Suara ayam berkokok terdengar begitu nyaring menembus lubang-lubang bilik kamarku. suara tumbukan halu yang beradu dengan lisung membangunkan aku dari lelapku yang nyenyak. Segera ku tersadar dan mengingat bahwa hari ini adalah hari senin. Aku bergegas mengambil handuk dan melesat menuju sumur yang letaknya tak jauh dari rumahku. Aku melewati ibu yang sedang sibuk menumbuk padi untuk persediaan makan tiga hari kedepan. Beberapa detik saja aku memperhatikan ibu, dan melanjutkan kembali niatku untuk mandi di sumur yang ada di belakang rumahku.
Hari ini aku bersyukur karena masih terbangun sepagi ini. Jarum Jam dari arloji tua Bapak yang tergantung di dinding bilik rumahku telah menunjukkan pukul 7:24 menit. Masih ada waktu untuk tetap pergi ke sekolah. Tapi, mengingat jarak dan perjalananku ke lokasi sekolah, membuat aku sedikit khawatir akan tertinggal pelajaran begitu jauh. Kuharap Bu guru memaklumiku lagi.
“Emak, kenapa tidak membangunkan Ncung tadi pagi?. Ncung kan hari ini sekolah”. Tanyaku pada ibu saat menyiapkan nasi remas untuk bekalku. “Emak sudah membangunkanmu cung, tapi kamu cuma membalikan badan dari tengkurep jadi terlentang, terus tidur lagi. Ya sudah emak pikir kamu gak mau masuk sekolah.” Jawab Emak dengan nada yang sangat lembut dan menyodorkan nasi remas dengan lauk makan oseng daun singkong dan sambal cabai hijau yang dibungkus dengan daun pisang. Beberapa menit Aku terdiam, karena merasa bersalah. “Mak, Bapak kemana? Dari Tadi Ncung tidak melihatnya.” Tanya ku kemudian. “Bapakmu pergi ke warung-warung mencari plastik.” Jawab Emak sembari melanjutkan kesibukannya menumbuk pagi. “Emang plastik yang biasa kemana mak?.” “Dipake Bapakmu kemarin, untuk wadah benih pagi.” Aku terdiam lagi. Sebenarnya perasaanku semakin gelisah, karena sudah waktunya aku berangkat ke sekolah, tapi Bapak belum juga datang. Dan tidak lama kemudian, tubuh Bapak yang kekar mulai terlihat dari kejauhan. Muncul dari sela-sela kerumunan pohon pisang yang ada di belakang rumahku. Aku bernapas lega dan menghampiri Emak untuk menyalaminya dan berpamitan. “Mak, Ncung berangkat ya.!” “Iya nak, belajar yang bener ya!” “Iya Mak, Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikumsalam!” balas Emak. Tak lama kemudian Bapak Memanggil dari luar. “Ncuuung!! Ayoo! sudah siang.!” “Iya Pak!” Sahutku sedikit berteriak dan bergegas meghampiri Bapak.
Aku berjalan membuntut di belakang Bapak. Menyusuri jalanan setapak yang membawaku menuju ke sebuah sungai. Seperti biasa perjalanan ku ke sekolah, selalu diiringi oleh kicauan burung yang terhinggap di pepohonan yang rindang di sebelah kiri dan kananku. Namun, Kesejukan pagi ini sedikit tidak kunikmati, karena kegelisahan menemaniku hari ini. Langkah Bapak semakin cepat, aku sampai sedikit berlari-lari mengejarnya. “Ayo Cung, cepat! Jangan sampai kamu terlalu terlambat masuk sekolah.” Ucap Bapak dengan langkah kakinya yang semakin cepat. “Iya Pak.!” Sahut ku. “Tidak biasanya kamu kesiangan Cung. Kenapa?” tanya Bapak dengan suara datar. “Emm, semalam Ncung gak bisa tidur Pak. Nyamuknya banyak banget.” Bapak tidak berkata lagi. Aku tahu, Bapak pasti merasa bersalah. Karena sedang tidak ada uang untuk membeli obat nyamuk bakar semalam.
Akhirnya, kami tiba di sebuah sungai. Sungai terbesar di kampung kami. Untuk menyemberang, sekitar 15 meter jarak jauhnya. Tidak seperti biasa, kuperhatikan arus sungainya sedikit kencang. Kekhawatiranku memuncak dan jantungku mulai berdegup kencang. Aku rasa Bapak juga sedikit cemas meski terlihat tetap tenang memperhatikan arus air. Kualihkan pandanganku pada jembatan kayu buatan warga dulu yang telah lama ambruk karena rapuh. Sudah sekitar satu tahun jembatan satu-satunya akses kami untuk menyeberang sungai ini tidak diperbaiki, karena kekurangan dana.
