Perempuan berhijab itu namanya Bela. Gadis pendek namun supel, dia mempunyai banyak teman di sekolahannya. Bela lulusan SMA tahun ini. Usianya kini sudah menginjak 19 tahun dan sudah waktunya dia untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan senang hati Bela melepas baju putih abu-abunya dan sudah tidak sabar lagi memakai seragam semaunya.
Sambil memandangi kayu-kayu yang berbaris di langit-langit kamarnya, Bela berfikir keras tentang kampus mana yang dimaksud ibunya selama ini. Sejak Bela masih duduk di kelas 2 SMA, ibu Bela selalu mengatakan bahwa Bela akan disekolahkan di kampus yang menurut ibunya baik untuk anak semata wayangnya. Pastinya bukan kampus di dekat rumah seperti yang Bela inginkan. Akan tetapi, yang dimaksud ibunya yaitu kampus yang terletak di pulau pendidikan. Pulau Jawalah yang dimaksud ibunya. Sampai saat ini Bela belum tau pasti, kampus di Jawa yang mana yang selalu dibanggakan sama ibunya. Bela bingung harus mengikuti kemauan ibunya atau kemauannya sendiri. Bela ingin sekali kuliah sambil membantu ibunya di rumah. Karena ibunya bekerja sendirian setelah ayahnya meninggal 7 tahun silam terkena penyakit kanker otak. Di sisi lain, Bela juga tidak mau mengecewakan ibunya hanya karena tidak mau mengikuti kemauannya. Semakin hari detak jantung Bela semakin cepat, karena hari keberangkatan Bela ke Jawa semakin dekat pula.
Mobil berwarna hitam dan terlihat beberapa penumpang di dalamnya sudah parkir di depan rumah Bela dan siap untuk mengantarkan dia dan ibunya ke bandara. Dalam perjalanan menuju bandara, Bela tak banyak berbicara. Dia hanya berdoa semoga dia bisa membahagiakan orangtua satu-satunya yang telah bersusah payah membiayai dia sekolah selama bertahun-tahun. Bela yakin bahwa orangtua pasti memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Tiga jam telah berlalu. Kini Bela sudah sampai di tempat yang tidak pernah sama sekali Bela kunjungi. Puluhan bahkan ratusan manusia disana sedang mengangkut barang-barang mereka. Terlihat lelaki tampan berseragam rapi dan berbadan tegap. Terdengar juga suara merdu perempuan yang memenuhi tiap sudut-sudut ruangan. Terlihat beberapa perempuan tinggi langsing dan bersolek melintas di depan mata Bela. Bela terus mengikuti ke mana arah Ibunya berjalan sambil melihat suasana di sekitar. Setelah terlihat jelas pesawat berbaris rapi di lapangan yang sangat luas, hati Bela mulai berdegup kencang. Rasanya belum siap untuk melanjutkan sekolahnya di pulau jawa. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ibu Bela menggandeng tangan anaknya dan menariknya menuju pesawat. Bela berusaha untuk bersikap tenang meskipun sebenarnya ingin sekali menghentikan langkahnya dan kembali ke rumah. Bela berjalan terus melewati baris demi baris kursi yang ada di dalam pesawat. Bela terlihat seperti anak kecil yang baru berumur 5 tahunan yang selalu digandeng ibunya kemana-mana.
“Kamu duduk di pojok sana nak”. Perintah Ibu Bela. Tanpa banyak tanya, Bela menuruti apa yang diperintahkan oleh Ibunya. Pesawat mulai melaju pelan-pelan dan aku pun kaget saat pesawat mulai lepas landas. Serasa terbang ke luar angkasa. Bela masih terdiam tidak berkata apapun kepada Ibunya. Dia sama sekali tidak melihat suasana di sekeliling pesawat. Pandangan Bela hanya ke depan dan sesekali memandangi wajah Ibunya yang sedang tidur. Bela hanya bisa berdoa yang tak lain dengan doa yang dia ucapkan saat di mobil berangkat menuju bandara. Tak terasa, pesawat sudah mulai landas di bandara Internasional. Tulisan besar bandar udara Soekarno Hatta melintas di mata Bela. Orang yang pertama kali melihat bandara Soekarno Hatta pasti kagum dengan luasnya, ramainya maupun kemewahannya. Tetapi bela tidak. Bela tidak merasakan semua itu. Dia sadar kalau sedang berada di bandara udara Soekarno hatta akan tetapi pikiran Bela hanya terbayang kampus pilihan Ibunya.
