Aku kembali melihat album foto berdebu yang di sana terdapat foto kami. Andai semua tak terjadi begitu cepat. Pasti sekarang kita masih berkumpul bersama. Andai kau masih ada di sini sekarang. Pasti kau akan bangga melihatku. Andai Tuhan tak mengambilmu. Andai waktu dapat diputar lagi. Andai kau tak melakukan hal bodoh yang dapat mencelakakan dirimu sendiri. Tapi, ini sudah takdir. Kita tak dapat menolak kuasa Tuhan yang telah mengambilmu dari keluarga sempurna ini.
Flshback Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang kini telah becek karena semalam hujan lebat. Perlahan, aku mendengar sayup sayup seseorang tengah memanggilku. Ayah. “Kak…” Panggil ayahku. Sontak aku pun segera berbalik. Segera kusalami tangan kasar itu. “Kakak gimana tadi sekolahnya? Gak ada masalahkan?” Tanya ayah sambil berusaha mensejajari langkahnya denganku.
Aku membuang napas berat. Mengapa pertanyaan sekolah yang harus ayah lontarkan? Aku tidak mungkin mengaku kalau aku belum membayar iuran sekolah. Itu malah memperburuk keadaan. Ya. Memang aku tinggal di keluarga tak mampu. Aku mempunyai 6 orang adik yang mana 3 adikku sudah menginjak SMP. Sedangkan yang 2 masih SD. Adikku yang masih kecil belum sekolah. Ayah memang kepala keluarga di bantu denganku. Ibu telah lama meninggal sejak 2 tahun yang lalu melahirkan anaknya yang juga adikku.
“Yah… Aku boleh ikut ayah jualan gak? Aku gak usah sekolah gak apa apa… Boleh ya…” “Gak boleh gitu nak. Pendidikan itu penting. Kamu jangan kayak ayah yang hanya tamatan SD. Kamu sekarang SMA saja ayah bangga. Kamu harus melanjutkan sekolahmu sampai sarjana. Ayah yakin kamu pasti bisa.”
Aku menimang nimang kata kata ayah. Bisa? Mustahil. Aku saja hampir dikeluarkan karena tak membayar iuran. Mana mungkin aku bisa sampai sarajana?
“Yah… Ayalah. Aku gak mau ayah sendiri terus yang kerja. Aku mau bantu ayah. Pasti ayah capek kan? Udah gak apa apa. Masalah sekolah bisa nanti. Boleh ya…” Pintaku.
Ayah tersenyum mendengar ucapanku.
Sejak aku berhenti sekolah, aku membantu ayah dengan mencari pekerjaan di toko. Alhamdulillah. Walaupun hanya menjadi tukang bersih bersih, aku sudah sangat bersyukur. Tak apa aku tak sekolah. Yang penting, aku mau adik adikku tak sepertiku. Aku mau adikku sukses.
2 tahun telah berlalu dengan sangat baik. Hari ini aku pulang dari toko tempatku bekerja ke rumah yang selama ini memberi kehangatan tersendiri untukku dan adikku. “Assalamu’alaikum…” Ucapku sambil menenteng sepatu yang sudah tak berbentuk sepatu lagi kemudian masuk. “Waalaikum salam…” Jawab adik adikku yang sedang belajar di ruang depan.
Kulihat kelima adikku menyalami tanganku. “Kakak. Tadi aku di sekolah ulangan dapet seratus dong…” Ucap adik laki lakiku yang berumur 10 tahun. “Iya? Wah pinter adik kakak…” Kataku sambil berjongkok mensejajari tinggi kami kemudian mengelus rambutnya. “Iya dong… Kakaknya pinter adeknya juga harus pinter!” Ucap Mia yang sekarang menginjak SMP kelas 3. “Kak. Kok bang Ardi belum dateng?” Tanya Sella adikku nomor 2 yang sekarang telah SMA. “Iya kak. Ayah juga belum…” Ucap Vivin. “Iya? Mungkin kak Ardi lagi tambahan pelajaran kali di kampusnya…” Kataku menenangkan. “Kalo ayah? Harusnya sekarangkan udah pulang…” Ucap Mia.