“Ayo Cung. Masuk.” Seruan Bapak mengejutkanku dari lamunan. Bapak melebarkan mulut plastik bening berukuran besar, seukuran karung beras. Cukup muat untuk ukuran badanku yang kecil. “Pak, arus sungainya kencang.” Aku tidak segera masuk ke dalam plastik karena cemas. “Tidak Cung. Jangan Khawatir. Ini sedikit Kencang saja. Ayo, nanti ketinggalan belajarnya.” Seru Bapak dengan tetap tenang.
Aku mulai memasukan kakiku satu persatu ke dalam plastik. Sampai akhirnya seluruh tubuhku berada di dalamnya dengan posisi meringkuk. Kemudian, bapak memasukan udara, lalu mengikatnya. Ini biasa kami lakukan saat akan pergi ke sekolah yang berada jauh menyeberang sungai. Ide Bapak saat jembatan tidak bisa di gunakan lagi untuk menyeberang. Karena berfikir airnya mengalir tidak terlalu deras dan kedalaman air yang setinggi antara pinggang dan dada orang dewasa, munculah ide ini dari Bapak, agar seragam yang aku kenangan tidak terkena air, dan agar aku tetap bisa sekolah. Karena jika menggunakan rakit atau perahu, arus air akan membawanya ke hilir dan sulit di kendalikan. Dua teman dari sekampungku juga melakukan hal yang sama selama kurang lebih satu tahun ini. Dan hari ini, kedua temanku sudah berangkat ke sekolah lebih awal pastinya.
Bapak melepaskan sandal jepitnya, dan mulai memasuki arus air. Tangan Bapak memegangi plastik dengan sangar erat. Perlahan-lahan aku sedikit mengapung. Jantungku berdegup. Saranya ingin segera sampai ke tepi sungai. Dengan hati-hati sekali Bapak menyeberangi sungai ini. Langkah kakinya meraba-raba dasar sungai agar tidak menginjak batu yang licin. Langkah demi langkah kaki Bapak memunculkan harapanku untuk segera sampai dengan selamat. sedikit lagi, Bapak akan sampai membawaku ketepi sungai. Tapi tiba-tiba saja. Buurrrrrrrr… kaki Bapak terpeleset. Bapak berusaha menggapai-gapaikan tangan kanannya mencari sesuatu yang bisa diraih dan menahannya agar tidak terbawa arus. Jantungku hampir copot, Perasaanku kacau, rasa takutku memuncak, aku tak kuat menahan tangis. Tangan kiri Bapak semakin erat memegangi plastik tepat pada posisi ikatannya. Dan beruntunglah, Bapak berhasil menggapai akar pohon yang menjuntai ke sisi sungai, dan membawaku semakin dekat dan akhirnya sampailah kami di tepi sungai.
Bapak membuka ikatan tali plastik dan mengeluarkanku. “Sudah, sampai.” Ucap Bapak dengan nafas yang masih terengah-engah. Aku mengeluarkan seluruh tubuhku dari dalam plastik, dan menatap Bapak yang duduk di bawah tanah. “Hampir saja Cung. Haha.” Ucap Bapak lagi dengan sedikit tertawa. Pada situasi yang hampir merenggut nyawa, Bapak masih sempat tertawa. Bapakku adalah orang yang sangat hebat, melebihi para pejabat di kota sana. Bapak melihatku sedang menyeka mata yang basah karena menangis ketakutan. “Hufh, sudah jangan cengen. Masa begitu saja nangis kamu Ncung. Laki-laki harus berani, pantang menangis, yah!” Ucap Bapak lagi dengan mengelus kepalaku dan berdiri. Aku hanya mengangguk. “Sudah sana ke sekolah. Belajar yang bener biar bisa jadi orang hebat.” Ucap Bapak lagi dengan semangat yang selalu terpancar dalam dirinya. “Iya Pak, Assalamu’alaikum.” Aku meraih tangan Bapak dan berpamitan.
Beberapa langkah aku mulai menjauh dari sungai. Aku membalikan badan ke arah sungai lagi, dan terdiam beberapa saat melihat Bapak yang sudah berada di tengah sungai untuk menyeberang dan kembali ke rumah. “Pak, Ncung janji akan belajar dengan giat dan bersungguh-sungguh. Ncung tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan besar Bapak melawan arus sungai ini. Ncung akan menjadi orang hebat dan memiliki banyak uang untuk membangun desa dan jembatan di sungai ini. Agar kelak, adik-adik Ncung bisa dengan mudah dan aman menyeberangi sungai dan pergi ke sekolah. Aamiin.”
THE END
Cerpen Karangan: Diana Astari Blog: distarii.wordpress.com nama : diana Astari alamat : kp. pengasinan, gunungsindur. Bogor status : mahasiswa