Jilbab putih menutupi wajah bundar, berkulit hitam manis, bertengger tahi lalat menghiasi pipinya yang lesung. Dengan kepolosan dan keluguannya mewarnai keayuan Siti Saodah. Ia rajin serta disayang kawannya. Terlahir dari seorang pedagang gula aren sebagai mata pencaharian pokok. Dari sanalah orangtuanya bisa membiayai hidupnya yang kembang kempis. Mereka hidup dibawah garis kemiskinan, hanya sesekali bisa mengais rezekinya.
Cidugaleun, kampung kelahirannya. Berada di bukit terjal di bawah kaki Galunggung, yang konon pernah memuntahkan lahar bebatuan di tahun 1982. Konon pula butiran-butiran debunya sampai ke Benua Kanguru.
Di sekitar gubuknya dikelilingi pepohonan aren nan menjulang ke angkasa.
Kokokan ayam membangunkan dia beserta keluarganya yang terlelap dari tidurnya. Dia bergegas ke “Pancuran” di belakang rumah untuk berwudhu dan mendekatkan diri kepada Alloh SWT, serta berdo’a semoga diberikan kemudahan dan kelancaran karena akan menghadapi Ujian Nasional. Tak lupa, dia selalu membuka buku-buku pelajaran karena dikenal juga dia “Si kutu buku”.
Siti pun menyiapkan sarapan pagi untuk mutiara yang paling ia kagumi, yaitu kedua orangtuanya. Sementara, mereka mencetak gula aren untuk dijualnya.
Setelah sarapan pagi selesai, Siti berkata kepada kedua orangtuanya: “Ibu… Bapak… Alhamdulilah ya kita masih diberi rezeki oleh Alloh SWT.” “Ia Nak, kita harus bersyukur kepada Alloh! karena Dia-Lah yang telah memberi rezeki kepada keluarga kecil kami ini.” Ujar Bapaknya “Kita harus berterima kasih kepada-Nya. Berdo’a dan beribadah itu harus. Walaupun kita orang miskin, tetapi kita tidak boleh lupa yang namanya bersyukur dan beribadah.” Lanjut Ibunya “Iya, Bu… Pak… Siti tidak akan lupa untuk beribadah kok.” Ujar Siti
Raja siang memancarkan sinarnya dari ufuk timur, diiringi gemuruh Curug Jajaway serta gemericik air yang turun dan menetes dari sela sela jemari akar pohon beringin yang sudah berjenggot. Kicauan burung dan kelelawar sahut menyahut bergelantungan menambah semangat langkah Siti Saodah besama kawannya menuju lautan ilmu.
Suatu hari yang mendung, mereka menatap ke langit sembari berdo’a karena turun hujan tak henti-henti bagaikan diteng-tengkan dari langit, disertai angin kencang, kilatan petir menyilaukan mata. Itu terjadi semalam suntuk.
Menjelang subuh, suasana sepi orang-orang enggan keluar. Awan, kabut, memutih tak tembus pandang, suasana dingin mencekam, pori-pori kulit berdiri merinding. Hati Siti Saodah mulai gundah gulana karena hari ini Ujian Nasional akan berlangsung. Ayahnya pun ikut cemas, dua mengurungkan niat untuk mengais rezeki demi anaknya.
Suasana alam tak bersahabat, dari kejauhan air bah terlihat melimpah, meninggi sepinggang orang dewasa, ternyata jembatan Cekdam yang akan dilalui terendam.
Bongkahan-bongkahan kayu yang muncul tenggelam, beriring berjalan sekali-kali terantuk bebatuan, suara air deras membuat merinding orang yang melihat.
Tapi tidak!!! Bagi Siti Saodah dan bapaknya, air bah harus dilawan dengan hati yang tenang. Waktu terus berjalan, jantung semakin berdetak Ujian Nasional pertama membayang-bayangi wajahnya. Dengan semangat pantang menyerah digendongnyalah anaknya, Siti Saodah. Selangkah demi selangkah kakinya bergetar terseok-seok air deras. Bapaknya berkata “Nak! Pegang erat-erat pundak Bapak!” Siti “Iya, Pak. Siti berdo’a semoga kita diselamatkan.”
Kaki Siti pun tidak tinggal diam, sekali-kai diterjangnyalah bongkahan-bongkahan kayu yang menghalanginya. Seraya mulut Siti terus tak henti-hentinya bergumam membacakan asma Alloh.
Perjuangan berat terasa ringan, itulah keluhan yang keluar dari mulut Bapaknya ketika sudah mendekati bibir sungai.
