Aku berjalan tergesa-gesa melewati lorong sekolah. Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sial, benar-benar sial. Aku terlambat lagi. Kali ini Putri pasti tidak akan memaafkan aku. Aku makin mempercepat jalanku menuju gedung perpustakaan. Jam segini warga di sekolahku memang masih beraktifitas. Ada kegiatan ekstrakulikuler, belajar tambahan, kegiatan kelas, belajar kelompok, dan lain-lain. Dan sekarang aku sudah ada janji dengan Putri untuk belajar bersama di perpustakaan. Sebenarnya janjinya dari satu jam yang lalu. Tetapi aku terlalu asyik bermain PlayStation di rumah temanku hingga lupa waktu.
Kuhentikan kakiku di depan pintu perpustakaan. Dengan nafas yang masih putus-putus, kuperhatikan sekilas seluruh ruang perpustakaan mencari sosok Putri. Ternyata dia masih disini, membaca buku sambil bertopang dagu. Kulangkahkan kaki menuju tempatnya. Dia selalu memilih tempat di dekat jendela ketika kami belajar bersama.
Aku memberanikan diri untuk menyapanya, “Hai, Put.” Putri menatapku, tetapi dia mengalihkan pandangannya kembali ke buku, tidak menjawab sapaanku. Aku kembali menyapanya, dan kali ini disertai alasan kenapa aku terlambat.
“Maaf ya, Putri. Aku keasyikan main PS di rumah Gio, sampai lupa waktu.” Kudengar dia menghela nafas, menutup buku yang dibacanya dan memasukkannya ke dalam tas. Dia berdiri dan meninggalkanku. Aku heran, kemudian bertanya padanya, “lho, Put. Mau kemana? Kita nggak jadi belajarnya?”
“Belajar aja sendiri sana!” ujarnya dengan ketus. Sepertinya Putri benar-benar marah besar. Dia belum pernah membentakku seperti tadi. Putri berlalu meninggalkanku. Aku panik, secepat mungkin kuikuti dia sambil terus berbicara.
“Putri. Aku minta maaf, aku tau aku salah. Ajari aku ya. Aku masih belum mengerti tentang limit trigonometri.” ucapku memelas.
Putri berbalik, menatapku dengan tajam. Wah, dilihat dari ekspresi wajahnya, sebentar lagi dia akan meledak. “Aku capek, Dika. Setiap kita janjian, kamu selalu datang telat. Kamu selalu bilang ‘maafin aku Putri’. Tetapi nyatanya kamu tidak berubah. Aku bisa maklum kalau kamu telat 10 atau 15 menit, tapi kamu selalu telat berjam-jam. Kamu juga bilang akan berusaha tingkatkan nilai kamu, tapi aku merasa hanya aku yang berusaha untuk kamu. Sementara kamu sendiri nggak berusaha. Kamu selalu mendahului aktifitas kamu yang nggak penting itu. Main PS lah, Futsal lah, Basket lah. Sementara untuk nilai kamu sendiri kamu tidak mau memperjuangkan. Aku muak lihat tingkah kamu, Dika. Kalau bukan tante Maya yang nyuruh aku buat ngubah kamu, aku nggak akan mau capek-capek gini!”
Aku melihat Putri mengambil nafas. Aku jadi kasihan lihat dia. Benar juga apa kata dia. Aku selalu buat dia susah. Tidak mengerti perasaan dia yang sudah lama berusaha demi aku. “Ok, Put. Tapi sekali ini aku benar-benar janji sama kamu. Aku akan berusaha,” ujarku sambil menggenggam tangannya. Putri melepaskan genggaman tanganku. “Aku mau pulang, Dika. Percuma aku ngajar kamu sekarang. Suasana hatiku kacau gara-gara kamu.” Lalu Putri pergi meninggalkan aku.
Aku hanya terdiam menatap sahabatku itu pergi. Kalau sudah seperti ini, terpaksa nanti malam aku akan meminta maaf dengan memberikannya coklat. Semarah apapun Putri, dia tidak akan bisa menolak coklat, apalagi coklat cadbury. Karena itu adalah makanan kesukaannya.
