Pagi yang bising di sebuah gang kos-kosan, Viona terbangun dengan suasana hati yang kurang mengenakkan. Ia masih terbawa dengan kejadian kemarin. Ya, kemarin. Jangan tanya apa permasalahannya, sudah pasti ini masalah IPK, sebab nilai IPK-nya semester ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan. 3.75, 3.88, 3.97 dan 3.92 begitulah nilai-nilai IPK yang Viona peroleh selama kuliah. Ia sama sekali tidak mensyukuri nilai IPK yang ia dapatkan di semester empat ini.
“Ya ampun, gue masih gak percaya kalau IPK gue turun. Ah, kenapa coba? Padahal harapan gue semester ini IPK gue udah 4.00.” Tanya Viona dalam hati. Ia masih terbaring di tempat tidurnya, masih memikirkan IPK-nya. Terus-menerus hingga tukang bubur ayam langganannya lewat. “Buryam, buryam..” Namun Viona tetap tidak menghiraukan suara tersebut.
Pukul 11:00 WITA, Viona bersiap-siap untuk ke kampus. Di kampus ia bertemu dengan teman-temannya. Setiap berpapasan dengan temannya, selalu mereka saling menanyakan tentang nilai IPK. “Eh.. Vi, Vi? Wah, pasti IPK lo semester ini muasin lagi deh. Iya kan? Hehe..” Tanya Gebi. “Ah, turun, Geb.” Jawab Viona. “Ya kali, masa sih?”. Tanya Gebi lagi. “Iya, kan waktu semester tiga IPK gue 3.97, nah semester ini 3.92.” Perjelas Viona. “Astaga, kirain turun berapa. Santai aja lagi. Gue yang nilai IPK nya 3.25 biasa-biasa aja kok. Hahaha.” Canda Gebi. “Haha iya, Geb, Iya. Hmm.. Oh iya, gue pengen ke kantin nih. Ke kantin yuk?” Ajak Viona. “Yah, maaf Vi.. Gue buru-buru pengen jemput adik gue di sekolahnya. Lain kali aja yah? Gue duluan yah, Vi.” Pamit Gebi.
Di kantin Viona duduk di bangku pojok setelah memesan jus jeruk kesukaannya. Tiba-tiba suara dering telepon berbunyi. Telepon tersebut adalah telepon dari ibunya yang berada di kampung. “Assalamu’alaikum, nak. Bagaimana kabarmu? Dan bagaimana kuliahmu?” Tanya ibu Viona. “Wa’alaikum salam, bu. Alhamdulillah, bu. Kabar Viona di sini baik-baik saja. Hmm.. Baru aja kemarin nilai IPK Viona keluar, bu. Tapi, hasilnya jelek. Nilai IPK Viona turun. Maaf ya, bu.” Jawab Viona dengan perasaan bersalah. “Ya ampun gak papa kok, nak. Tapi semua mata kuliah lulus kan? Yang penting itu bukan nilai yang kamu peroleh, tapi ilmu yang kamu dapat.” Seru ibu Viona. “Yah.. Tapi kan, bu.. Viona bercita-cita dapat nilai tertinggi pas wisuda nanti. Biar bisa bikin bangga ibu.” Seru Viona. “Iya tapi tanpa itu kamu udah bikin ibu bangga, nak. Gak usah terlalu dipikirin nilai IPK kamu yang sekarang ini. Intinya kamu kuliah baik-baik di sana. Udah dulu ya, nak. Ibu lagi masak nih, hehe.. Assalamu’alaikum.” Nasihat ibu Viona. “Iya, bu. Wa’alaikum salam.” Seru Viona. Selang beberapa menit, jus jeruk pesanan Viona pun datang, lalu dihabiskannya.
Ketika melewati mading, Viona terpaku pada sebuah tulisan. Tulisan tentang seminar yang bertemakan “IPK”. Ya, iya langsung saja penasaran dan tertarik untuk mengikuti seminar tersebut. Dua minggu kemudian, tepat hari di mana seminar itu diadakan, siang itu pukul 01:00 WITA Viona berangkat menuju ke tempat seminar. Sesampai di sana, ia duduk di bangku barisan ke empat. Ada 80 orang yang menjadi peserta seminar pada hari itu. Termasuk pula Gebi, teman sekelas Viona. Mereka bertemu di sana dan duduk bersebelahan. Seminar tersebut diadakan selama kurang lebih dua jam dengan dua pembicara. Pembahasan mengenai mahasiswa yang mengejar IPK yang tinggi membuat VIona tersinggung juga membuatnya sadar karena selama ini, dia adalah salah satu mahasiswa yang masuk dalam kategori tersebut. Viona yang sangat mengejar nilai IPK yang tinggi dan tidak aktif dalam organisasi apa pun di kampus membuatnya menjadi mahasiswa yang hanya pintar dalam sebuah tes tertulis, namun pada hal berbicara di depan umum ia masih kaku. Ia juga terkadang ceroboh dan mudah menyerah dalam menyelesaikan sebuah masalah. Ia baru menyadari semua itu. Dan setelah mengikuti seminar tersebut Viona tak lagi memikirkan nilai IPK-nya yang turun.
Memasuki perkuliahan pada semester lima Viona telah aktif dalam sebuah organisasi pada bidang jurnalistik. Bahkan sambil kuliah ia juga bekerja di sebuah butik milik ibu temannya. Kini Viona mampu membagi waktunya juga telah meringankan beban ibunya di kampung dengan gaji yang ia peroleh. Seminar tersebut benar-benar memotivasi dan mengubah hidup Viona.
Cerpen Karangan: Anna Widi Astuti Djafar