibu, semua ini tak akan berarti tanpa restu Ibu dan juga Tuhan yang Maha Kuasa.” jelasku. Kemudian kami pun makan malam bersama. Makan malam ini menjadi makan malam yang amat menyenangkan dan tak akan terlupakan.
—
Seakan kita masih kurang lelah, pagi-pagi aku, Jay, dan Rey sudah masuk kelas dengan wajah ceria dan bersemangat. Beberapa teman kami menanyai ke manakah keberadaan kami selama 3 hari lalu. Belum sempat kami ceritakan Pak Aleo sudah mengisi ruangan dan memulai ceritanya. Memulai pelajarannya. Usai pelajaran selesai, aku, Jay, dan Rey tak langsung pulang seperti biasanya. Hari ini aku akan berlatih lebih keras untuk memperdalam kesusastraan dan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik untuk mengikuti perlombaan selanjutnya.
Sejak kemenangan itu, aku, Jay, dan Rey menyimpan sebuah kebanggaan yang tak akan pernah sirna dari hidup dan hati kami. Sebuah kejadian yang terekam dalam hidup. Kami telah mematahkan semua teori tentang anak desa. Semua teori anak petani dan gubuk kecilnya. Teori tentang anak berbaju lusuh dan berkulit hitam, gosong terpanggang matahari. Anak desa bersekolah di gubuk reyot ini juga bisa menuntut ilmu, meraih ilmu, menggenggam asa seperti anak kota walau kami tertinggal era globalisasi dan juga era teknologi. Tapi kami tetap sadar. Aku dan anak-anak desa juga generasi muda yang layak berkerja sama dalam pembangunan negara dan menjadi generasi muda yang membangun. Aku, Jay, dan Rey berjanji bersama menempati sebuah tujuan.
“Kita harus menjadi guru di desa ini, Di.” kata Jay. “Kita harus maju Rey!” ucapku membangun Rey yang biasanya menjadi orang paling pesimis di antara kami bertiga. Kini Rey mengangguk. Dia berani memekikkan kata-kata motivasi walaupun milik Pak Santoso. “Indonesia baru!” ucapnya keras. Kami pun tertawa bersama seraya menikmati senja. Ya satu tujuan. Indonesia baru.
Tamat
Cerpen Karangan: Davina Senjaya Facebook: Davina Senjaya