Kampung Biru, adalah salah satu kampung terkecil dan terasing di daerah pedalaman Kepulauan Ubud, Desa Waerobo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di sebuah perkampungan yang kecil, berdirilah aku, seorang anak nelayan yang sedang menatap kearah pantai. Dengan raut wajah kusam dan penuh tanda tanya. Aku, menatap dengan lurursnya, dan sembari tersenyum tipis. “Sungguh malang keadaan kampungku. Jangankan tersentuh dengan kemajuan teknologi, anak-anak di kampungku tidak sama sekali tersentuh dengan namanya dunia pendidikan”. Dari arah belakang, berjalan dengan perlahan dan pelan-pelan menuju kearahku yang sedang berdiri di tepi bibir pantai, dia adalah sahabatku Dewi.
“Karina, apa yang kamu pikirkan?. Apakah ada sesuatu yang kamu pikirkan?”. Aku menoleh ke arah sahabatku, dan kemudian kembali menatap pinggiran pantai, “Aku berpikir Dewi, andaikan saja jika di kampung kita ada sebuah sekolah. Dimana, di dalamnya terdapat seorang guru yang mengajari kita, bagaimana cara membaca dan bagaimana cara menulis. Sungguh, aku begitu rindu dengan suasana bersekolah. Apalagi, sudah 2 tahun lamanya aku tidak merasakan bagaimana indahnya bersekolah itu. Mengenyam pendidikan bersama teman-teman. Jika saja, saat ini kita masih bersekolah, aku yakin pasti kita sudah duduk di kelas 3 SMA Wi. Namun, apa daya, jalan dari kampung kita ke sekolah yang ada di kota, sungguh sangat jauh, dan sangat tidak layak pakai. Aku berpikir, bagaimana keadaan kampung kita dimasa yang akan datang nanti?. Apakah akan terus seperti ini keadaannya?”. Aku kembali tertunduk dan membayangkan keadaan kampungku.
“Kamu benar Rin, aku juga rindu suasana indahnya bersekolah dan mengenyam pendidikan. Namun apa daya, inilah keadaan kita yang sekarang. Sudah 2 tahun, anak-anak di kampung kita tidak tersentuh dengan dunia pendidikan”. Aku dan Dewi saling memandang. Tiba-tiba, dari arah jauh, berlari dengan cekatan seorang temanku yang dengan tampak terburu-buru, dengan napas tersedak-sedak sembari menunjukkan wajahnya yang begitu sumringah. Aku menatapnya, dan kemudian bertanya, “Ada apa Din?”.
“Karina, ada sesuatu yang sangat menyenangkan untuk hari ini dan untuk selamanya, di kampung kita.” “Apa itu?”. “Kita kedatangan seorang pahlawan. Kamu tahu, pahlawan itu pasti adalah jawaban dari doa kita anak-anak di Kampung Biru. Aku yakin, dia pasti seseorang yang dikirm oleh tuhan untuk kampung kita”. Aku dan Dina serta Dewi berjalan ke arah rumahku. Dan sungguh, ini sangat mengejutkan untukku, Dina dan Dewi. Dari arah jauh, di dekat pintu rumahku, aku melihat seorang perempuan separuh baya mengenakan kerudung merah marun dan sebuah kacamata berdiri di dekat sisi pintu rumahku, sembari memberikan sebuah senyum.
“Maaf, apakah ibu adalah seorang guru?”, aku mencoba bertanya. Tiba-tiba saja, seorang perempuan tersebut memelukku dan kedua temanku dengan hangatnya. “Saya sangat bahagia. Akhirnya, saya bisa menginjakkan kaki saya di Kampung Biru ini. Ya, benar, saya adalah Merita. Saya adalah guru kalian disini. Dan mulai sekarang, hingga sampai nanti, saya yang akan mengajar untuk kalian sampai kalian bisa menjadi seorang sarjana. Saya janji”. “Menjadi Sarjana?. Betulkah itu bu?”, aku bertanya dengan nada kegirangan. Kemudian, Ibu Merita mengangguk iya.
Tidak terasa, 3 tahun berlalu. SMA Kampung Biru. Begitulah orang-orang menyebut sekolahku. Sekolah yang sangat jauh dari keramaian dan cukup keterbelakang. Walaupun hanya ada 10 murid di sekolahku, namun, tidak akan ada satu pun seseorang yang dapat memutuskan semangatku dan teman-temanku untuk bersekolah dan memiliki mimpi. Benar memang, hidup itu seperti roda yang dapat berubah. Walaupun, sekolahku sangat jauh dari kota, tetapi tuhan telah mengirimkan seorang guru cantik kepadaku dan teman-temanku di Kampung Biru. Ibu Merita, adalah pahlawan untuk kami. Yang senantiasa membantu kami bagaimana cara membaca dengan baik, menulis dengan sempurna, berbagi ilmu pengetahuan, mengajarkan kepada kami arti hidup dan bersungguh-sungguh di dalam mengejar mimpi. Jikalau aku melihat guruku, dia bagaikan malaikat yang sempurna. Karenanya, lambat laun, SMA Kampung Biru mulai dikenal oleh beberapa SMA yang ada di Kota. Tapi sayang, karena dimakan usia, dengan bangunan yang seadanya, tampak ruangan kelas mengalami kerusakan.
