Suasana pagi itu tak seperti biasanya, rumah yang sepi kini mendadak menjadi ramai. Banyak mobil-mobil mewah yang hilir mudik ke sebuah rumah kecil yang terbuat dari ayaman bambu. Tak ada sedikitpun kemewahan yang terlihat dari rumah yang berdiri di ujung kampung itu.
Seorang wanita tua sedang duduk di tikar dengan deraian air mata. Sementara di sampingnya tetangga mencoba menenangkan agar Sunarti tetap tabah dan tegar. Sebentar lagi pemakaman akan segara dilaksanakan. Pemakaman jasad suami yang amat dicintainya yang telah lima puluh tahun lebih bersamanya. Pemakaman dilakukan dengan begitu hikmat banyak dari kalangan pejabat yang datang untuk mengucapkan belasungkawa. Berbagai bunga berderet di depan rumah. Bahkan dari orang nomor satu di negeri ini juga turut mengucapakan belasungkawa meskipun hanya dengan ucapan dari bunga hias.
Sunarti tak pernah berfikir kalau sore itu adalah pembicaraan yang terakhir antara dirinya dengan suami yang amat dicintainya. Tak pernah ada tanda-tanda yang diperlihatkan oleh suaminya kalau dia akan meninggalkan dirinya lebih dulu. Walaupun beberapa hari ini suaminya sering mengeluh kalau selalu ingin tidur. Namun tak disangka kalau semua itu adalah petanda ia akan pergi. Sunarti berpikir kalau semua yang dialami suaminya lantaran umur yang sudah tua dan pekerjaan yang semakin berat.
Sudah seringkali Sunarti membujuk suaminya untuk berhenti bekerja saja. Namun semua itu tak pernah didengar oleh suaminya. Dengan dalih mengabdi kepada bangsa pak Jamal enggan mengajukan pensiun meskipun sebenarnya umurnya tak muda lagi. Tapi begitulah watak pak Jamal, jika sudah mempunyai tekad maka tak ada yang mampu menceganhnya. Bukan hanya umur yang semakin tua akan tetapi penyakit Jantung yang kian parah yang membuat Sunarti sering memarahinya.
Sore itu pak Jamal baru saja pulang dari tempat kerjanya di SD yang sudah tiga puluh tahun lebih dirintisnya. Meskipun sebagai guru senior pak Jamal sampai sekarang belum diangkat menjadi pegawai negri sipil (PNS) seperti yang diimpikan oleh istrinya. Bermodalkan keihlasan pak Jamal senantiasa memberikan segala ilmu yang dimilikinya untuk semua anak-anak di sekolahnya. Banyak anak didiknya yang kini sudah menjadi orang yang sukses menjadi pengusaha, DPR, Mentri, Dokter, dosen dan masih banyak lain itulah yang menjadi kebanggaan pak Jamal.
“Assalamualaikum” Pak jamal memasuki rumah yang hanya berukuran lima kali enam meter. Sudah hampir lima puluh tahun sudah pak Jamal menempati rumah yang teramat sederhana. Tak ada barang yang mewan di dalamnya melainkan hanya sebuah kursi yang tua yang hampir habis dimakan rayap. Di pojok kanan sebuah lemari ukir khas Jawa masih berdiri tegak. Disanalah disimpannya berbagai kenangan dan penghargaan sebagai seorang guru teladan. Berbagai penghargaan telah diterimanya mulai dari tingkat kota sampai penghargaan dari Presiden. Penghargaan yang sangat dibanggakan adalah saat ia bisa bertemu sang Presiden dan dapat bersalaman langsung dengan presiden. Penghargaan sebagai tokoh perubahan di dunia pendidikan yang membawa namanya sepat melejit di berbagai media masa maupun media elektronik. Setiap pulang dari tempat kerjanya ia selalu mengelus-elus penghargaan itu lanyakanya anak sendiri. “Walaikumusalam” Jawab Sunarti seorang wanita yang senantiasa menemani perjuangan pak Jamal. Sudah hampir lima puluh tahun wanita itu menemani pak Jamal dalam keseharianya. Sunarti menjadi penyemangat disaat Pak Jamal sedang sedih. “Tumben jam segini sudah pulang pak” tambah Sunarti yang sedang asik menenun. Seperti wanita pada umumnya Sunarti setiap hari hanya menenun kain. Namun itu bukan kain miliknya, Sunarti hanya bertugas menenun ketika sudah selesai maka akan ada yang mengambil hasil tenunannya. Ya sunarti hanya memperoleh upah 50 ribu. Lumanyan untuk menambal kekurang dan sedikit menghidupi agar dapur tetap bisa berasap. Dalam satu bulan Sunarti paling hanya mampu menenun dua buah saja. Paling banyak tiga buah per bulan. Namun semenjak matanya sudah tak senormal dulu Sunarti tak selincah dulu. “Ya bu bapak ijin pulang lebih awal badan bapak tidak enak bu, sejak semalam rasanya mau tidur terus” Jawab Pak jamal “Bukanya ibu sudah bilang sudah bapak mengajukan pensiun saja. Bapak sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan, biarlah para