“Papa ini barang-barang papa waktu masih SMA ya?” aku melihat putri semata wayangku membawa sebuah kotak besar. “oh iya, ini memang buku-buku papa waktu masih SMA. Emangnya kamu mau pake ngapain?” aku heran melihat anakku yang aneh hari ini, dari tadi pagi dia terus mencari-cari sesuatu yang entah apa namanya.”aku kan udah mau masuk SMA pa.. aku pengen liat pelajaran waktu SMA papa dulu.. siapa tau aja temuin sesuatu yang berharga gitu”. Aku mengacak-acak rambutnya yang tampak lebih halus sekarang. Ya.. tanpa sadar dia sudah beranjak dewasa. Aku membantunya melihat buku tersebut satu per satu. Dan kemudian dia menatapku dan berkata “tulisan papa kok berubah-berubah?”. Aku mempehatikan tulisan di buku tersebut dan mulai membandingkannya. “ini adalah tulisan teman-teman papa dulu, papa adalah orang yang paling malas mencatat.. jadi papa suruh aja teman papa buat nyatat”. “emang temen papa mau?”. “ya iya lah.. karena mereka menyayangi papa”.
Kemudian aku tertegun melihat sebuah tulisan yang sangat mengingatkanku pada seorang sahabat yang kini aku juga tak tau dia dimana, masih adakah dia di planet ini? Atau sudah lenyapkah dia ditelan waktu? Yang jelas jika aku bisa bertemu dengannya lagi, aku hanya ingin mengatakan maaf dan terima kasih karena rela menjadi musuhku untuk kebaikanku sendiri.
Kalau dipikir-pikir lagi, aku begitu egois saat itu. Tapi biarlah semua itu menjadi kenangan yang indah dimasa mudaku. Dan kulihat-lihat lagi catatan tersebut, hampir di setiap bukuku tertoreh tulisan tangannya. “papa kenapa?” caca melihat raut mukaku yang langsung berubah seketika, sungguh sangat memalukan, tapi aku memang sedikit terpukul dengan kenangan tersebut. “mau dengar cerita papa gak?” anakku menoleh padaku dan segera duduk di pangkuanku, walaupun sudah lumayan dewasa, dia tetap manja padaku. Mungkin karena dia adalah anak satu-satunya di keluarga ini.
Disinilah awal ceritaku dimulai. Saat itu aku baru berumur 15 tahun. Aku adalah anak yang paling malas belajar, apalagi mencatat. Semua buku catatanku hanya dihiasi oleh tulisan-tulisan teman sekelasku. Dari yang tulisannya paling seniman sampai yang kaya profesor ada di bukuku. Aku tak pernah memilih-milih orang yang akan mencatatkanku, yang penting dia mau mencatat di bukuku aku sudah sangat senang. Dan Riska adalah sahabatku yang paling sering melakukan hal itu, hanya dengan menunjukan tatapan memelasku padanya saja dia pasti langsung mengambil buku tulisku. Walaupun kadang dia mengambilnya dengan kasar. Kadang kata-katanya yang pedas akan membawakan kata pengantarnya sebelum dia mencatat. Sungguh cewek yang menyebalkan pikirku saat itu. Dan dengan adanya orang yang bersedia mencatat untukku, aku bisa menghabiskan waktuku untuk memandangi pacarku yang cantik. Dia adalah Vera, yang sekarang menjadi istriku. Sungguh sangat egois diriku, dari segala ceritaku diatas, semua orang pasti mengira aku adalah pemeran antagonis dalam sebuah film yang ingin memperebutkan harta kekayaan mertua atau sebagainya. Tapi aku bukanlah orang yang seperti itu. Aku akan menyayangi seseorang yang juga menyayangiku dan akan membenci seseorang yang juga membenciku dan kupikir itu adalah gambaran umum semua makhluk yang tak luput dari dosa.
Pada suatu hari, guru mendapatkan keganjalan dalam buku catatanku. Tulisanku yang berubah-ubah membuatnya merasa curiga. Aku tak takut, tapi riska sudah tegang duluan. Terlihat dari gerak-geriknya yang dari tadi melirikku yang duduk di belakangnnya dan menaruh jari telunjuknya di bibir dan memperlihatkan pada semua penghuni yang ada dalam kelas. Dan karena solidaritas yang tinggi dalam kelas kami, akhirnya aku dan riska tak juga dihukum. Mulai saat itu, riska selalu menolak jika aku minta dia mencatatkan tugas-tugasku dan yang selalu kuingat adalah kata-katanya yang seperti ini “gak selamanya gue bakal sama-sama lo, kalau kuliah entar gue kan gak bakal ngikutin lo sebaliknya juga lo gak bakal ngikutin gue, jadi belajar sendiri napa”. Tapi lama-kelamaan dia juga sudah mulai mau mencatatkanku kembali.
