Pramugari. Pekerjaanku? Hah, sayangnya bukan. Itu hanyalah cita-citaku sedari kecil yang tentu saja tak kesampaian. Kau tahu karena apa? Karena tinggi badanku -uh sampai sekarang aku benci bila harus mengingat hal itu- karena tinggi badanku yang tak sampai 160 cm itulah yang membuatku ditolak secara terang-terangan ketika aku mendaftar untuk menjadi pramugari. Dan lagi, kedua orangtuaku juga tak setuju bila aku menjadi pramugari. Menurut mereka menjadi pramugari itu gajinya kecil. Ah, yang benar saja? Mereka hanya tak sudi membiarkan anaknya melakukan pekerjaan yang berbahaya. Dan namaku? Um, aku benci mengatakan ini, tapi… baiklah, namaku Kartini. Kau percaya itu?
—
“Kartini Aprilia, benar?” tanya seorang wanita paruh baya mencoba meyakinkan dirinya sekali lagi bahwa namaku memang Kartini sambil menatapku ragu-ragu. Walau malu, akhirnya aku mengangguk juga. “Kau lulusan sebuah universitas ternama tapi kau malah melamar kerja di sini? Apa kau yakin?” Lagi-lagi dengan malu aku mengangguk. “Ya, menurutku ini adalah sebuah pekerjaan mulia.”
Wanita itu tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang sebagian sudah rapuh termakan usia. “Oh, itu manis sekali,” ucapnya sungguh-sungguh, “nah, baiklah, kau diterima, mulai besok kau boleh bekerja di sini.” Ia menyerahkan kembali berkas-berkasku dengan wajah ceria dan mulai menarikku menuju pintu. Aku dengan gugup berusaha mengikuti langkah-langkah lebarnya dan tetap menampilkan ekspresi ceria padanya.
“Kembalilah besok, gadis manis,” itu adalah ucapannya ketika kami berdua sudah mencapai pintu. Yeah, cara mengusir yang lembut -tapi tak apa-apa, lagi pula aku juga tak ingin berlama-lama di ruangan pengap ini. Wanita itu kembali tersenyum padaku, dan aku membalas senyumannya, entah sudah berapa kali kami saling melengkungkan bibir untuk hari ini, dan hal itu membuatku lelah. Akhirnya aku melangkahkan kaki ke depan dan sesudahnya ia langsung menutup pintu dengan keras. Aku mendesah lega. Ia begitu menakutkan.
—
Aku melirik kalendar yang berada di kamarku, hari ini tepat 15 hari sebelum hari ulang tahunku yang ke-24. Aku tersenyum, membayangkan kejutan apa yang akan diberikan keluargaku nanti. Tapi bayangan itu tiba-tiba hilang mengingat sekarang aku sudah mempunyai pekerjaan. Mereka akan berpikir bahwa aku sudah benar-benar dewasa dan tak membutuhkan kejutan di hari ulang tahun lagi. Ahh, padahal aku sangat menginginkannya. Aku kembali melirik kalendarku, sekarang tanggal 6 April 2049, itu artinya aku akan mulai bekerja pada tanggal 7 April. Sepertinya aku harus terus mengingat tanggal 7 April ini.
Oh, ya, aku pasti lupa memberitahumu tentang pekerjaanku. Pekerjaanku adalah menjadi guru di Sekolah Dasar yang sangat terpencil. Aku tahu bahwa pekerjaan ini bisa dibilang bukan pekerjaan mapan dan bergaji besar. Tetapi daripada terus-menerus disindir dengan kata-kata manis bernada sinis oleh kedua orangtuaku, lebih baik aku mengambil resiko untuk pekerjaan ini. Lagi pula walaupun aku tak bisa menjadi guru yang baik, setidaknya aku mempunyai pengalaman baru, bukan?
“Kartini sayang, buka pintunya!” Aku mendesah, “Oh ayolah Bu, kau tak perlu terus memanggilku dengan nama itu, aku benci mendengarnya.” “Baiklah. Mm-hm,” ibu berdehem pelan, “April, makan malammu sudah siap!”
Sialan, itu sih sama saja, umpatku kesal. Aku mengerang pelan sebelum membuka pintu kamarku. “Bu, jangan juga panggil aku dengan nama April,” aku memutar bola mataku, “dan lagi, aku tidak akan lupa tentang makan malam sekalipun ibu tidak mengingatkanku.” Dengan langkah menghentak-hentak aku pun meninggalkan ibu yang sedang termangu di depan pintu kamarku. Ketika aku sedang menyendok nasi, barulah ibu datang. Selanjutnya kami makan dalam diam.