Namun, hal itu, tidak pernah melarutkan semangatku dan beberapa teman-temanku di SMA Kampung Biru, kami terus berusaha dan berjuang untuk belajar dan menuntu ilmu. Dan, itu semua telah terbukti, ketika aku telah berhasil memenangkan Juara 1 Olimpiade Sejarah di tingkat Provinsi membawa nama SMA ku. Sungguh, ini adalah kebanggan yang luar biasa bagiku dan Ibu Merita, untuk bisa mengharumkan nama sekolahku.
Ketika sedang bersantai di dalam kelas, tiba-tiba Ibu Merita menyapaku, Dewi, Dina, dan ketujuh temanku yang mana kami sedang asyik bercengkrama membicarakan soal-soal yang akan keluar di Ujian Nasional, yang akan berlangsung sebentar lagi.
“Anak-anak, apa yang sedang kalian bicarakan?”. “Kami sedang membicarakan mengenai soal-soal apa saja yang kira-kira akan keluar ketika Ujian Nasional bu”. “Wah, ibu sangat bangga dengan kalian. Namun, ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan kepada kalian. Dimana, alhamdulillah, teman ibu yang da di kota, mengirimkan surat undangan untuk kita, bahwasannya kita diajak untuk ikut serta di dalam perlombaan “Sekolah Tercantik”, dalam memperingati hari kemerdekaan Indonesia, tepatnya di tanggal 17 Agustus, hari Minggu besok”. “Serius bu?. Kalau begitu, berarti kita semua harus menyiapkan bersama-sama, ide kreatif apa saja yang akan kita pakai di perlombaan ini”. Kataku dengan nada semangat.
“Bagaimana, jika temanya Merah Putih?. Bukankah itu melambangkan Kemerdekaan dan Persatuan?. Jika temanya Merah Putih, maka itu menggambarkan bahwa kita cinta tanah air”. Ibu Merita memberikan usulan, dan dengan sepakat, kami semua siswa SMA Kampung Biru menyetujuinya.
“Tapi, bagaiman dengan biayanya bu?. Bukankah, untuk mempersiapkan cat, dan bendera kita membutuhkan biaya?. Sedangkan kita tidak punya uang untuk membelinya?”. Tanya Dewi kepada Ibu Merita. Sungguh, jelas terlihat, Ibu Merita sedih dan bingung harus berbuat apa. “Hem, kalian semua tenang aja, kita pasti bisa mempersiapkannya. Dan, masalah biaya, biar ibu yang memikirkan. Dan besok, kita akan mulai menghias sekolah kita ini”. Kemudian, ibu Merita pergi meniggalkan aku dan kesembilan temanku. “Bagaimanapun, kita tidak boleh diam, kita harus membantu ibu Merita. Bukankah kita ingin, sekolah kita juga dikenal oleh sekolah-sekolah yang ada di kota?. Kita juga inginkan, membuktikan kepada mereka, jika kita yang ada di Kampung Biru juga sama dengan mereka”, aku memberikan semangat kepada kesembilan teman-temanku. Dengan sepakat, aku dan kesembilan temanku pergi ke hutan dan mencari beberapa bambu untuk dijual di pasar dekat kampung seberang. Dengan semangat dan menggebu-gebu, Aku, Dewi, Dina dan kesembilan temanku, memilah-milah bambu mana yang bagus dan memiliki harga yang mahal dan laku di pasar. Akhirnya, dengan waktu 1 jam, kami mendapatkan 5 bilah bambu dan kemudian menjualnya ke pasar di kampung seberang.
“Alhamdulilah ya. Dengan semangat dan kerja keras, akhirnya 5 bilah bambu yang kita tebang dari hutan laku Rp. 20.000. Dan uang ini, bisa kita pakai untuk membeli cat”. Kata Dewi dengan semangat.
“Tapi, bagaimana dengan benderanya, bukankah bendera itu mahal?”. Dina bertanya kepadaku, dan kesembilan temanku. Aku berpikir sejenak, bagaimana cara mendapatkan sebuah bendera merah puti, “Hah, kita tidak perlu bendera. Tetapi, yang kita butuhkan sekarang adalah sehelai kain putih dan sehelai kain merah, apakah di antara teman-teman ada yang punya?”, tiba-tiba sebuah ide cemerlang muncul di dalam otakku. Kemudian, Dewi, Dina, dan ketujuh temanku yang lainnya saling memandang. “Rin, aku punya sehelai kain putih dan sehelai kain merah. Namun, bagaimana menyatukannya?”, Febi, salah satu teman kelasku bertanya kepadaku. “Tenang saja, kita bisa menjahitkan?. Jadi, kedua kain itu akan kita jahit”. Semua setuju dengan usulanku, dan kami mengerjakannya bersama-sama dengan semangat.