Aku juga ingat bagaimana dulu vera sangat membenciku jika aku mulai mer*kok di hadapannya. Dan saat itu juga riska tak pernah marah jika aku mer*kok di hadapannya dan setiap kutanya dia pasti menjawab “bokap di rumah juga nger*kok, jadi gue udah biasa”. Walaupun kutahu jawabannya tersebut tak sama dengan yang ada dalam hatinya aku tetap melanjutkan aktivitasku tersebut. Dari saat itu aku rasa dia memang menaruh perhatian lebih padaku. Tapi aku tak peduli perasaannya karena aku jauh lebih menyayangi Vera daripada masa depanku sendiri. Yang entah mengapa aku merasa bahwa sedikit masa depanku bergantung pada riska yang dari taman kanak-kanak memang sudah bersama-sama denganku. Aku tahu segala yang dia suka, sampai tanggal kedatangan tamu bulanannya kutahu. Dan siapa saja cowok-cowok yang menjadi tipe idealnya, namun aku tak pernah mengindahkan apapun yang dia suka.
Hari terus berlalu, saat menginjak kelas dua SMA, vera sedikit menunjukkan sikap posesifenya. Kadang hal yang kecil bisa menjadi suatu hal yang begitu penting untuk dijadikannya bahan pertengkaran. Aku sangat tak menyangka pada suatu hari dia marah padaku karena cemburu pada gita yang jelas-jelas adalah sepupuku. Sungguh bukanlah suatu hal yang mungkin aku akan menaruh perasaan yang sama padanya dan gita. Tapi mau tak mau aku sedikit menjaga jarak pada sepupuku yang tak berdosa tersebut.
Dan riska yang sahabat sehidup sematiku juga pernah menjauhiku dan menjadikan hubunganku dan vera sebagai alasan tak ingin mencatatkanku lagi, karena katanya “lo pacaran sama vera jadi rajin nyatat ya? Kalau gitu putusnya kalau udah kuliah aja, biar gue gak sengsara nyatatin lo mulu”. “uhuk.. uhuk..” aku tersendak saat mendengar yang dia ucapkan dengan polos.
Saat kelas tiga, aku memang sudah mulai mau untuk mencatat sendiri, namun tetap saja menyalin yang dikerjakan riska. riska sudah mulai menyukai seseorang dan membuat dia jadi malas mencatat untukku. Hari-harinya hanya penuh dengan nama orang tersebut. Riska kadang marah-marah dulu sebelum memberi catatannya, dan membuatku juga marah dan emosi mendengar kata-kata yang dia ucapkan tiap hari. Sampai pada saat emosiku sampai pada puncaknya “ris.. pinjam pe er fisika dong” aku melihat dia sedang mencatat sesuatu. “pinjam ke cewek lo dulu deh..” jawabnya enteng tapi mampu membuat amarahku naik pada batas kesabaran dan ingin segera meledak-ledak “oh jadi gitu ya cara lo nganggap persahabatan kita, katanya temen.. dasar temen si*lan”. “lo yang gak tau diri..” kata-katanya terhenti karena sepertinya dia memang sedang flu saat itu dan suaranya memang agak serak. Dan itulah awal permusuhan kami, hampir tiap hari aku mulai menyinggungnya. Setiap hari aku memindahkan tempat dudukku agar bisa jauh darinya. Aku memang sangat marah padanya yang tanpa kusadari aku jadi rajin belajar.
Saat acara kelulusan kulihat riska sedang asik dengan teman-teman lainnya, mungkin dia tak ingat lagi punya sahabat yang bernama Christoper Pratama. Rasa solidaritasku yang tinggi terhadapnya dulu telah dipatahkan dengan lahirnya sebuah rasa benci yang amat mendalam padanya. Aku hanya menatapnya sinis dan akhirnya peri cintaku datang dan langsung memelukku mesra.
Mungkin aneh rasanya, namun inilah sekolahku. Semalaman kami bersenang-senang, ternyata pengumuman hasil ujiannya hari ini. Aku takut tidak lulus. Tapi terlambat sudah. Kini tinggal meratapi nasib yang bisa kulakukan. Dari tadi vera terus memegang tanganku, dari suhu tangannya, aku tau dia juga takut sama sepertiku. Kulihat sekelilingku, kulihat wajah-wajah teman-temanku yang akan berpisah denganku dan tak kulihat wajah riska disana. Dan ternyata prom night semalam adalah terakhir kali aku melihatnya di dunia nyata maupun di dunia maya. Ada beberapa orang yang tak lulus dan mereka bukanlah orang-orang yang dekat denganku, tapi kasihan juga mereka. Sudah tiga tahun menuntut ilmu tapi hasilnya seperti ini.