—
Aku terus-menerus menarik rokku yang agak sempit. Sebenarnya hal itu ku lakukan bukan untuk membenarkannya, tetapi lebih karena aku merasa gugup. Wanita paruh baya yang ku temui kemarin sudah tersenyum di depan pintu kelas 6, aku pun mengangguk dan segera menghampirinya. Setelah tepat berada di depannya, ia memberikanku beberapa tumpukan buku yang sangat tebal dan tampak membosakan. “Selamat bekerja, gadis manis.” Lalu ia meninggalkanku. Dan sekarang tinggal aku sendiri di tengah-tengah tatapan murid-murid yang penasaran. Itu tentu bukan hal yang bagus, tapi… akhirnya aku berjalan menuju meja guru, meletakkan tasku sebelum aku maju ke tengah-tengah dan tersenyum pada mereka. Tak satu pun dari mereka yang membalas senyumku. Sebagian besar murid itu melongo penasaran, sisanya sedang tertidur, tak menanggapi kehadiranku sama sekali.
“Selamat pagi, anak-anak…” aku mengambil jeda sebentar untuk memberikan waktu pada mereka agar membalas salamku, tapi hasilnya nihil, mereka tetap duduk dalam diam seolah tak mendengarkanku. Pada akhirnya aku pun tetap hanya bisa tersenyum, anak zaman sekarang, batinku dalam hati. “Perkenalkan, saya guru baru kalian, nama saya…” aku mendesah pelan, bahkan sebenarnya aku tak perlu melakukan hal ini karena mereka pasti sudah tahu namaku -dan tampaknya mereka tak akan menanggapiku. Tapi entahlah, aku merasa diwajibkan untuk memperkenalkan diri secara langsung, dan.. ini dia, pengalaman paling memalukan dalam hidupku akan segera dimulai.
“Nama saya.. Kartini, Kartini Aprilia,” mereka melongo, “kalian bisa memanggil–” “HAHAHA, Kartini? Yang benar saja? Di tahun 2049? Hahaha..”
Bagus. Bahkan sebelum aku menyelesaikan perkataanku saja mereka sudah tergelak. Bagus, bagus, dan terakhir, sial. Mereka sama sekali tak diajarkan kesopanan di sini. Tapi tak apa, aku yang akan mengajarkannya pada mereka nanti. “Yah.. terkadang saya juga selalu merutuki nama itu. Tapi.. saya percaya orangtua saya punya tujuan yang bagus saat mereka memberi saya nama.” Aku menutup mataku dan menarik napas dalam-dalam, semoga saja mereka mau diam, doaku dalam hati. Tapi kau tahu apa yang ku dapat? Tawa, suara tawa yang bertambah keras. Oh ya Tuhan, apakah aku harus terus menerima cemoohan ini? Aku berusaha keras menahan amarahku dengan menggigit bibir bawahku. Tapi itu percuma saja, itu hanya akan melukai diriku sendiri. Jadi mungkin lebih baik aku menegur mereka saja daripada membuat bibirku berdarah. “Saya minta kalian semua diam, saya mohon.” Mereka tetap saja tertawa. Aku benar-benar pusing dibuatnya.
—
Ini sudah 13 hari sejak aku menjadi guru, tetapi rasanya sudah bertahun-tahun. Demi Tuhan, mereka susah sekali untuk diatur. Padahal mereka sudah kelas 6, yang berarti tak lama lagi mereka akan meninggalkan sekolah. Itulah sebabnya aku selalu memarahi mereka, aku sungguh tak tahan melihat mereka berbuat seenaknya pada orang yang lebih tua. “Kartini! Ini sudah jam berapa? Cepat pergi bekerja!” Oh, itu? Itu suara ibuku. Setiap pagi beliau selalu begitu. “Ya Bu!” Aku pun segera mengambil beberapa tumpuk buku yang sebenarnya tak diperlukan karena kami belajar memakai komputer. Tapi sayangnya komputer di sekolah tempatku mengajar benar-benar tak berfungsi. Sungguh, sekolah macam apa itu?
—
“Jadi, EYD itu adalah–” Tok, tok, tok, “Permisi…”
Aku menoleh ke arah pintu. Lagi-lagi si wanita paruh baya. Tapi kali ini ia tak tersenyum padaku, melainkan menatap tajam ke arahku dan membuat dahiku berkerut, heran. Aku pun menatap wajah murid-muridku yang terlihat sedang kegirangan. Kembali aku menatap wajah wanita paruh baya, dan kembali juga aku menatap muridku sebelum si Kepala Sekolah alias wanita paruh baya itu menyuruhku pergi ke ruangannya.
“Maaf, Bu, tapi ada apa ya?” tanyaku di sela-sela langkah lebar kami. Dan bukannya menjawab, si Kepala Sekolah itu malah terus menatap ke depan sampai akhirnya kami tiba di depan ruangannya. “Masuk.”