“Nak, ayo kita melanjutkan perjalanan menuju bandara Adi Sucipto. Sebentar lagi pesawat meninggalkan kota Jakarta. Kamu jangan melamun terus. Apa yang kamu pikirkan? Mulai berangkat dari rumah sampai saat ini kamu lebih banyak diam dan melamun terus”. Ucap Ibunya, yang telah membuyarkan lamunan Bela. “Solo? Kampus yang selama ini Ibu maksud itu letaknya di Solo?” Sahut bela dengan kaget. Ibu Bela hanya mengangguk sambil melirik wajah bela yang terlihat agak tidak suka dengan keputusan Ibunya. Dalam pikiran Bela, Solo adalah kota dimana orang-orang yang tinggal disana hanyalah orang yang anggun, lembut dan sangat santun. Mereka masih banyak memegang erat budaya Jawa dan terlihat agak kolot. Apakah aku bisa hidup bersama mereka? Aku serasa mimpi. Dengus Bela di dalam hati. Bela tak henti-hentinya memikirkan kehidupannya di Solo nanti. Sampai akhirnya pesawat sudah landas dan taxi berwarna kuning sudah parkir di gedung yang menjulang tinggi, bela baru sadarkan diri kalau sudah sampai di tempat tujuan yang Ibunya maksud. Dengan menggendong tas ransel besar di punggungnya, Bela mengikuti langkah Ibunya menuju ruangan yang luas tetapi terlihat sempit karena banyak buku-buku tebal yang berjejalan dan sedikit berantakan.
Bela dan Ibunya disambut manis oleh orang yang berada di ruangan tersebut. Bela tidak mendengarkan apa yang diperbincangkan oleh Ibunya dengan orang tersebut. Bela hanya menatap wajah tersebut sekali dan kemudian melihat-lihat keadaan di sekliling ruangan tersebut. Terlihat tulisan-tulisan arab yang terukir indah dan tidak bisa dibaca oleh Bela secara jelas. Hanya saja huruf alif yang tampak jelas. Selain itu juga banyak piala yang berjejer disana. Bela mulai menerka bahwa kemungkinan besar Ibunya memasukkannya ke asrama muslim yang kebanyakan orang menyebutnya pesantren. Hati bela semakin berdegup kencang. Dia tidak habis pikir apa yang akan terjadi dalam hidupnya kalau dia hidup di lingkungan pesantren yang sama sekali tidak pernah dia rasakan. Karena memang dari dulu Ibunya ingin sekali memasukkan Bela ke posentren akan tetapi bela selalu menolaknya. Dan inilah saatnya Bela mengabulkan permintaan Ibunya. Meskipun dengan berat hati untuk melanjutkan sekolah di tempat yang sama sekali bukan tujuan utama Bela. Pilihan Ibunya tepatnya.
“Nak, ini diisi dulu”. Ibu Bela menyodorkan satu lembar kertas. Bela menggoreskan pena berwarna hitam di selembar kertas pemberian Ibunya. Bela menangis sambil mengisis formulir tersebut sebagai bukti pendaftaran. Rasanya ada sesuatu yang sangat mengganjal di hati Bela tetapi susah untuk diungkapkan.
Selesai mengisi itu, Ibu berpamitan kepadaku untuk pulang ke rumah. Yakni ke kota Padang tepatnya. Tangis Bela semakin parah saat Ibunya memebarikan nasehat banyak kepada anak semata wayangnya itu. Bela hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengusap air matanya sesekali. Pelukan Ibu Bela semakin membuat hati Bela sakit. Akan tetapi Bela tetap bisa menahan enosinya karena dia sadar kalau ini adalah kesempatannya untuk menuruti permintaan Ibunya yang sudah berkali-kali bela tolak.