pemuda sekarang yang meneruskan perjuangan bapak” Balas Sunarti “Tidak bisa bu sudah menjadi kewajiban bapak untuk tetap mengabdi” Jawab Pak Jamal “Mengabdi sih mengabdi pak tapi ingat kondisi dan umur pak” Tegas Sunarti “Memangnya kalau umur bapak sudah tua tidak boleh mengabdi kepada bangsa bu” Jawab pak Jamal yang masih asik memegang penghargaan yang pernah diberikan oleh presiden. “Dari dulu bapak selalu bilang seperti itu mengabdi untuk bangsa dan negara. Sekarang ibu tanya pak apa yang telah negara berikan untuk bapak. Sudah Tigapuluh tahun lebih bapak mengabdi belum juga diangkat menjadi pegawai Negeri. Padahal bapak juga yang merintis sekolah sampai menjadi sekolah yang besar seperti sekarang” Balas Sunarti “Pengabdian tidak bisa diukur dengan menjadi seorang pegawai Negeri saja bu. Buat apa menjadi pegawai Negeri tapi bisanya Cuma korupsi waktu. Mengbadi buat bapak adalah dengan ketulusan hati. Karena hanya dengan ketulusan hati saja kita sebagai guru dapat menciptakan para generasi bangsa yang mempunyai Ahlak yang mulia.” Tegas Pak Jamal “Mengabdi untuk bangsa sementara kita makan saja susah, coba ibu tanya sudah berapa banyak para pemimpin yang bapak ciptakan, para dokter dan para wakil rakyat, tapi apa pernah mereka datang memberikan sesuatu atau sekedar mengucapkan terimakasih. Karena tanpa seorang guru tidak akan pernah mereka bisa menjadi orang yang sukses” “Ya apa yang bapak lakukan benar-benar tulus dan ikhlas bu. Sudah bu aku tidak mau ribut bikinkan aku kopi saja rasanya mata ini tidak mau aku buka.” Jawab pak Jamal “Ya pak” Sunarti segera meletakan kain teununnya dan pergi menuju dapur yang tak jauh dari tempat ia menenun.
“Ini pak kopinya” Sunarti menyodorkan secangkir kopi “Mau sampai kapan pak, mengelus-elsu foto itu. Setiap hari selalu bapak elus-elus, apa tidak bosan. Lagipula semua yang bapak dapat itu tidaklah membuat hidup bapak menjadi lebih baik. Biarpun puluhan penghargaan bapak dapatkan, tetap saja bapak menjadi pegawai honorer dengan gaji hanya tiga ratus ribu.” Tambah Sunarti yang melihat Pak Jamal sedang asik mengelus-elus penghargaan yang ia dapatkan. Memang bukan hal baru bagi Sunarti yang melihat kelaukan suaminya. Sudah seringkali Sunarti mengingatkan suaimnya. “Ini adalah penghargaan bapak yang paling berkesan, karena bapak bisa langsung bertemu dengan orang nomer satu dibangsa ini.” Tegas pak Jamal “Memangnya setelah bapak bertemu dengan orang itu bapak dapat apa. Toh tetap saja bapak hanya pegawai honorer. Lagipula barang seperti itu tak laku kalau dijual” Jawab Sunarti dengan nada sedikit sinis. “Ya terserah kamu bu, saya mau ke kamar dulu rasanya mata ini tidak bisa lagi ditahan” Sanggah pak Jamal Tak terdengar lagi perdebatan di antara mereka. Memang akhir-akhir ini mereka sering bertengkar lantaran pak Jamal yang enggan untuk mengajukan pensiun. Padahal sakit yang dideritanya sudah semakin parah. Namun tetap saja pak Jamal tak mau mengajukan pensiun. Semua itulah yang membuat Sunarti menjadi sering marah tentunya marahnya karena sayang dengan suaminya.
Suara adzan Mahrib berkumandang namun pak Jamal tak bernajak dari tempat tidurnya. Sunarti sudah berulangkali memanggil-manggil namun tetap saja suaminya tak bergeming. Tak ada jawaban dari balik pintu itu. Karena tak ada jawaban Sunarti bergegas menju kamar tempat suaminya tertidur. Berulangkali Sunarti membangunkan suaminya namun tak mau bangun juga. “Pak… pak bangun sudah Mahrib” pinta Sunarti “Pak bangun…” Panggil Sunarti kembali sembari mengoyang-goyangkan tubuhnya. Tapi tetap saja suaiminya tak bergeming. Sunarti sadar kalau suaminya ia tak akan bangun lagi. Karena tak kuat dengan kenyataan yang ada Sunarti pun tak sadarkan diri. Ketika bangun dari pingsanya rumah telah menjadi ramai oleh tetangga yang datang.
—
Air mata Sunarti kemabli meluncur dengan derasnya tatkala jasad suaminya dimasukan keliang lahat. “Karena hanya dengan ketulusan hati saja kita sebagai guru dapat menciptakan para generasi bangsa yang mempunyai Ahlak yang mulia” itulah kata-kata suaminya yang masih teringat dengan jelas. Semua itu bukan hanya perkataan saja karena sudah dibuktkan dengan pengabdiannya. Saat pemakaman banyak yang hadir mereka adalah mantan murid-muridnya yang telah ia bimbing.
Cerpen Karangan: Saeful Mustakim Facebook: Saeful Mustakim