Oh, itu bukan jawaban yang ku inginkan. Tapi dengan terpaksa aku menurutinya dan langsung duduk di kursi yang disodorkan oleh si Kepala Sekolah. “Kemarin ada murid yang melapor padaku bahwa kau selalu memarahi mereka. Benarkah itu, gadis manis?” si Kepala Sekolah itu terus saja melemparkan tatapan padaku yang seolah ia ingin menelanku bulat-bulat. Aku menelan ludahku, suaranya terdengar jelas di telingaku. “Itu…itu, mereka susah sekali di atur. Jadi sa–”
“Kau seharusnya mengajari mereka dengan sabar, bukan dengan emosi!” serunya tertahan dan membuatku semakin gentar. “Kau lihat? Bukannya menurut, tapi mereka malah semakin nakal, kan? Ya kan? Itulah hasilnya bila kau terus memarahi mereka!” “Ma-maaf, tapi…” aku melirik ke bawah. Sejenak sepatuku terasa menarik sehingga aku ingin terus memandangnya. Tetapi tiba-tiba handphone yang sedang ku genggam berdering. Di situ nampak nama ibuku. Aku tersenyum pada si Kepala Sekolah sebelum aku mengangkatnya.
“Halo, Bu? Ada apa?” “Nak? Apa kau benar anak dari Ibu Anggun?” tanya suara di seberang sana dengan panik. “Ya. Tetapi anda siapa ya?” “Itu tak penting, sekarang segeralah kau bergegas menuju rumah sakit Paru Firdaus. Kedua orangtuamu kecelakaan tadi pagi.”
Mulutku menganga, tiba-tiba kepalaku serasa hendak pecah, “A-apa? Apa Anda tidak sedang ber–” Tut…tut…tut, sambungan terputus. Dari seberang sana yang memutuskannya. “Apa? Kau mau ke mana? Kita belum selesai!” hardik si Kepala Sekolah dengan marah. Dengan singkat aku segera menjelaskan perihal kecelakaan orangtuaku. Akhirnya ia mengizinkanku pergi, tetapi sebelumnya ia berkata, “Tapi, awas saja, jika sekali lagi aku menerima laporan ini, kau akan ku pecat!” Oh, yang benar saja?
—
Kedua orangtuaku meninggal, dan sekarang aku hidup sebatang kara. Ditambah lagi aku hampir dipecat dari pekerjaanku. Ah, mengenaskan sekali hidupku ini. Murid-muridku tak satu pun yang mau berubah, malahan mereka bertambah nakal. Tapi baiklah, mungkin ini hanya cobaan dalam hidupku. Aku harus terus bersabar, seperti kata-kata ibuku sebelum meninggal, “Nak, bersabarlah dan jadilah Kartini yang baik, sesuai dengan namamu…” Ok, mulai sekarang aku akan bersabar.
Aku segera melangkahkan kakiku menuju kelas tempatku mengajar. Tetapi entah mengapa yang ku dapati hanyalah kegelapan. Murid-muridku tak ada di kelas. Dengan susah payah aku mencari saklar untuk menghidupkan lampu. Tetapi baru saja aku mau melangkah, lampu sudah dinyalakan entah oleh siapa. Barulah terlihat olehku segerombolan murid-muridku sedang menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Beberapa di antara mereka sedang memegang kue ulang tahun yang terdapat lilin angka 24 dan beberapa lagi memegang kado. Sambil tetap bernyanyi, mereka mendekatiku perlahan-lahan. Hal itu membuatku terharu. Oh ya Tuhan, mana mungkin aku bisa lupa hari ulang tahunku sendiri sedangkan mereka mengingatnya? Ah, aku sungguh terharu. Setelah mereka makin dekat, mereka pun segera menyanyikan lagu ‘Tiup lilin’ dan itu membuatku tertawa. Oh, ayolah, aku serasa diperlakukan seperti anak kecil saja.
“Buatlah permohonan, Bu Guru!” seru salah seorang murid yang sudah ku tandai sebagai anak ternakal di kelasnya. Tapi sekarang bukannya memarahinya karena ribut, aku malah menuruti perkataannya. “Ibu harap kalian semua lulus dengan nilai yang memuaskan.” Aku tersenyum pada mereka. Mereka segera bersorak girang, salah satu di antara mereka menyerukan kalimat ‘selamat hari kartini’. Aku kembali tertawa.
Ah, hal apa pun bisa terjadi dalam 15 hari, ya?
Cerpen Karangan: Sesilia Della Sagala Facebook: Sesilia Della Ada perlu sama penulis? boleh lewat facebook, namanya Sesilia Della, atau gak, temuin dia di SMPN satu Baleendah. Cukup?