Di sore harinya, Ibu Merita dengan wajah tersenyum, namun, tampak lesu datang menemui aku dan kesembilan temanku yang sedang duduk sembari menjahit kedua kain yang akan kami jadikan sebagai bendera Merah Putih. “Apakah yang sedang kalian kerjakan disini nak?”. Ibu Merita bertanya kepadaku dan kesembilan temanku. “Kami sedang menjahit dua kain ini untuk dijadikan sebagai bendera Merah Putih di hari perlombaan 17 Agustus nanti bu”, aku mencoba menjelaskan secara rinci kepada guruku, ibu Merita. Sungguh, tiba-tiba Ibu merita terduduk di atas kursi dan kemudian menangis melihatku dan kesembilan temanku. “Maafkan ibu, karena ibu tidak bisa membelikan kalian sebuah bendera”. “Bu, dengan ibu sudah mau datang kekampung kami, dan kemudian memberikan kami ilmu hingga membuat kami menjadi seseorang yang pintar, mengetahui aneka macam ilmu pengetahuan, pendidikan, kami sangat bahagia. Dan kami sangat sayang dengan ibu. Kami janji, jika suatu hari kami menjadi seorang sarjana, kami akan kembali ke kampung ini, dan akan membangun SMA kita, dan kampung kita ini, menjadi lebih baik lagi dan maju lagi”. Aku dan kesembilan temanku, memeluk dan mencium ibu Merita dengan hangat.
4 tahun kemudian… Dengan wajah semangat dan bahagia, aku mencium togaku, sebagai tanda bahwa aku telah menjadi seorang sarjana. Sungguh, tidak pernah aku melupakan jasa-jasa yang sangat berharga dari guruku tercinta Ibu Merita, sosok pahlawan yang senantiasa membimbingku hingga aku bisa pergi ke Jakarta dan mengenyam pendidikan menjadi seorang sarjan Matematika. Dan, tidak pernah aku melupakan kesembilan teman seperjuanganku, yang saat ini juga telah menjadi seseorang yang sukses, dan menjadi seorang sarjana. Teringat, 3 bulan menjelang Ujian Nasional, aku dan kesembilan temanku telah berhasil membawa SMA ku menjadi juara 3 sekolah tercantik di perlombaan 17 Agustus tingkat Kabupaten. Selain itu, ada satu cerita yang tidak akan pernah aku lupakan. Dimana ketika Ujian Nasional, aku bersama kesembilan temanku, dengan didampingi oleh ibu Merita, berjuang bersama-sama menju ke kota untuk mengikuti Ujian Nasional tingkat SMA. Awalnya aku sangat sedih, mengapa aku dan kesembilan temanku, tidak bisa mengerjakan Ujian Nasional di sekolahku sendiri. Namun, hal ini tidak membuat aku dan kesembilan temanku pupus dan terus berjuang hingga akhirnya aku, yang merupakan perwakilan dari sekolahku mendapat juara 1 Ujian Nasional terbaik di tingkat Provinsi.
Keeseokan harinya, dari Jakarta, aku bergerak menuju ke kampungku, Kampung Biru. Ada rasa rindu yang tertanam di hatiku terhadap kampung kelahiranku. Sungguh, tidak akan pernah kulupakan janjiku kepada kampungku, bahwa jika aku kembali ke kampungku, aku akan membangun SMA ku dan Kampung Biru, menjadi lebih baik lagi, dan maju lagi.
1 Jam di perjalanan… “Karina?”. Tanpa kuduga, orang-orang kampung telah menyambutku dengan hangat, begitu juga tampak ibu Merita menyambutku. Aku memeluk ibu Merita. “Saya rindu sekali dengan ibu. Dan lihat bu, sekarang saya telah menjadi sarjana Matematika”, aku kembali memeluk ibu Merita sekali lagi. “Ibu sangat bahagia, kamu dan kesembilan teman kamu sekarang telah menjadi seorang sarjan dan menjadi seseorang yang sukses. Selamat nak”. Ibu Merita memberi selamat kepadaku. “Saya juga berterimakasih kepada ibu. Mungkin, tanpa ibu, saya dan kesembilan teman saya tidak mungkin bisa seperti ini sekarang. ” “Karina, mungkin ini adalah hari terkahir kita berjumpa. Dikarenakan, masa kerja ibu telah selesai, dan ibu harus kembali lagi ke Jakarta. Jadi, ibu ingin kamulah yang meneruskan perjuangan ibu ya, membangun SMA Kampung biru dan juga Kampung ini, menjadi kampung yang lebih baik, terutama di pendidikannya”. “Iya bu, saya janji, saya akan berjuang untuk Kampung Biru”. Aku memeluk ibu Merita.
Dan, 10 tahun kemudian, dengan semangat dan kerja kerasku serta ilmu yang aku miliki selama ini, akhirnya, aku bisa membangun Kampung Biru dan SMA Kampung Biru menjadi sebuah kampung dan sekolah yang maju dan terkenal di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
TAMAT
Cerpen Karangan: Aisyah Nur Hanifah Facebook: Aisyah Nur Hanifah ( nur ) Hi nama saya aisyah nur hanifah Assalamualaikum, semoga teman-teman suka ya 🙂 Selamat membaca 🙂