Siti pun bergegas berjalan dengan setengah berlari menuju “angdes” disana sudah banyak penumpang berjubel. Bahkan, anak laki-laki bergelayutan. Siti duduk dengan tidak nyaman, digeser-gesernyalah pantatnya ke badan ibu-ibu gemuk yang akan berbelanja ke pasar. Sementara mata Siti Saodah terus menatap jarum jam yang terus berputar. Hati kecilnya berbicara: “Ah… Jangan-jangan aku kesiangan.”
Hati gelisah, jantungnya semakin berdebar-debar. Pikirannya seolah olah sudah duduk di kursi menghadap soal Bahasa Indonesia yang diUjiankan. “Neng… SMP Neng?” Pak sopir menegur Siti Saodah
Dia terperanjat dari pelamunan, dia lari terbahat-bahat. Ternyata, Pak Satpam begitu ramah menyapa dan pengawas pun mempersilahkan masuk.
Siti pun memasuki ruangan dan siap melaksanakan Ujian Nasional. Dia mulai mengerjakan soal dengan baik dan memperhatikan apa yang salah dari jawabannya. Dia tak menyangka bahwa soal-soal yang diujiankan sudah ia pelajari sebelumnya.
Seperti biasanya, sepulang sekolah Siti selalu membantu kedua orangtuanya berjualan. Siti pun bergegas untuk berjualan, langkah demi langkah ia menitihkan kaku, bersuarakan merdu. Bertedukan matahari yang begitu terik, aspal sebagai pijakan pun begitu panas. Soalnya dua berjualan tepat pada pukul 13.30, tentu cuaca sangat panas. Badannya bercucuran keringat dan ia pun mulai bersuara lantang. “Bu… Gula… Gula, Bu… Gula… Bu…”
Waktu pun semakin sore, gula habis semua. Dengan hati yang amat senang dia pun bergegas untuk pulang dan memberikan semua hasil jualannya hari ini kepada ibunya.
Disetiap hari-harinya dia selalu berdo’a agar dia lulus dengan nilai yang memuaskan dan dapat melanjutkan sekolahnya ke SMA, itu impiannya.
Tak lupa, Siti selalu mendo’akan orangtuanya agar mereka senantiasa dalam keadaan sehat.
Waktu bergulir sangat cepat, tak terasa pengumuman kelulusan tiba. Siti merasa tegang, deg-degan, keringat dingin di badannya, gemeteran sekujur tubuhnya, karena dia menunggu hasil kelulusan. Ketika ia melihat hasilnya, Subhanalloh… nilainya menjulang diatas bintang. Di samping itu, Siti dinobatkan sebagai siswi terbaik di SMP-Nya.
Siti segera pulang membawa kabar bahagia itu untuk kedua orangtuannya. Siti sangat senang, dia telah berhasil menghadapi ujiannya dengan lancar. Walau kadang ujian dari Alloh terus menghadang, tetapi dia sabar dan ikhlas. Sesampainya di rumah Siti berteriak “Ibu… Bapak… Siti lulusss.” sambil keluar air mata yang mengalir membanjir
Siti langsung menghampiri Ibu dan Bapaknya ke dapur. Kedua orangtuanya kaget melihat Siti menangis. Dia pun langsung merangkul kedua orangtuanya dengan penuh air mata kebahagiaan. “Ibu… Bapak… Alhamdulilah aku lulus.” Ujar Siti “Iya, Ibu dan Bapakmu senang mendengarnya.” Jawab Ibunya “Iya, usahaku selama ini tidak sia-sia.” Ujar Siti “Iya Nak, kamu bangun setiap pagi, puasa, pasti kamu mempunyai maksud. Alloh mendengarkan do’amu Nak.” Ujar Bapaknya “Iya Bu… Pak, aky sangat bersyukur dan senang sekali.” Ujar Siti
Setelah lulus, kini Siti tinggal melangkah ke SMA. Berkat ketekunan, keuletan dan semangat yang diperjuangkan. Akhirnya Siti melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan hati yang senang Siti diterima di SMA N 1 Sariwangi. Memang Perjuangan bukan hanya persoalan berkorban jiwa dan raga untuk impian visi yang hendak dicapai. Dan yakinlah Alloh SWT pasti menjaga hamba-hambanya yang memiliki kemauan keras untuk hidup.
Cerpen Karangan: Rani Nuraeni Facebook: Rani Nur’aeni Hallo.. Namaku Rani Nur’aeni. Aku bersekolah di SMP N 1 Sariwangi. Saya tinggal di Tasikmalaya.