Iya ya… Kok ayah belum pulang? Perasaan gelisah, takut, dan sedih menyelimutiku. Tiba tiba,
BRAKK!
Ardi mendobrak pintu sangat keras. Sehingga membuatku terlonjak kaget.
“Ardi! Bisa gak sih buka pintu pelanan dikit? Kalo pintunya rusak gimana? Udah tau kita orang miskin…” Ucapku yang masih setengah kaget.
Kulihat raut muka Ardi panik dan takut. “Kak…” “Kenapa?” “Ayah kak…” “Ayah kenapa kak Ardi?” Tanya Risa. “Ayah kecelakaan…”
Mulutku terbuka lebar. Jantungku terpompa sepulih kali lebih cepat. Tentu aku sangat kaget dengan berita ini.
“Mak-maksud kamu apa?” Tanyaku tak kalah panik dengan Ardi. “Ayah sekarang di rumah sakit Carita. Ayo kak… Kita pergi. Aku gak mau terjadi apa apa…”
Tak ada waktu lagi untuk bersiap siap. Ini masalah nyawa. Aku gak mau terjadi apa apa dengan ayah.
Ketika keluar, aku kaget dengan adanya mobil mewah berwarna merah terparkir rapi dengan seorang di dalam mobil itu. “Ayo naik kak…” Ajak Ardi sambil membukakan pintu. Baru mau aku bertanya, Ardi sudah membuka mulutnya. “Nanti aku jelasin.” Ucap Ardi.
Sesampainya di rumah sakit, aku segera ke UGD tempat ayah dirawat. Di depan UGD, kulihat laki laki dan wanita paruh baya sedang menangis. Mereka siapa?
“Dek, maaf. Saya Lila. Dan ini Bram suami saya. Saya mohon maaf. Ayah adek tertabrak truk ketika dia ingin menolong saya. Saya minta maaf. Saya akan menanggung semuanya.”
Ucapan Bu lila tak kujawab. Aku hanya dapat menangis meratapi nasibku ini. Mengapa ini bisa terjadi?
Seorang dokter keluar dari ruang ayah dirawat. Aku sungguh tak kuat mendengar jawaban dokter. “Bagaimana keadaan ayah saya dok?!” “Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi, mungkin ini sudah takdir. Ayah anda tak terselamatkan. Saya mohon maaf.”
Hatiku hancur. Tangis yang kubendung seketika pecah. Aku tak dapat menerima kenyataan ini. Mengapa ayah pergi? Sekarang, sudah tak ada lagi sosok orangtua di sampingku. Bagaimana nasibku dan nasib adikku? Bagaimana aku harus menutupi kekurangan hidup keluargaku? Aku hanya terus menangis. Mengapa Tuhan vegitu jahat mengambil ayah? Mengapa harus sekarang?
—
Aku berjalan menyusuri lorong kampus yang sekarang sudah menjadi sekolahku. Semua mata memandangku takjub.
Setelah kepergian ayah 6 tahun lalu, aku tinggal di keluarga bu Lilla dan pak Bram yang saat itu membantuku. Bu lila mengambilku dan semua adikku untuk diasuh sebagai anaknya.
Semua adikku telah sukses. 2 adikku yang pertama telah berkeluarga dan tinggal di luar negeri. Aku juga meneruskan pendidikanku yang dulu tertunda dan sekarang aku telah mendapat gelar S2. Aku juga mendirikan sekolah untuk anak yatim-piatu dan kurang mampu.
Inikah arti semuanya? Inikah arti rencana Tuhan kepadaku dan keluargaku? Ayah… Seandainya kau ada di sini. Pasti kau sudah bangga. Ayah… Kau sudah menjadi contoh kepadaku dan semua adikku. Ayah… Kutau kau memang tak sempurna. Tapi, kau adalah pahlawan bagiku dan keluargaku. Kau pergi karena membantu seseorang. Kau korbankan nyawamu. Aku bangga padamu ayah…
Cerpen Karangan: Syahvirlia A. Facebook: syah.virlia Aku bersekolah di SMPN 166 jakarta. Tahun ini, umurku empat belas tahun. Berharap cerpennya seru dan bisa menginspiratif para pembaca. Twitterku: @Virly Aulya