—
Terlihat seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Begitu melihatku dia langsung tersenyum. “Eh, nak Dika. Cari Putri ya?” Aku tersenyum membalas keramahannya, “iya, tante. Saya mau minta ajarin sama Putri, masih ada materi yang belum mengerti. Putrinya ada kan, tante?” Tante Sarah mempersilahkan aku untuk masuk, lalu menutup pintu. Dia berbalik kemudian menjawab pertanyaanku, “ada. Putri lagi di kamar. Sebentar ya tante panggil. Nak Dika duduk aja disana.” Kembali aku tersenyum dan mengangguk. Aku lalu duduk di kursi ruang tamu, meletakkan tas dan mengelurkan isinya. Buku, pena, tipeX, penggari, pensil dan tidak lupa, coklat. Ketika aku hendak mengeluarkan coklat, aku kembali teringat Putri. Lucu juga melihat dia marah-marah seperti itu. Aku tersenyum geli. Ada baiknya coklat ini nanti saja aku keluarkan. Aku memasukkan kembali coklat itu ke dalam tas.
“Ngapain kamu kesini?” suara Putri yang datar mengagetkanku. Dia berdiri sekitar 2 meter dari tempatku duduk dan menatapku dengan tajam, sepertinya masih marah. “Putri, kita sambung yang tadi sore ya?” aku memohon. Kulihat Putri mengrutkan keningnya. “Sambung apa? Sambung aku marah-marah lagi?” Aku tercenung. Duh, Putri. Masa kamu nggak ngerti sih?? “Bukan itu. Maksud aku sambung belajar. Kan tadi nggak jadi.” “Oh. Jadi kamu datang kesini buat belajar?” Aku mengangguk. “Emang kamu segitu yakinnya aku mau ajarin kamu lagi, sampai datang kesini?” “Ayo lah, Putri. Plisss…” Putri tersenyum sinis. “Kalau aku bilang enggak, bagaimana?” Wah, kalau sudah begini, aku pakai cara terakhir. Aku buka tasku dan mengeluarkan coklat dari dalamnya. Putri melihat apa yang ada di tanganku. Sedikit rasa senang terlihat di wajahnya. “Tadinya kalau kamu mau ajarin aku, aku mau kasi coklat ini. Tapi karena kamu nggak mau, ya sudah deh. Aku kasi adikku aja,” kataku sambil melirik kearahnya. Ketika aku hendak memasukkan coklat itu ke dalam tas, Putri segera berjalan ke arahku, mengambil coklat yang ada di tanganku dan duduk di sampingku. “Kamu memang tau cara menyogok aku, Dika. Aku rasa kamu punya bakat jadi penyogok.” Aku mengangkat bahu, “kurasa aku hanya pintar menyogokmu.” Putri membuka bungkus coklat dan memakannya. Dia menatapku, “Ok, sekarang bagian mana yang kamu nggak ngerti.” Aku menyodorkan buku paketku menjelaskan dimana kendalaku. Putri dengan terampil mengajariku, menunjukkan jalan-jalan penyelesaian padaku. Walaupun aku masih susah untuk mengerti, tetapi dia tetap sabar.
“Nah. Sekarang coba kamu kerjakan soal no 4. Itu soal yang paling mudah menurut aku.” Aku menuruti kata-katanya. Sambil aku mengerjakan, kulihat dia mengambil tasku. Mencari-cari sesuatu. Aku membiarkannya, toh tidak ada benda pribadi di dalamnya. “Dikaaa. Apa-apaan ini?” aku kaget mendengar Putri berteriak sambil menunjukkan kertas yang dipegangnya. Itu kertas ulanganku. Pertanda buruk. “Masa kamu cuma dapat nilai 5,5. Padahal aku sudah serius ngajar kamu. Jangan-jangan kamu tidak serius selama ini…” Aku menutup telingaku. Gawat!! Putri mulai mengomel lagi nih.
Cerpen Karangan: NiZahsy Lubis Blog: nizalubis.blogspot.com