Kini, Ibu Bela sudah tidak terlihat lagi. Sudah melaju bersama taxi bewarna kuning. Sedangkan Bela dinatarkan oleh seseorang yang terlihat anggun dan lemah lembut menuju kamarnya. Kamar yang sangat berbeda dengan kamar Bela di Padang. Sekarang, dia harus menempati kamar yang begitu sempit dan dihuni beberapa orang. Lemari kecil ukuran 2×4 tanpa kaca berjajar rapi disana. Pakaian dan beberapa tas bergantung rapi memenuhi atap ruangan itu. Bela serasa tak bisa bernapas saat berada di dalam ruangan tersebut. Sampai kapan aku diruangan yang sesempit ini? Bernapas saja susah banget apa lagi belajar? Pikir Bela.
Malam pun tiba. Bela tidak bisa tidur senyenyak biasanya. Tidak seperti keempat teman kamarnya. Bela masih teringat Ibunya dan tanah kelahirannya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau akhirnya tinggal di tempat yang sempit, dipenuhi oleh orang-orang yang sangat ramah meskipun belum mengenalnya. Di sisi lain, Bela bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk belajar bersama orang-orang yang terlihat sama sekali tidak memilki rasa dendam dengan musuhnya. Bela selalu diajak temannya untuk mengikuti kegiatan di sarama. Dengan senang hati Bela menerima ajakan teman-temannya. Hari demi hari Bela lalui dan sampai pada akhirnya Bela masuk kuliah dan ternyata teman bela di kampus rata-rata teman asramanya juga. Bela semakin akrab dengan teman-temannya karena sering bertemu. Terlintas di benaknya bahwa teman-temannya di rumah selalu menyebut Bela orang yang mudah bergaul, ramah dan baik kepada sesama. Ternyata masih banyak orang yang lebih baik darinya. Yaitu teman-temannya saat ini. Semua yang Bela rasakan di asrama, dia ceritakan kepada Ibunya setiap hari minggu. Karena Bela hanya bisa berkomunikasi dengan Ibunya hari minggu saja. Selain itu, Ibu Bela sibuk dengan pekerjaannya. Setiap mendengar cerita dari Bela, Ibu Bela selalu mengucapkan hamdalah dari seberang sana. Ibu Bela bahagia karena anak semata wayangnya akhirnya senang dengan sekolah pilihan Ibunya. Meskipun pada awalnya agak berat untuk memenuhi permintaannya.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun Bela melalui kehidupannya di asrama. Canda tawa dengan teman barunya selalu melekat di benaknya. Dia sudah menganggap temannya sebagai keluarga sendiri. Kehidupan di asarama maupun di kampus dia jalani bersama teman-temannya. Belajar bareng, makan bareng, berbagi cerita bahkan bercanda seperti anak kecil pun Bela lakukan bersama temnnya setiap hari. Terasa berbeda sekali dengan kebiasaan Bela di rumah yang hanya sekolah, belajar dan membantu orangtuanya. Tak terasa kini Bela sudah semster akhir. Yang namanya semster akhir dia rasa enak dan nyaman. Tapi sebaliknya, ternyata program di kampus Bela ini berbeda dengan kampus lain, semua digerebek di semester akhir, tapi Bela tetap menjalaninya. Sampai pada saatnya mengajukan judul proposal penelitian yang akan diajukan untuk skripsi nanti. Tak henti-hentinya Bela mencari dan mencari judul yang pas, penolakan pun Bela rasakan tidak hanya sekali dua kali. Sedih, putus asa, itulah yang dirasakn oleh Bela. Akan tetapi, Bela teringat pada Ibunya. Dia terus berusaha untuk menjadi anak yang kuat. Kekuatan itu Bela dapat dari Ibunya yang meyakinkannya untuk terus maju. Dan alhasil semuanya terjalani judul keterima dan sekarang Bela masih menggarapnya. Semangat itu pasti, do’a itu utama dan keyakinan itu penting. Buat penjemput toga, tidak hanya uang yang bicara tapi otak. Dan semua isi hati serta isi otak dituangkan pada karya tulis yang dinamakn skripsi. Yakin atas kebesaran Allah, semua pasti akan terwujud. Ingatlah bahwa ridho Allah itu terletak pada Ridhonya orangtua.
Cerpen Karangan: Lies Maisyaroh Facebook: Liez Maizyaroh
Lies Maisyaroh Jambi, 14 februari 1995 Mahasiswa UIN Malang