Saat sedang asik mencorat-coret baju seragam, Sebuah buku mendarat dengan mulus di jidatku, angel melemparkannya tepat sasaran. “tuh buku kayanya ditinggalin riska buat lo” aku melihatnya sinis dan berganti jadi bengong. “emang dianya kemana?”. “gak tau, pokonya dia udah pindah katanya”. “oh.. tengs..” hanya itu yang mampu kukatakan.
Tiba di rumah pada malam hari, aku membersihkan diri dan melakukan ritual-ritual lainnya seperti makan dan menonton. Setelah sadar aku mengambil buku yang tadi diberikan angel. Kulihat buku berwarna biru laut dan bergambar lumba-lumba tersebut, ini adalah milik riska yang selalu dia bawa kemana-mana. Halam pertama tertulis – Riska Ayunda Pratiwi – dan dibawanya tertulis – I love your voices chris daughtry.. hehehe – aku tertawa melihat tulisan tersebut, dia memang sangat tergila-gila pada suara chris daughtry. Pada halaman kedua kulihat sebuah puisi atau semacamnya, dan membuat hatiku terbawa kedalamnya…
Bayang-bayang mengisi sebuah hati yang kosong Saat cinta memudar Dari segala yang tak kita…. Tak kita ucapkan Bisakah kita melihat melampaui bintang Dan bertahan hingga fajar?
Ubahlah warna-warni langit Dan bukalah Caramu membuatku merasa hidup Caraku mencintaimu Untuk segala yang tak pernah padam Untuk bertahan melewati malam Cinta akan temukanmu
Mentari terbit di matamu Tuk awali hari baru Hati yang terluka ini masih bisa bertahan Dengan sentuhan keanggunanmu Bayang-bayang pudar menjadi cahaya Aku disisimu Dimana cinta akan temukan dirimu
Bagaimana jika sekarang? Bagaimana jika hari ini? Bagaimana jika kau jadikanku sebagaimana takdirku? Bagaiman jika cinta kita tak pernah pergi? Bagaimana jika cinta itu hilang dibalik kata-kata yang tak pernah bisa kita temukan? Kasih, sebelum semuanya terlambat Bagaimana jika sekarang?
Aku tau itu adalah terjemahan dari lagu chris daughtry – what about now. Aku tau dia sangat menyukai lagu tersebut. Di bawah lagu tersebut tertulis sebuah nama – Andika wijaya – cowok yang sudah lama dia taksir. Dan aku berpikir dia tak pernah mengungkapkan segala perasaannya pada dika. Kulihat-lihat lagi buku itu, hanya terdapat beberapa kata-kata bijak dan beberapa terjemahan lagu barat. Sampai pada halaman terakhir aku membaca yang dia tuliskan.
Christoper Pratama.. orang yang paling kusayang setelah Tuhan yesus, oma opa, mama papa, kakak adik, angel, dika… maaf karena aku kasar padamu. Aku memang selalu marah padamu, tapi harus selalu kau ingat, jika saat kelas tiga aku tak menjadi musuhmu, mungkin kau tak akan mau mencatat sendiri. Akulah orang yang menjadi musuhmu demi kebaikanku. Camkan itu.. hahahaha kasar ya! Dan inilah aku sahabat yang hanya bisa terus kasar padamu.
Hanya sampai disitu aku bisa melihat apa yang ada di hatinya. Semua kata-kata itu masuk ke mataku dan naik ke saraf-saraf otak dan sampai pada hati nuraniku. Memang benar, akulah yang terlalu egois saat itu. Sehingga aku kehilangan sahabatku sendiri. Sampai aku sudah berumur 40-an saat ini, aku tak pernah lagi menemukan sosok dirinya. Bahkan mengingat wajahnya saja aku sudah bingung membedakannya dengan angel atau siapapun teman perempuanku dulu. “wah papa jahat ya?” aku memeluk anakku yang cerewet itu. “papa kan gak sengaja.. yang pasti, kamu gak boleh jadi orang yang kayak papa. Kalau ada temen yang salah, dengarkanlah dulu penjelasannya.. okey?” aku memeluknya semakin erat. Aku sangat yakin entah dia di dunia nyata atau dimanapun dia berada, dia pasti bahagia karena dialah salah satu wanita yang sangat tulus didunia ini.
Cerpen Karangan: Sherly Yulvickhe Sompa Facebook: Sherly Yulvickhe Sompa